Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Tenaga Kerja Wanita
5 Maret 2021 13:05 WIB
Tulisan dari ITMAAMUL WAFAA SAMUDRA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemalsuan dokumen Tenaga Kerja Wanita masih terjadi dan harus menjadi tanggung jawab negara maupun agen tenaga kerja, di mana harus dilakukan kontrol yang ketat dalam penyelenggaraan penyaluran tenaga kerja wanita.
ADVERTISEMENT
Kontrol yang ketat tersebut harus dimulai dari proses rekrutmen awal sampai dengan penempatan dan kepulangan ke tanah air; seluruhnya harus dalam pantauan negara dan stakeholder, sebab pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri terus berjalan dilatarbelakangi oleh persoalan ekonomi dan belum tersedianya banyak lapangan kerja yang memadai.
Segi pendapatan ekonomi yang relatif rendah dan kesempatan kerja yang belum merata akhirnya mendorong masyarakat untuk bermigrasi ke sebuah negara yang memberikan kesempatan kerja, baik di sektor formal maupun domestik, dengan faktor utama yang menjadikan ketertarikan tersendiri, yaitu upah tinggi dibandingkan dengan upah dalam negeri.
Tentu hal ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah selaku pelaksana UUD 1945 untuk memberikan penghidupan yang layak dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebelum lebih lanjut penulis akan memberikan pengertian secara terminologi mengenai pekerja migran. Konvensi Internasional Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya Pasal 2 Ayat 1 menyebutkan bahwa Pekerja Migran merupakan seseorang yang akan, tengah, atau telah melakukan melakukan kegiatan yang mendapat bayaran dalam suatu negara di mana dia bukan warga negaranya.
Pekerja migran Indonesia dianggap sebagai pahlawan devisa karena mampu memberikan kontribusi yang tinggi dalam pembangunan perekonomian nasional. Bank Indonesia mencatat remitensi pekerja migran Indonesia pada Kuartal IV mencapai $2,7 miliar.
Manfaat yang diterima oleh Pemerintah seharusnya juga ditopang dengan perlindungan kepada calon pekerja migran atau pekerja migran, karena masih terjadi pelanggaran-pelanggaran calon pekerja maupun pekerja migran di luar negeri yang berakar pada proses awal perekrutan. Proses yang cacat prosedur akan berdampak buruk pada keselamatan pekerja migran.
ADVERTISEMENT
Data BP2MI memperlihatkan pengaduan Pekerja Migran Indonesia (PMI) periode 2018-2020 mencapai 1.550 kasus. Selanjutnya kita bisa melihat penempatan pekerja migran Indonesia berdasarkan sektor formal dan informal serta jenis kelamin, bahwa per Agustus 2020 sektor formal mencapai 621 sedangkan sektor informal sebesar 3.580, berdasarkan jenis kelamin per Agustus 2020 laki-laki sejumlah 253 sedangkan perempuan mencapai 3.948.
Melihat data di atas, pekerja perempuan yang masuk di bursa kerja luar negeri sangat tinggi, sehingga pemerintah selaku pemangku kepentingan dalam melindungi warga negaranya dari tindakan kekerasan dan eksploitasi. Pasal 5 huruf e UU No. 18 Tahun 2017 menyebutkan bahwa Setiap pekerja migran Indonesia yang akan bekerja di luar negeri harus memiliki persyaratan dokumen lengkap. Namun ketentuan pasal tersebut hanya menyebutkan kelengkapan dokumen, bila dokumen lengkap maka sudah memenuhi persyaratan sebagai pekerja migran.
ADVERTISEMENT
Penyebab seseorang dapat menjadi korban adalah kealpaan, ketidaktahuan, kurang hati-hati, serta kelemahan korban. Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana belum memperoleh perlindungan memadai seperti yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan.
Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama sekali. Padahal, masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga korban kejahatan.
Menurut Arif Gosita, dalam suatu penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immaterial maupun materiil. Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan, yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil.
ADVERTISEMENT
Sudah saatnya kepentingan korban diberikan perhatian khusus dalam penanganan perkara pidana, selain sebagai saksi yang mengetahui terjadinya suatu kejahatan, juga karena kedudukan korban sebagai subjek hukum yang memiliki kedudukan sederajat di depan hukum (equality before law).
