Politik Hukum Indonesia 2020

ITMAAMUL WAFAA SAMUDRA
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
3 Maret 2021 19:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ITMAAMUL WAFAA SAMUDRA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
politik hukum
zoom-in-whitePerbesar
politik hukum
ADVERTISEMENT
Arena politik hukum dalam perkembangan terakhir bak primadona yang selalu menjadi buah bibir masyarakat tiada hentinya, sebagian besar para sarjana hukum, akademisi sampai para pakar hukum tata negara mengomentari sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah karena dianggap bertentangan dengan roh Pancasila dan jiwa konstitusi yang terolah dalam sistem demokrasi. Kebijakan pemerintah dalam kurun waktu satu tahun terakhir ini memperlihatkan kecenderungan lebih elitis dari pada populis.
ADVERTISEMENT
Disahkannya Revisi UU KPK yang mana memunculkan konsep dewan pengawas dianggap melemahkan KPK dalam melakukan manuver pemberantasan korupsi, disahkannya Revisi UU minerba dianggap bermasalah karena perpanjangan izin PKP2B mendapat perpanjangan secara otomatis tanpa melalui pelelangan, kemudian Revisi UU MK yang dinilai syarat kepentingan oleh hakim MK sendiri karena hakim MK tidak lagi bertugas selama masa jabatan berusia 60 tahun namun diperpanjang sampai masa pensiun hingga 70 tahun, dan yang paling akhir pengesahan RUU Cipta Kerja menimbulkan gejolak di tengah masyarakat karena dari segi pembentukan peraturan perundang-undangannya tidak lazim dilakukan di Indonesia yaitu dengan metode Omnibus Law yakni secara sederhana diartikan sebagai perampingan undang-undang, selain itu dari segi substansi sangat elitis tidak mewakili kepentingan rakyat.
ADVERTISEMENT
Beberapa RUU yang disahkan DPR menjadi sorotan para pakar hukum karena tidak menjalankan prinsip-prinsip demokrasi dan mengesampingkan peranan publik sebagai wujud kedaulatan rakyat yang tertuang dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU tersebut diibaratkan rambu-rambu yang tidak boleh ditabrak karena di dalamnya memuat aturan yang rinci bagaimana menyusun sebuah UU yang berbasis pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai cerminan politik hukum Indonesia.
Sejumlah problematik politik hukum di Indonesia menjadi sorotan pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar dari Universits Gadjah Mada, catatan Zainal Arifin Mochtar (Kompas, 20 oktober 2020) dengan judul Legislasi nan Menyebalkan memperlihatkan masalah-masalah yang sering terjadi dalam pembentukan perundang-undangan, seperti Kudeta Redaksional setalah adanya persetujuan rawan akan penyelundupan sehingga memicu aksi demonstrasi, aksi demonstrasi mencerminkan lemahnya tingkat kepercayaan publik kepada Legislator dalam membuat legislasi, menurut Zainal Arifin Mochtar Seharusnya menyelesaikan lemahnya ketidak percayaan publik dengan transparansi, sosialisasi dan partisipasi bukan malah membangun narasi mistifikasi, kemudian formalitas dalam pembentukan peraturan-perundang-undangan menjadi syarat penting atas legitimasi hukum, pembatasan formal bagi kekuasaan menjadi kontrol agar dalam membentuk suatu peraturan tidak dilakukan secara serampangan.
ADVERTISEMENT
Melihat data dari Mahkamah Konstitusi pengajuan permohonan Pengujian Undang-Undang per tahun 2020 mencapai 52 perkara, hal ini menunjukkan terdapat masalah formil maupun materil dalam sebuah undang-undang yang dikeluarkan DPR selaku Legislator sehingga publik mengajukan gugatan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi yang mana MK memiliki kewenangan untuk mengadili undang-undang apakah menabrak Konstitusi atau tidak. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir dalam memutus perkara.
Melihat Pemaparan di atas dalam kajian politik hukum di Indonesia selama satu tahun terakhir penulis ingin meneliti partisipasi publik dalam merumuskan kebijakan.
