Konten dari Pengguna

Kelas Menengah: Hidup Susah, Tapi Kok Malas Protes?

Itmamul Wafa Sidiq
Kepala Kajian Sumber Daya Manusia dan Agrikompleks Saung Tani Institute
1 September 2024 11:50 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Itmamul Wafa Sidiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Masih teringat jelas, 16 tahun lalu, setiap pulang sekolah saya harus naik Kopaja nomor 95 dengan trayek Grogol-Rawa Bokor, kadang harus bergelantungan dekat pintu, sambil separuh kaki di luar. Waktu itu, saya masih kelas 4 SD dan tarifnya cuma seribu rupiah. Angkutan umum seadanya ini jadi andalan banyak orang di Jakarta, meskipun jumlahnya terbatas (lewatnya satu jam sekali), penumpangnya harus berdesakan, kursinya keras, dan fasilitasnya jauh dari kata nyaman.
ADVERTISEMENT
Seiring waktu, masyarakat mulai menyuarakan keinginan mereka untuk memperbanyak angkutan umum. Tapi, aspirasi itu nggak berhenti di situ saja. Protes terus dilancarkan, mendorong diskusi dari soal kuantitas ke kualitas. Sekarang, lihat deh, angkutan umum kita sudah ada AC, jumlahnya lebih banyak, terintegrasi dengan baik, bahkan ramah untuk perempuan dan penyandang disabilitas. Meski belum sempurna, setidaknya ada perbaikan yang nyata di wajah transportasi kota kita.
Nah, siapa sih yang jadi motor penggerak protes ini? Jawabannya, ya kelas menengah. Mereka adalahkonsumen baru yang cerewet dan kritis, dengan pendapatan yang lebih baik, akan menuntut kualitas pelayanan jasa publik, keadilan, dan tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Kelas yang biasanya punya pendidikan oke, tapi soal ekonomi, masih pas-pasan. Mereka sering dihantui ketidakpastian soal kesejahteraan dan kualitas hidup di masa depan.
ADVERTISEMENT
Ketakutan ini tentu bukan omong kosong, karena faktanya pada 72,4% pekerja kelas menengah di Indonesia bekerja di sektor produktivitas rendah, umumnya jasa dan pertanian.
Dokumentasi Pribadi
Bank Dunia menggambarkan kelas menengah sebagai kelompok yang suka membelanjakan pendapatan mereka untuk barang-barang yang nggak esensial. LPEM FEB UI juga menyebut kelas menengah sebagai kelompok yang pengeluarannya 3,5-7 kali di atas garis kemiskinan. Buat gambaran, menurut BPS, garis kemiskinan pada Maret 2024 adalah Rp 582.932.
Secara sosial, posisi kelas menengah ini kayak terjepit. Mereka nggak dapat bantuan sosial atau pendidikan, karena dianggap bukan kelompok miskin. Tapi, buat mengakses fasilitas tertentu, mereka juga serba sulit karena terbatas secara ekonomi—bikin serba salah.
Jumlah kelompok ini di Indonesia sangat besar, dan perannya penting buat mendorong pertumbuhan ekonomi. Nggak cuma itu, secara politik, mereka juga punya andil besar dalam mendorong perubahan. Kalau mereka diam saja, jangan kaget kalau hidup mereka makin susah di masa depan. Mulai dari susah beli rumah, susah nabung, sampai liburan pun harus pikir dua kali. Apalagi, belakangan ini pemerintah kayak terus menekan kelas menengah dengan kebijakan-kebijakan yang bikin geleng-geleng kepala, seperti Tapera, kenaikan pajak, pengurangan subsidi bahan bakar, dan yang terbaru, rencana perubahan subsidi KRL yang jadi nadi transportasi mereka.
Suasan berdesak-desakan penumpang KRL di pagi hari. Sumber: Dok pribadi
Alih-alih memberikan perlindungan sosial buat kelas menengah, pemerintah malah sibuk menarik pajak dari mereka. Nggak cuma itu, sekarang pemerintah juga mencoba mengalihkan perhatian kelas menengah dengan menyewa influencer supaya kenyataan pahit jadi kelihatan baik-baik saja.
ADVERTISEMENT
Jadi, kelas menengah seharusnya nggak boleh tercerai-berai dan harus berani bersuara terhadap ketidakadilan. Hidup ini nggak cuma soal makan seblak, bakso, atau mie, apalagi sekadar "healing" ke kafe-kafe. Chili berhasil menaikan level pendidikan dan kesejahteraan mereka ke arah yang lebih baik baru-baru ini, karena apa? ya karena mereka mau protes, apalagi di era digital, perlawanan di ujung barat akan bisa terdengar hingga ujung timur. Lantas, apa lagi yang membuat kita tetap diam ditindas dan diperas?
Atau barangkali tulisan Seno Gumira Ajidarma dalam karya "Menjadi Tua di Jakarta" benar bagi kebanyakan orang "Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa."
ADVERTISEMENT