Dalam buku "Victimology, Victimisation and Victims’ Rights" Lorraine Wolhuter, Neil Olley dan David Denham menjelaskan beberapa teori pendekatan dalam mempelajari tentang korban yaitu teori positivist victimology melihat hubungan pelaku kriminal dengan korban, mengidentifikasi mengapa ada tingkat kerentanan viktimisasi yang berbeda dalam masyarakat, kemudian cara-cara penimbulan korban yang mana korban ikut andil dalam penimbulan sebuah kejahatan sehingga mempercepat proses kejahatan.
Pendekatan Radical Victimology adalah pendekatan untuk melihat korban yang ditimbulkan dari kejahatan kelas penguasa. Pendekatan ini lebih melihat relasi antara penguasa dan pekerja, yang mana penimbulan kerja diakibatkan dari pelanggaran perusahaan mengabaikan keselamatan dan kesehatan pekerja.
ADVERTISEMENT
Critical victimology merupakan pembaharuan dari dua pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini menekankan pada hubungan rekursif antara lembaga dan stuktur diperlukan untuk memahami sektor sejarah, budaya, ekonomi, sosial, serta kekuatan negara mendukung tindakan individu-individu tertentu pada saat-saat tertentu. Viktimologi kritis ini berpendapat bahwa korban memiliki potensi untuk mempertahankan atau memperjuangkan untuk memulihkan keadaan seperti semula, salah satu caranya dengan melakukan advokasi dan bergerak untuk memperjuangkan pengakuan hak korban.
Berdasarkan keterangan di atas penulis tertarik untuk melihat dari perspektif viktimologi kritis dan perlindungan hukumnya yang mana tenaga kerja wanita yang menjadi korban dalam tindak pidana pemalsuan dokumen, karena hal ini menjadi penting untuk dibahas karena dampak dari pemalsuan dokumen yang berujung sebagai tindak pidana perdagangan manusia, dan tentu akan terjadi hal buruk bagi korban bila berada diluar negeri, karena perempuan termasuk dari golongan rentan untuk di eksploitasi.
ADVERTISEMENT
Viktimologi
Viktimologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang hubungan korban dan kejahatan yang ditimbulkan dari pelaku. Rena Yulia menyebutkan Viktimologi berasal dari bahasa Latin Victima yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu, secara terminologis Viktimologi adalah suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial. Menurut UU LPSK yang dimaksud dengan korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Senada dengan Arif Gosita, Bambang Waluyo mendefinisikan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Kemudian Muhdar yang mengutip dari J.E. Sahetapy mengartikan korban adalah penderitaan, baik secara fisik maupun psikis atau mental berkaitan dengan perbuatan pihak lain. berdasarkan keterangan di atas bisa disimpulkan bahwa Viktimologi merupakan ilmu atau studi tentang korban yang ditimbulkan akibat dari tindak kejahatan yang mengakibatkan korban mengalami penderitaan baik fisik maupun mental yang harus diterima sebagai suatu kenyataan sosial masyarakat.
ADVERTISEMENT
Lilik Mulyadi dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi menerengakan tipologi korban kejahatan, menurut Sellin dan Woflgang, sebagai berikut :
a. Primary victimization, yang dimaksud adalah korban individual. Jadi korbannya adalah orang perorangan (bukan kelompok);
b. Secondary victimization yang menjadi korban adalah kelompok, misalnya badan hukum;
c. Tertiary victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas;
d. Mutual victimization yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri, misalnya pelacuran, perzinahan, dan narkotika;
e. No victimization, yang dimaksud bukan berarti tidak ada korban melainkan korban tidak segera dapat diketahui. Misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu hasil produksi.
Berdasarkan penjabaran tipologi korban, dalam hal ini tenaga kerja wanita yang ingin bekerja diluar negeri kemudian dipalsukan oleh perekrut tenaga kerja merupakan dari Primary Victimization karena korban dalam hal ini pekerja migran perempuan menjadi korban langsung secara individu (perorangan).
ADVERTISEMENT
Kita bisa melihat pada realita sosial bahwa kebutuhan ekonomi dalam negeri menjadi alasan utama bagi para pekerja migran Indonesia memilih bekerja di luar negeri. Berdasarkan hasil survei tim peneliti SMERU pada tahun 2017 bahwa terdapat beberapa alasan, umumnya perempuan bermigrasi berkali-kali hingga mereka berhasil mengumpulkan uang untuk membangun rumah, memberangkatkan orang tua ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, atau membayar utang keluarga. Ada juga perempuan yang menjadi buruh migran karena perceraian dan harus menjadi orang tua tunggal. Selain itu, ada yang menjadi buruh migran karena sulit mendapatkan pekerjaan di desanya, merasa tertarik setelah melihat keberhasilan tetangga, diajak oleh saudara, dan diajak oleh sponsor atau agen di desa. Situasi tersebut menjadi celah bagi penyalur tenaga kerja Indonesia keluar negeri untuk mendapatkan kesempatan dan keuntungan dalam tindak pidana tersebut.