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
Negara dan rakyat dalam sistem hukum ketatanegaraan
Ditinjau dari sudut hukum tata negara, negara adalah suatu organisasi kekuasaan, dan organisasi kekuasaan, dan organisasi itu merupakan tata kerja dari pada alat-alat kelengkapan negara yang merupakan suatu keutuhan, tata kerja di mana melukiskan hubungan serta pembagian tugas dan kewajiban antara masing-masing alat perlengkapan negara itu untuk mencapai suatu tujuan yang tertentu. (Soehino, 1980: 140) Menurut Woodrow Wilson, Negara adalah orang-orang yang diatur menurut hukum dalam suatu batas wilayah teritorial tertentu (C.F Strong, 2010: 6). Indonesia sebagai negara menobatkan dirinya sebagai negara hukum dituangkan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, dengan menobatkan dirinya sebagai negara hukum, maka seluruh instrument dalam melaksanakan roda pemerintahan negara kesatuan republik Indonesia harus berdasarkan hukum.
ADVERTISEMENT
Konsep pemikiran negara hukum seperti ini sebenarnya dapat dilihat dari awal munculnya teori Negara Hukum yang dimulai sejak abad XIX hingga abad XX. (Krisna Harahap, 2003: 22), mmenurut Krabbe sebagaimana dikutip oleh Usep Ranawijaya disebutkan, bahwa negara sebagai pencipta dan penegak hukum dalam segala kegiatannya harus tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam arti ini hukum membawahkan negara. Berdasarkan pengertian tersebut, hukum bersumber dari kesadaran hukum rakyat, maka hukum mempunyai wibawa yang tidak berkaitan dengan seseorang (Usep Ranawijaya: 1983: 181)
Hakikat negara hukum didasarkan pada konsep teori Kedaulatan Negara (Soeverignty) yang pada prinsipnya menyatakan kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum. Seluruh alat perlengkapan negara apa pun namanya, termasuk warga negara harus tunduk dan patuh serta menjunjung tinggi hukum tanpa kecuali (B. Hestu Cipto Handoyo, 2003: 12).
ADVERTISEMENT
konsep negara hukum adalah negara berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi warganya. Dalam artian bahwa segala kewenangan dan tindakan alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya (Didi Nazmi Yunus, 1992: 20).
Tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan warga masyarakatnya). Cita hukum (recht idee) mengandung arti bahwa pada hakekatnya hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat berakar pada gagasan, rasa, karsa dan fikiran dari masyarakat itu sendiri. Jadi cita hukum itu adalah gagasan, karsa, cipta dan pikiran berkenaan dengan hukum atau persepsi tentang makna hukum yang terdiri atas tiga unsur: keadilan, hasil guna (doelmatigheid) dan kepastian hukum. Dalam dinamika kehidupan masyarakat cita hukum itu akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani (guiding principle), norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (Bernard Arief Sidharta 2000: 180-181).
ADVERTISEMENT
Tiap kaidah hukum mencerminkan sebuah nilai. Dengan demikian, tata hukum itu mencerminkan atau bermuatan sistem nilai. Dalam esensinya sistem nilai itu dapat dibedakan kedalam nilai dasar (base values) dan nilai tujuan (goal values). Sebagai sistem nilai Pancasila merupakan nilai dasar sekaligus nilai tujuan. Dalam kerangka pandangan tentang cara keberadaan manusia yang dikemukakan menurut pandangan Pancasila, maka cita hukum Pancasila berintikan: Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan atas martabat manusia, wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara, persamaan dan kelayakan, moral dan budi pekerti yang luhur dan partisipasi dan transparansi dalam proses pengambilan putusan publik (Bernard Arief Sidharta 2000: 183-185).
