Pembuktian Terbalik dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi

ITMAAMUL WAFAA SAMUDRA
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
3 Agustus 2021 10:21 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ITMAAMUL WAFAA SAMUDRA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Korupsi di kancah nasional maupun Internasional bersepakat bahwa korupsi merupakan musuh bersama karena korupsi bisa menghambat akselerasi pemerataan pembangunan, meroketnya angka kemiskinan, mendegradasikan kebahagiaan karena tidak adanya kemakmuran. Kebijakan demi kebijakan terus digalakkan untuk membumi hanguskan korupsi di Indonesia baik dengan langkah pencegahan maupun penindakan. Regulasi hukum sebagai pedang sudah diberikan namun masih belum mampu membumi hanguskan korupsi. Berita hangat yang menjadi trending topik di tengah publik tentang korupsi saat ini adalah korupsi dana bansos untuk penanggulangan ekonomi masyarakat di masa pandemi yang justru dilakukan oleh menteri sosial.
ADVERTISEMENT
Kementerian sosial merupakan lembaga negara yang selalu berurusan dengan rakyat secara dekat dan intens melalui visi misi dan progam kerja, namun faktanya malah justru korupsi menyandera lembaga tersebut, tentunya berita tersebut “bak petir di siang bolong”, seperti “sudah jatuh tertiban tangga” sangatlah menyakitkan rasanya bagi masyarakat akar rumput, miris dan ironis merana, meng-korupsi dana bansos di tengah kesulitan ekonomi yang dialami oleh masyarakat justru lembaga mulia tersebut terjerat oleh jaring-jaring korupsi yang tidak berperikemanusiaan.
Fenomena tersebut menjadi catatan Indonesia bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (extra ordinary) seperti yang tertuang di dalam konsideran UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
ADVERTISEMENT
Hasil rapor merah dari lembaga Transparency International tentang anti korupsi menunjukkan penurunan Ranking dari 34 kE 37 hal tersebut harus menjadi catatan penting bagi presiden selaku kepala negara bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun lembaga terkait berkomitmen untuk memberantas Korupsi sampai keakarnya. Oleh karena itu, apa yang bisa ditawarkan dalam penindakan dan pencegahan korupsi di Indonesia.
Dari segi preventif KPK sebagai lembaga yang Independen sudah membuat langkah-langkah yang logis dengan adanya kewajiban pelaporan harta kekayaan pejabat publik, MenPAN sudah menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE/05/M.PAN/04/2005 guna menguji integritas pejabat publik, akan tetapi masih saja ada pejabat publik yang belum melaporkan LHKPN kepada KPK, hal ini menunjukkan masih lemahnya kesadaran pejabat publik untuk turut bekerja sama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Penulis menilai bahwa Penindakan dan Pencegahan korupsi di Indonesia bisa dilakukan melalui Pembuktian Terbalik, dibagian penjelasan UU No. Nomor 20 Tahun 2001 Pembuktian terbalik adalah pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. Pembenahan Pembuktian kepada terdakwa guna membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Praktik pembuktian terbalik di Indonesia belum digunakan masih menggunakan pembuktian biasa yang berada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mana Beban Pembuktian di Serahkan kepada Jaksa.
Secara kronologis pembalikan beban pembuktian bermula dari sistem pembuktian yang dikenal dari negara penganut rumpun Anglo-Saxon terbatas pada “certain cases” khususnya terhadap tindak pidana “gratification” atau pemberian yang berkorelasi dengan “bribery” (suap), seperti Inggris atas dasar “Prevention of Corruption Act 1916” terdapat pengaturan apa yang dinamakan “Praduga korupsi untuk kasus-kasus tertentu” (Presumption of corruption in certain cases), Singapura atas dasar “Prevention of Corruption Act (Chapter 241)”, dan Malaysia atas dasar Pasal 42 Akta Pencegahan Rasuah 1997 “(Anti-Corruption Act 1997 (Act 575)” yang mulai berlaku sejak tanggal 8 Januari 1998 (L. Mulyadi, 2015: 7).
