Parade Bencana Petani Padi di Indonesia

Itmamul Wafa Sidiq
Kepala Kajian Sumber Daya Manusia dan Agrikompleks Saung Tani Institute
Konten dari Pengguna
24 Februari 2023 13:47 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Itmamul Wafa Sidiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Serikat Tani bersama Gerakan Mahasiswa Petani Indonesia sedang melakukan advokasi konflik agraria di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Sumber: Koleksi foto pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Serikat Tani bersama Gerakan Mahasiswa Petani Indonesia sedang melakukan advokasi konflik agraria di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Sumber: Koleksi foto pribadi.
ADVERTISEMENT
Pada awal tahun 2022, tepatnya pada bulan Februari, indeks pangan global mencatat bahwa harga pangan saat itu mengalami kenaikan pada level tertinggi sepanjang masa. Konsekuensinya, dengan meningkatnya harga pangan global, seharusnya petani yang menjadi produsen pangan ikut terkerek kesejahteraannya.
ADVERTISEMENT
Alih-alih demikian, yang terjadi pada petani di Tanah Air justru mengalami situasi yang berkebalikan. Negara terkesan meninggalkan petani dalam jurang bencana tidak berkesudahan. Renungan ini jelas bukan tanpa alasan, karena sejak beberapa tahun terakhir para petani, khususnya petani padi seperti mengalami parade bencana.
Kata bencana sendiri juga tampaknya tidak berlebihan digunakan. Dalam KBBI bencana memiliki arti sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan; kerugian; atau penderitaan. Definisi tersebut memang kurang lebih sama seperti yang tergambar pada realitas petani di lapangan.

Parade Bencana

Seperti yang sudah disebutkan, beberapa tahun terakhir petani padi seperti mengalami kiamat kecil, yang bencananya datang terus-menerus silih berganti tanpa akhir. Satu tahun yang lalu misalnya, sempat mencuat masalah kelangkaan pupuk bagi petani.
ADVERTISEMENT
Saat itu masalah yang (kembali) terangkat menjadi isu publik adalah perbedaan (gap) yang mencolok antara kebutuhan pupuk petani yang diajukan melalui Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) dengan ketersedian kemampuan APBN.
Kebutuhan pupuk yang diajukan mencapai 24,3 juta ton, sedangkan ketersediaan APBN untuk mensubsidi hanya 25,3 triliun atau setara 9 juta ton, ada jarak kebutuhan dan kemampuan sebanyak 15,3 juta ton. Lantas apakah hal tersebut merupakan permasalahan baru?
Tentu bukan. Fenomena perbedaan kebutuhan dan ketersediaan pupuk sudah terjadi setidaknya sejak 2016. Tercatat pada tahun 2016 terjadi gap sebanyak 12,4 juta ton (56.6 persen), terus meningkat sampai 17,3 juta ton (66 persen) pada 2020, dan turun kembali menjadi 15,3 juta ton (63persen) pada 2021, yang kemudian tidak berubah sampai pada 2022.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut merupakan bukti kurang sigapnya—jika tidak mau dikatakan gagal—negara melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan mengevaluasi kebijakan yang dikeluarkan (Kompas 27/1/2022).
Kemudian ada juga bencana yang belum juga menemukan fajarnya sejak era orde lama, orde baru, sampai ke orde reformasi, yakni konflik agraria. Bedasarkan catatan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2022, terjadi peningkatan konflik agraria dari 207 pada 2021 menjadi 212 pada 2022.
Sementara, semasa kampanye setiap pemilu konflik agraria selalu jadi komoditas jualan banyak calon pejabat. Namun hingga berganti tujuh presiden, konflik agraria masih seperti panggang jauh dari api.
Tidak berhenti sampai sampai di sana, melalui kebijakan impor beras sebanyak 500.000 ton yang digulirkan pada akhir 2022 sampai Februari 2023, petani padi dipaksa kembali menelan pil pahit. Impor beras ini berangkat dari premis bahwa Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang dipegang otoritasnya oleh Bulog saat itu jauh dari batas minimal CBP, yakni 1,2 juta ton.
ADVERTISEMENT
Padahal dalam waktu tersebut sebagian besar wilayah akan memasuki panen raya, dampaknya bahkan bisa dengan mudah ditebak oleh orang awam, kebijakan ini akan menyebabkan harga gabah dan beras di tingkat petani rendah.
Teranyar, pemerintah melalui Badan Pangan Nasional menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 47/TS.03.03/K/02/2023 tentang Harga Batas Atas Pembelian Gabah atau Beras. Surat tersebut salah satunya menetapkan harga batas bawah (floor price) dan harga batas atas (ceiling price) Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat Petani.
Harga batas bawah GKP di tingkat petani menyesuaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Permendag No. 24/2020, yakni sebesar Rp 4.200 per kilogram, sementara harga batas atas sebesar Rp 4.550 per kilogram. Kebijakan tersebut jelas berpotensi menjadi bencana (lagi) bagi petani, selain karena meningkatnya ongkos produksi beberapa tahun terakhir, petani akan menuju panen raya, apalagi.
ADVERTISEMENT
Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa dalam sebuah artikel (Kompas, 22/2/2023) menyebutkan ongkos produksi padi pada September 2022 menyentuh angka Rp 5.667 per kg GKP, itu artinya ongkos produksi yang dikeluarkan petani lebih tinggi dari harga jualnya.
Kebijakan ini juga berpotensi menyebabkan spekulasi dagang korporasi besar, mereka akan membeli beras dengan harga murah dan menjualnya di pasar premium.
Selain karena bermasalah pada penetapan harga, SE ini semakin menegaskan lemahnya posisi petani dalam penentuan kebijakan, alih-alih mendengar aspirasi petani dalam penentuan kebijakan, Badan Pangan Nasional lebih suka menutup kupingnya dan mendengarkan korporat besar.
Pasalnya, SE tersebut disepakati dalam rapat kordinasi yang berisi perwakilan dari Perum Bulog, Satuan Tugas Pangan Polri, Perkumpulan Pengusaha Beras Indonesia, PT Food Station Tjipinang Jaya, PT Wilmar Padi Indonesia, PT Surya Pangan Semesta, PT Buyung Poetra Sembada Tbk, PT Belitang Panen Raya, dan Citra Selaras.
ADVERTISEMENT

Renungan

Dengan segala bencana tidak berkesudahan yang menimpa petani padi, kita perlu merenungkan bagaimana nasib mereka (petani) ke depannya dan memikirkan apa yang mesti dievaluasi?
Negara harusnya tidak hanya menjadikan petani sekadar pihak yang menerima kebijakan, karena terlalu teknosentrik, apalagi negara terkesan serampangan dalam membuat kebijakan. Pemerintah harus mulai menerapkan metode holosentrik dalam mengambil kebijakan.
Hal ini disampaikan dalam orasi ilmiah Profesor Hermanu Triwidodo pada saat penetapan guru besar IPB University, Sabtu (21/05/2022). Pendekatan holosentrik menuntut pembuat kebijakan, peneliti dan petani berkolaborasi secara aktif tanpa ada jarak dalam membuat kajian yang melahirkan kebijakan.
Dengan demikian, petani dapat terlibat untuk menentukan sendiri solusi permasalahannya dengan pendampingan para ahli di bidangnya, bahkan sebelum kebijakan tersebut dikeluarkan.
ADVERTISEMENT