Mengutip Prasojo dalam tulisannya di jurnal Ilmiah administrasi publik diterangkan bahwa negara-negara yang menganut paham demokrasi, gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin yang nantinya menentukan kebijaksanaan umum (public policy). Tingginya partisipasi menunjukkan bahwa warga negara memahami kehidupan politik. Pada sisi yang lain, rendahnya partisipasi dapat dianggap sebagai rendahnya kepedulian dan pengetahuan warga negara dalam kehidupan politik atau bisa jadi terdapat batasan serta tidak adanya kesempatan dalam kehidupan politik. Sebaliknya, di negara-negara totaliter gagasan mengenai partisipasi rakyat didasari pandangan elite politiknya yang melihat rakyat perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng.
ADVERTISEMENT
Secara epistimologi, asal kata demokrasi berasal dari bahasa latin, yakni demos, yang artinya rakyat dan kratos, yang artinya pemerintahan. Sehingga dapat diartikan bahwa demokrasi artinya pemerintahan rakyat (Abdi Yuhana, 2007: 34), Menurut Baharuddin lopa bahwa pada dasarnya makna demokrasi ialah pemerintahan yang berdasarkan kehendak rakyat, kedaulatan rakyat (Baharudin Lopa, 1999: 7).
Penjelasan Afan Gafar bahwa hampir semua teoretisi-bahkan sejak zaman klasik selalu menekankan, bahwa sesungguhnya yang berkuasa dalam demokrasi itu adalah rakyat atau demos, populus. Oleh karena itu, selalu ditekankan peranan demos yang senyatanya dalam proses politik yang berjalan. Paling tidak, dalam dua tahap utama: pertama, agenda setting, yaitu tahap untuk memilih masalah apa yang hendak dibahas dan diputuskan; kedua, deciding the outcome, yaitu tahap pengambilan keputusan.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada makna demokrasi bahwa sejatinya segala bentuk pemerintahan yang menganut sistem demokrasi harus mencerminkan kehendak rakyat, kebutuhan rakyat, kepentingan rakyat, pikiran rakyat, politik rakyat, bukan justru bersebrangan dengan seluruh ide dan gagasan rakyat, oleh sebab itu, sistem demokrasi menuntut akan keterbukaan untuk mencapai kestabilan dalam membangun arah kesejahteraan bersama. Sebaliknya bila sifat otoriter yang dikedepankan dengan menutup kran partisipasi publik dalam rangka menentukan arah kebijakan, maka kesejahteraan bersama mustahil akan tercapai yang ada justru mewujudkan satu gerakan pembangkangan (Disobedience).
Mengutip Rahim E.I dalam tulisannya partisipasi perspektif kebijakan publik yakni kebijakan bukan persoalan teknis yang dapat diselesaikan secara teknokrasi oleh sekelompok orang yang dipercaya untuk merumuskannya, tetapi kebijakan merupakan ruang bagi teknokrat dan masyarakat untuk melakukan kerjasama dan menggabungkan pengetahuan. Oleh karena itu dalam menetapkan kebijakan harus melibatkan pihak yang luas dan menjamin kepentingan stakeholders. Mengapa pelibatan masyarakat dalam perencanaan kebijakan pembangunan penting dilakukan, karena pelibatan masyarakat dalam membuat kebijakan merupakan faktor utama dalam good governance yang memberikan manfaat besar terhadap kepentingan publik, di antaranya meningkatkan kualitas kebijakan yang dibuat dan sebagai sumber bahan masukan terhadap pemerintah sebelum memutuskan kebijakan.
ADVERTISEMENT
Indonesia sudah memiliki guidance dalam membuat sebuah aturan yang sejalan dengan sistem demokrasi, nilai-nilai Pancasila dan tujuan UUD 1945 sehingga melibatkan partisipasi publik selebar-lebarnya menjadi sebuah keniscayaan, jika terjadi blockade partisipasi publik justru akan menimbulkan gejolak perlawanan, dengan lahirnya UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan keterlibatan publik untuk terus menggali dan mencari nilai-nilai yag terkandung di dalam masyarakat akan kebutuhan hukum.