ADVERTISEMENT
Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2 UU No 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia definisi mengenai pekerja migran Indonesia diluar negeri dijadikan dua kategori yang pertama adalah calon pekerja migran dan yang kedua adalah pekerja migran, berkaitan dengan definisi Calon Pekerja Migran Indonesia adalah setiap tenaga kerja Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/ kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, kemudian pekerja migran adalah Pekerja Migran Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia.
Melihat laporan BPS bahwa Jumlah angkatan kerja pada Februari 2020 sebanyak 137,91 juta orang, naik 1,73 juta orang dibanding Februari 2019. Komponen pembentuk angkatan kerja adalah penduduk yang bekerja dan pengangguran. Pada Februari 2020, sebanyak 131,03 juta orang adalah penduduk bekerja dan sebanyak 6,88 juta orang menganggur. Dibanding setahun yang lalu, jumlah penduduk bekerja bertambah 1,67 juta orang dan pengangguran bertambah 60 ribu orang. Peningkatan jumlah angkatan kerja tidak diiringi dengan peningkatan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Pada Februari 2020, TPAK tercatat sebesar 69,17 persen, turun 0,15 persen poin dibandingkan Februari 2019. Penurunan TPAK mengindikasikan adanya penurunan potensi ekonomi dari sisi pasokan (supply) tenaga kerja. Berdasarkan jenis kelamin, terdapat perbedaan TPAK laki-laki dan perempuan. Pada Februari 2020, TPAK laki-laki sebesar 83,82 persen sedangkan TPAK perempuan sebesar 54,56 persen. Dibandingkan tahun lalu, TPAK laki-laki mengalami peningkatan sebesar 0,64 persen poin sedangkan TPAK perempuan turun sebesar 0,94 persen poin.
ADVERTISEMENT
LPSK menemukan kasus berkaitan dengan pemalsuan dokumen yang masuk juga dalam kategori Tindak Pidana Perdagangan Orang, pemalsuan dokumen meliputi seperti KTP dan paspor. Berdasarkan penelusuran LPSK alasan menjadi PMI karena kurang mendapatkan kesempatan kerja di dalam negeri, sebanyak 704 Korban TPPO yang mengajukan permohonan perlindungan kepada LPSK sejak 2015 sampai juni 2020, adapun total korban tersebut terdiri dari 438 wanita dan 266 laki-laki di antara korban tersebut 147 korban merupakan perempuan dengan status masih anak-anak.
Lorraine Wolhuter, Neil Olley, and David Denham menerangkan bahwa melalui pendekatan viktimologi kritis ini bahwa korban pendekatan berbasis keadilan karena pada faktanya korban adalah warga negara yang memiliki hak atas kesejahteraan sehingga negara memiliki kewajiban untuk memberikan hak-hak korban, selanjutnya hak-hak tersebut secara substansi harus dipastikan bisa mengembalikan situasi korban seperti semula dalam realitas kehidupan. Oleh sebab itu, posisi negara memiliki kewajiban melalui lembaga secara khusus memberikan perlindungan kepada korban dan pemenuhan hak-hak korban dalam proses peradilan yang berkeadilan.
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan pemalsuan dokumen KUHP memberikan ketentuan pidana pemalsuan dokumen yang berbunyi Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsukan, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Selanjutnya di dalam UU Tindak Pidana Perdagangan Orang disebutkan tentang pemalsuan dokumen yang berbunyi yang dimaksud dengan perdagangan orang dalam UU ini adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi, di pasal selanjutnya mengenai ketentuan pidananya bahwa pelaku bisa dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
ADVERTISEMENT
Dalam konteks pemalsuan dokumen ini dengan memalsukan Akte Kelahiran, KTP, ijazah, serta memalsukan tanggal dan tahun lahir. Ini menunjukkan bahwa penyalur tenaga kerja perempuan masih melakukan tindakan yang membahayakan tenaga kerja perempuan yang memiliki kerentanan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, dengan melakukan pemalsuan dokumen, korban menjadi kesulitan untuk mengakses perlindungan saat berada di luar negeri. Padahal berdasarkan UU No 18 Tahun 2017 menyebutkan setiap pekerja migran Indonesia yang akan bekerja keluar negeri harus memenuhi syarat:
a. Berusia minimal 18 tahun
b. Memiliki kompetensi
c. Sehat jasmani dan rohani
d. Terdaftar dan memiliki nomor kepersertaan jaminan sosial, dan
e. Memiliki dokumen lengkap yang dipersyaratkan
adanya pasal a quo memberikan bagian dari proses awal perekrutan dan verifikasi oleh lembaga terkait dalam proses penyaluran tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, persyaratan tersebut menjadi syarat prosedural-formal sebelum menjadi pekerja migran, dalam beberapa kasus pemalsuan dokumen yang terjadi di Indonesia berawal dari proses perekrutan yang pelanggaran ketentuan perundang-undangan, sehingga muncul istilah pekerja migran legal dan illegal.