ADVERTISEMENT
Indonesia sejatinya sudah memiliki aturan dan kebijakan legislasi tentang pembuktian terbalik diatur di dalam UU Khusus yang bersifat Lex Specialis derogate Legi Generali di antaranya Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 17 ayat 1, Pasal 18 ayat 2, Pasal 4 UU Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal 37 ayat 1 dan 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 pengganti UU No. Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan sudah diaturnya melalui kebijakan yang ada seharusnya para penegak hukum sudah bisa mengimplementasikan Sistem Pembuktian Terbalik dalam kasus korupsi, namun dalam tataran praktis masih mengalami delimatik yang cukup kompleks antara Sistem Pembuktian Terbalik yang berada di UU Khusus dengan asas Presumption of Innocent dan non self-incrimination, serta sistem pembuktian yang dikenal dalam KUHAP, sehingga kasus korupsi yang ada di Indonesia belum terimplementasi meskipun sudah memiliki payung hukum yang jelas.
ADVERTISEMENT
Penanganan kasus berjalan dengan cukup lambat dan berbelit-belit ditambah dengan modus para pelaku korupsi yang semakin canggih, selain itu varian korupsi di Indonesia cukup beragam, sehingga kategori tindak pidana korupsi tidak hanya terbatas pada gratifikasi dan penyuapan seperti yang atur di negara-negara Anglo-Saxon. Indonesia mengenal 7 kategori tindak pidana korupsi yaitu, kerugian keuangan negara, penyuapan, pemerasan, penggelapan jabatan, kecurangan, benturan kepentingan pengadaan barang dan jasa, serta gratifikasi. Oleh karena itu, bila proses penegakan hukum dengan menggunakan sistem pembuktian terbalik di masa yang akan datang perlu ada regulasi yang mengatur secara khusus bagaimana Sistem Pembuktian Terbalik yang akan dijalankan.
Beban pembuktian terbalik memiliki keuntungan dalam proses penegakan hukum pidana dalam konteks tindak pidana korupsi, karena dalam hal pembuktian terbalik beban pembuktian dibebankan kepada terdakwa serta terdakwa maupun penasihat hukumnya harus mampu membuktikan dan meyakinkan majelis hakim bahwa terdakwa tidak melakukan korupsi, Pembuktian Terbalik bisa menjadi langkah preventif dalam memberantas tindak pidana korupsi karena memberikan konsekuensi kepada para pejabat publik khususnya yang mana dia mengabdi dan bekerja kepada kepentingan rakyat bukan pada kepentingan pribadi apalagi memperkaya diri sendiri dengan cara melawan hukum akan berpikir lebih panjang bila akan melakukan korupsi selain itu mempermudah proses penegakan hukum dalam rangka mempermudah pengembalian keuangan negara bila memang tidak mampu membuktikan dari mana asal muasal kekayaan yang didapatkan (asset recovery).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bawah Pembuktian Terbalik di Indonesia sudah memiliki payung hukum, akan tetapi di Indonesia belum terimplementasikan mengingat baik dari segi modus dan jenis tindak pidana korupsi di Indonesia memiliki banyak kategori tidak hanya terbatas pada gratifikasi dan penyuapan, selain itu adanya benturan asas dalam konteks Sistem Pembuktian di dalam KUHAP dengan yang diatur di dalam UU Khusus, kemudian Pembuktian Terbalik bisa menjadi langkah preventif dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia serta mempermudah melakukan pengembalian keuangan negara (asset recovery).
KPK sebagai lembaga Independen harus terus mengupayakan perubahan mekanisme Pembuktian ke arah Pembuktian Terbalik agar dalam melakukan upaya penegakan hukum mampu diselesaikan dengan cepat tanpa berbelit-belit, mengingat kebutuhan akan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, dan mempersempit jurang kemiskinan harus segera dilaksanakan, demi tercapainya Negara Indonesia yang adil dan makmur seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945.
ADVERTISEMENT