Konten dari Pengguna

Bahaya Laten PTN-BH

Itmamul Wafa Sidiq
Kepala Kajian Sumber Daya Manusia dan Agrikompleks Saung Tani Institute
8 Mei 2023 20:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Itmamul Wafa Sidiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
KBM Faperta Untirta melakukan refleksi di depan kampus Untirta (Dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
KBM Faperta Untirta melakukan refleksi di depan kampus Untirta (Dokumentasi pribadi)
ADVERTISEMENT
Satu hari setelah Indonesia mengumandangkan kemerdekaannya kepada seluruh rakyat dan bangsa di dunia, tepat pada 18 Agustus 1945, bangsa ini menempatkan batu pertama konstitusinya melalui Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
ADVERTISEMENT
Salah satu manifestonya berisi “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Dari manifesto inilah, pendidikan Indonesia seharusnya berkiblat.
Namun dewasa ini, setelah setengah abad lebih digaungkan kemerdekaan, cita-cita “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” seperti panggang jauh dari api. Pendidikan Indonesia cenderung semakin diliberalisasi yang mana merupakan domino effect dari kebijakan PTN-BH.

Wacana PTN-BH

Beberapa tahun terakhir sejumlah Perguruan Tinggi (PT) ramai mewacanakan kampusnya untuk bertransformasi menjadi PTN BH. Per-tanggal 20 Oktober 2022, tercatat ada 21 institusi PT yang statusnya sudah menjadi PTN BH.
Beberapa yang lain tentu semakin bergairah segera menyusul untuk berlomba-lomba mentrasformasikan kampusnya, pemerintah pun berupaya mempercepat transformasi ini, salah satunya dengan melakukan revisi peraturan.
Sebelumnya untuk menjadi PTN-BH pemerintah mensyaratkan minimal 80 persen program studinya harus terakreditasi unggul, kemudian peraturan itu direvisi melalui Permendikbud No. 4 Tahun 2020 yang mensyaratkan cukup 60 persen minimal program studi terakreditasi unggul.
ADVERTISEMENT
Wacana ini terus berkembang, karena PTN BH dianggap memiliki keleluasaan otonomi tersendiri. Namun, apakah benar demikian?

Otonomi Keblablasan

Penyelenggaraan PTN BH tertuang dalam pasal 65 (1) UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, dalilnya untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu.
Sebelum ada UU 12/2012, pemerintah pernah menetapkan PP 61/1999 yang membuat PT berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN), kemudian ingin disempurnakan melalui UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Namun belum sempat berjalan sempurna, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU ini melalui putusan No. 11-14-21-126136/PUU-VII/2009.
Secara historis-yuridis, beberapa aturan yang pernah dikeluarkan hampir memiliki maksud yang sama, yakni memberikan otonomi bagi PT untuk dapat dikelola secara mandiri. Yang menjadi masalah adalah, ketika otonomi yang diberikan oleh negara kepada PT malah melampaui batas fungsi yang seharusnya.
ADVERTISEMENT
Pasal 64 ayat (1) UU Dikti menyebutkan bahwa otonomi pengelolaan PT meliputi bidang akademik dan non-akademik. Otonomi non-akademik antara lain mencatumkan otonomi keuangan sebagai salah satu wewenang yang dapat dikelola (Pasal 64 ayat 3).
Bentuk pelaksanaan otonomi keuangan yang dimaksud adalah pembentukan PTN berstatus Badan Hukum (PTN BH) diperbolehkan mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi untuk PTN BH (Pasal 65 ayat 3).
Ini yang dimaksud bahaya laten (tersembunyi) ketika PT berubah statusnya menjadi PTN BH, karena ketika PT bertransformasi menjadi PTN BH yang boleh mendirikan badan usaha, maka hampir bisa dipastikan pengelolaannya akan jatuh kepada mekanisme pasar, sehingga PT menjadi penyelenggara pendidikan sekaligus pemain pasar (market actor).
Akibat dari otonomi kebablasan (kelewat batas) yang diberikan negara kepada PT, mengambil definisi Slaughter dan Larry L Leslie (1997) akan membuat PT jatuh ke dalam “Kapitalisme Akademik”. PT akan selalu dipaksa berkompetisi untuk mendapatkan dana-dana dari luar yang terikat pada pasar, bisa berupa hibah pembangunan, penelitian atau kontrak kerja sama dengan industri tertentu.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya otonomi akademik yang diberikan kepada PT kalah oleh determinasi pasar, dan mempengaruhi prioritas riset yang akan dibuat.

Komersialisasi Pendidikan

Selain menurunkan kualitas riset yang akan bergantung pada pasar, komersialisasi pendidikan juga menjadi konsekuensi logis ketika PT berubah statusnya menjadi PTN BH. Komersialisasi pendidikan ditandai dengan meningkatnya jumlah penarikan biaya ke peserta didik melebihi biaya pendanaan PTN BH dari alokasi ABPN yang digunakan untuk membiayai biaya operasional PTN BH yang tidak mampu dipenuhi oleh pemerintah.
Secara empiris argumentasi ini dibuktikan oleh penelitian Shofiyyatur Rosyidah pada skripsinya yang berjudul “Analisis Konstitusionalitas Pengelolaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH)”.
Dalam skripsi tersebut dijabarkan dengan sederhana bahwa terjadi tren kenaikan penarikan pendanaan pada peserta didik, khususnya di UGM dan UI. Penarikan biaya kuliah pada peserta didik dalam penelitiannya dibuktikan dalam lonjakan kenaikan UKT sebelum dan sesudah pengelolaan PTN BH.
ADVERTISEMENT

Hakikat Pendidikan

Menurut Prof. Winarno Surakhmad, Guru Besar Pendidikan, menyebutkan ukuran keberhasilan pendidikan di Indonesia ialah sejauh mana pendidikan nasional merupakan usaha yang relevan ditinjau dari Amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selama itu tidak tercapai, pendidikan nasional tidak bermakna apa-apa dan tidak patut dibanggakan, di peringkat manapun letaknya dalam perbandingan dengan negara manapun di dunia ini.