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam BAB XI tentang Partisipasi Masyarakat pasal 96 ayat (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ayat (2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: rapat dengar pendapat umum; kunjungan kerja; sosialisasi; dan/atau, seminar, lokakarya, dan/atau diskusi, ayat (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan, ayat (4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Dari pasal tersebut dapat terlihat bahwa peran serta atau partisipasi publik dalam merumuskan kebijakan menjadi instrument penting karena memuat unsur hak rakyat sebagai warga negara tidak bisa diabaikan, bila menginginkan sebuah aturan yang bisa diterima oleh masyarakat harus berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi dengan membuka partisipasi publik seluas – luasnya, dan kemudahan akses bagi seluruh masyarakat harus bisa dilakukan melalui mekanisme apa pun dan media manapun, di dunia modern saat ini masyarakat sudah tidak bisa dibodohi dengan mengatakan tidak bisa melakukan konsultasi publik guna menyerap aspirasi masyarakat seluas-luasnya, melalui media elektronik dan akses Internet yang sudah menjamur dimasyarakat sudah sangat mudah untuk mengakses suatu Rancangan Undang-Undang jadi dengan kemajuan teknologi saat ini menjadi sarana mutakhir dan produktif dalam menyerap aspirasi masyarakat, bukan mengungkapkan alasan sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Pasal 43 menyebutkan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
Posisi Naskah Akdemik di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi penting karena dijadikan sebagai acuan atau referensi pada tahap penyusunan dan pembahasan. Naskah Akademik juga menjadi sarana partisipasi masyarakat luas dalam membentuk sebuah peraturan baik secara lisan maupun tulisan.
Naskah Akdemik memuat teknik penyusunan yang mana memuat tiga landasan penting. Pertama, landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Ketiga, Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.
ADVERTISEMENT
Penulis memberikan satu contoh RUU yang menjadi polemik, yang bisa menggambarkan sejatinya problem keseluruhan RUU yang disahkan yang sudah disahkan oleh DPR dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Penulis akan mengambil RUU KPK yang mana terjadi penolakan Masyarakat Umum, LSM, sampai dengan Pelajar SMK. Publik menilai DPR dalam mengesahkan RUU belakangan ini lebih terkesan kejar setoran para legislator dibandingkan mendengarkan pikiran rakyat.
Pengesahan Revisi UU KPK dengan melihat urgensi untuk mengesahkan RUU KPK dilihat dari landasan Filosofis dari Naskah Akademiknya disebutkan bahwa KPK sebagai lembaga yang menangani tindak pidana korupsi guna mencapai kesejahteraan sosial seperti yang tertuang di dalam UUD 1945 belum mampu menangani secara optimal sehingga membutuhkan peran serta kejaksaan dan kepolisian dalam menangani tindak pidana korupsi, sehingga diharapkan KPK fokus pada korupsi yang berskala besar, sedangkan kejaksaan dan kepolisian skala menengah ke bawah. Kemudian berdasarkan landasan sosiologis disebutkan bahwa terdapat indikasi beberapa petinggi KPK dianggap melakukan kerja sama dengan tersangka korupsi. Hal tersebut semakin menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap KPK. Karena itu, KPK segera membentuk Komite Etik guna memeriksa kebenaran atas anggapan tersebut. Pada dasarnya, hal ini tidak perlu terjadi ketika Penasihat KPK yang telah ada dalam struktur organisasi KPK ditingkatkan fungsi dan wewenangnya. Oleh karena itu, guna mendapatkan kembali kepercayaan dari masyarakat, Penasihat KPK harus memiliki peran aktif dalam pengawasan integritas setiap pegawai KPK, dan guna mendapatkan kekuatan hukum, maka perlu diatur kembali dalam UU. Selanjutnya landasan Yuridis terdapat beberapa ketentuan mengenai KPK yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan, contohnya ketentuan mengenai kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK tanpa adanya prosedur penyadapan yang diatur dalam UU KPK dikhawatirkan dapat melanggar hak asasi manusia. Selain itu, dengan adanya penyidik KPK yang berasal dari Kepolisian dan penuntut KPK yang berasal dari Kejaksaan dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik kepentingan dalam menjalankan tugasnya.