ADVERTISEMENT
Namun dalam UUD 1945 negara diwajibkan melindungi seluruh warganya sebagai bentuk tanggung jawab dan timbal balik dari seluruh aspek keuntungan negara melalui calon pekerja migran maupun pekerja migran yang sudah berada diluar negeri tertuang dalam pembukaan menyatakan bahwa tujuan Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan kata lain pemerintah Indonesia harus melindungi seluruh calon pekerja migran atau pekerja migran baik yang melalui jalur legal maupun jarul illegal.
Sehingga korban pemalsuan dokumen ini mendapat perlindungan oleh negara melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), karena korban pemalsuan dokumen ini termasuk bagian dari korban sepeti yang dimuat dalam UU LPSK yakni Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana, perlindungan saksi dan korban ini bertujuan untuk melibatkan korban dalam proses peradilan dalam mengungkap suatu tindak pidana.
ADVERTISEMENT
Relevansi viktimologi kritis yang berpihak kepada korban dalam upaya pemulihan korban dengan memberikan hak-hak korban dalam proses peradilan pidana sesuai dengan UU LPSK pasal 5 bahwa korban mendapatkan hak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya, ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan, memberikan keterangan tanpa tekanan, mendapat penerjemah (bila korban memiliki kebutuhan khusus), bebas dari pertanyaan yang menjerat, mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, mendapat informasi mengenai putusan pengadilan, mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan, dirahasiakan identitasnya, mendapat identitas baru, mendapat tempat kediaman sementara, mendapat tempat kediaman baru, memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan, mendapat nasihat hukum, memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir dan mendapat pendampingan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan mengenai mekanisme pengajuan perlindungan kepada LPSK Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK. Oleh sebab itu peran negara melalui LPSK sangat penting dalam proses perlindungan korban pada beberapa tahapan:
a. Tahap awal peristiwa dengan menjamin keamanan saksi, korban dan pendamping, Membangun dukungan (termasuk anggaran, SDM, sarana prasarana, dan mekanisme kerja) untuk korban dan saksi seperti layanan bantuan hukum, medis dan konseling yang sensitif gender secara murah dan gratis.
b. Tahap Investigasi Menjamin keamanan dengan membangun mekanisme pengamanan dan perlindungan. Antara lain dengan mewajibkan aparat keamanan untuk menjaga kerahasiaan identitas pelapor. Jika melanggar ada mekanisme pemberian sanksi.
ADVERTISEMENT
c. Tahap pra-pengadilan Menjamin hak saksi, korban dan pendamping untuk mengakses dokumen hukum (seperti salinan BAP).
d. Tahap pengadilan dengan melalui aparat penegak hukum menjamin keamanan saksi dan korban dari teror dan intimidasi dan mencegah terjadinya retraumatisasi.
e. Tahap pasca-pengadilan dengan menjamin keamanan saksi dan korban dari tindakan balas dendam pelaku (Damar Juniarto, Diyah Candrawati, Sri Wiyanti Eddyono, 2003: 54).
Kesimpulan
Pemalsuan dokumen merupakan proses yang terjadi pada awal rekrutmen bagi calon pekerja migran maupun pekerja migran yang mana dalam ketentuan UU No 18 Tahun 2017 sudah disebutkan dalam Pasal 5 UU No 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Tenaga Migran Indonesia Korban pemalsuan dokumen tenaga kerja wanita Indonesia berdasarkan pendekatan viktimologi kritis ini bisa mengajukan perlindungan kepada LPSK seperti semangat UU No 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban dalam rangka upaya melindungi korban dan mengungkap kejahatan dalam peradilan pidana.
ADVERTISEMENT