ADVERTISEMENT
Penulis melihat berdasarkan salah satu argumentasi yang dibangun di dalam naskah akademik tersebut ingin kembali mengaktifkan kejaksaan dan kepolisian untuk berperan kembali dalam pemberantasan korupsi, namun hal ini tidak sejalan dengan pikiran publik yang mana masih memandang di dalam tubuh kejaksaan dan kepolisian belum sepenuhnya bersih dari praktik-praktik kotor seperti korupsi, kita bisa melihat pada kasus terbaru keterlibatan jaksa pinangki dalam kasus Djoko Tjandra, sedangkan di pihak kepolisian ada Irjen Napoleon Bona Parte dan Brigjen Nugroho Slamet Wibowo, sehingga argumentasi secara filosofis belum bisa diterima untuk mengembalikan Kejaksaan dan Kepolisian untuk turut serta memberantas korupsi kalau dalam institusinya sendiri belum bisa bersih dari praktik-praktik korupsi. Kemudian, argumentasi yang berlandaskan sosiologis bahwa terjadi Indikasi penyimpangan para pimpinan KPK dianggap bekerja sama dengan para koruptor sehingga perlu dilakukan pengawasan yang lebih ketat dengan membentuk suatu komite etik tersendiri yang Independen di dalam KPK, sehingga di dalam Implementasi dibentuklah Dewan Pengawas, mengutip pendapat Zainal Arifin Mochtar di dalam salah satu stasiun televisi nasional bahwa tidak ada di belahan dunia mana pun Institusi yang Independen diletakkan dewan pengawas, karena siapa yang akan mengawasi dewan pengawas hal tersebut bertentangan dengan logika ketatanegaraan. Masukan berkaitan dewan pengawas bahwa tidak diperlukan dewan pengawas karena KPK sudah memiliki deputi pengawasan tersendiri dan kaitannya dengan penyadapan juga dilakukan oleh ICW yang mana merujuk pada putusan MK yang menyatakan bahwa penyadapan bisa melanggar privasi individu, sehingga penyadapan seharusnya diatur di dalam UU khusus. Yang terakhir pada landasan yuridis memberikan argumentasi bahwa peraturan terkait penyadapan di dalam KPK tidak ada peraturan yang membatasi sehingga bisa menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang menjadi pertanyaan apakah hanya KPK saja yang harus di batasi dalam hal melakukan penyadapan, sedangakan di dalam institusi lain juga ada penyadapan, misalnya BNN, BIN, Kepolisian, Kejaksaan, dan lain sebagainya apakah sudah diatur juga mengenai penyadapan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pemaparan di atas penulis melihat bahwa Naskah Akademik RUU KPK yang dibuat oleh Legislator sangat lemah dan minim sekali partisipasi publik, argumentasi yang dibangun berdasarkan filosofis, Sosiologis, dan Yuridis terlihat hanya sekadar instrumen formalitas, tidak seutuhnya dilakukan secara holistik dengan menggali nilai, partisipasi dan aspirasi masyarakat. Sehingga penulis beranggapan seharusnya naskah akademik disusun dengan muatan yang sangat komperhensif dan akan menjadi amat tebal jumlah halamannya karena berisi tentang aspirasi 275 juta jiwa masyarakat Indonesia.
UU No. 12 tahun 2011 Pasal 19 ayat 1 sudah mengintruksikan bahwa “Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memuat program pembentukan Undang-Undang dengan judul Rancangan Undang-Undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya”. Selanjutnya dalam ayat 2 dijelaskan bahwa “Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang yang meliputi: (a) latar belakang dan tujuan penyusunan, (b) sasaran yang ingin diwujudkan; dan, (c) jangkauan dan arah pengaturan.” Kemudian ayat 3 menegaskan “Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik.”
ADVERTISEMENT
Pentingnya posisi Naskah Akdemik sebagai acuan dalam tahap pembahasan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus menjadi pedoman legislator untuk tidak memposisikan Naskah Akademik sebagai syarat formal melainkan syarat wajib yang harus dipenuhi untuk menyerap partisipasi publik seluas-luasnya dalam menentukan sebuah kebijakan, sehingga kebijakan yang berdasarkan aspirasi masyarakat yang luas akan memberikan corak kebijakan yang demokratis bukan elitis (kepentingan politik elit).
Mengutip pemikiran Prof. Mahfud MD bahwa Konfigurasi Politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk hukum yang ortodoks atau Konservatif. Indikator-indikator karakter produk hukum Responsif adalah pembuatannya Partisipatif, Muatannya aspiratif, rinciannya limitatif, sedangkan karakter Produk hukum Ortodok adalah pembuatannya sentralistik-dominatif, muatannya Positivist – Instrumentalistik, rincian isinya open interpretative.
ADVERTISEMENT
Penjelasan tersebut menggambarkan bahwa konfigurasi politik sangat mempengaruhi produk hukum yang akan dikeluarkan, berdasarkan Indikator tersebut meletakkan keterbukaan partisipasi publik sebagai Indikator utama sebagai corak produk hukum yang responsif-demokratis. Selama kurun waktu satu tahun terakhir DPR sudah mengesahkan berbagai UU dilihat yang minim partisipasi publik sehingga menimbulkan penolakan melalui demonstrasi dari kalangan masyarakat sipil berdasarkan teori konfigurasi politik Mahfud MD terlihat bahwa arah politik hukum Indonesia mengarah kepada politik hukum otoriter atau ortodoks.
Kesimpulan penulis
Indonesia sebagai negara hukum mewajibkan seluruh Instrumen kenegaraan menggunakan hukum dalam menjalankan roda pemerintahan, presiden dan DPR selaku pembuat kebijakan harus mengacu pada Prinsip-prinsip Pancasila dan UUD 1945 yang memposisikan rakyat sebagai daulat tertinggi, sehingga dalam perumusan sebuah peraturan perundang-undangan harus melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya yang mana partisipasi publik menjadi sebuah hak masyarakat tertuang dalam pasal 96 ayat 1 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang kemudian ditindak lanjuti dengan menggunakan teknik penyusunan Naskah Akademik yang memuat landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yurids, karena Naskah Akdemik dijadikan sebagai acuan dalam pembahasan, posisi Penting Naskah Akdemik tertuang dalam pasal 19 ayat 1 – 3, melihat contoh kasus pengesahan RUU KPK terlihat dari landasan Filosofis, landasan Yuridis, dan Sosiologis terlihat sangat minimnya partisipasi publik, perlu sebagai catatan bahwa rakyat Indonesia berjumlah 275 juta jiwa amat sangat mustahil bila lembaran naskah akademik itu sangat tipis padahal implementasinya menyangkut kepentingan keseluruhan 275 juta jiwa masyarakat Indonesia. Naskah Akademik sebagai metode penjaringan aspirasi dan partisipasi publik seharusnya diposisikan lebih secara sakral oleh para pembuat kebijakan karena konsekuensi sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, bila tidak ingin melibatkan publik anutlah sistem otoriter, seperti yang sudah dijelaskan oleh Prof. Mahfud MD dalam teorinya konfigurasi Politik.
ADVERTISEMENT
Rekomendasi atau tawaran yang bisa diberikan untuk mengawal RUU Prolegnas di masa mendatang adalah harus adanya pengaturan sanksi yang tegas bila terjadi penyimpangan di dalam UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan agar dalam membentuk undang-undang tidak dilakukan secara serampangan. Penguatan Partisipasi Publik di dunia modern saat ini harus lebih transparan dengan adanya kemajuan peradaban serta kemudahan akses yang bisa dilakukan setiap waktu, pembuat kebijakan wajib memberikan akses kepada masyarakat melalui dunia digital Sehingga tidak lagi ada alasan pemborosan anggaran karena terlalu lama dalam membentuk undang-undang. Konsekuensi negara yang menganut sistem demokrasi harus mampu mengakomodir seluruh lapisan masyarakat, Penyertaan Naskah Akademik harus bersifat wajib karena Naskah Akdemik merupakan wadah masyarakat untuk memberikan aspirasi dan partisipasi yang selanjutnya dijadikan sebagai acuan dalam proses pembahasan.
ADVERTISEMENT