Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Memaklumkan Bahasa Campur ‘Anak Jaksel’, Baik atau Buruk?
18 September 2018 12:50 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Ivan Lanin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini disarikan dari wawancara melalui telepon dengan Ivan Lanin.
ADVERTISEMENT
Fenomena penggunaan bahasa Indonesia yang dicampur dengan kosakata bahasa Inggris sebenarnya bukan hal baru. Gejala ini sudah banyak muncul setidaknya sejak 2010, tahun ketika saya mulai aktif mengampanyekan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Namun, saat itu memang penggunaannya cenderung terbatas pada orang-orang yang bekerja sebagai agen periklanan.
Saya belum pernah melakukan penelitian terkait fenomena tersebut, tetapi dalam ilmu linguistik hal ini dikenal dengan code mixing atau campur kode. Jadi tidak perlu kaget, ini memang bukan sesuatu yang baru. Isu ini mengemuka kembali ke publik mungkin karena belakangan ini banyak orang yang membicarakannya di Twitter.
Penyebab penggunaan campur kode ini bermacam-macam, setidaknya ada tiga sebab utama. Campur kode biasanya pertama kali dilakukan saat seseorang belajar bahasa, misalnya dalam kasus ini bahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
Suatu kali orang tersebut lupa kata-kata tertentu dari bahasa yang sedang dipelajarinya, sehingga dia terpaksa menggunakan bahasa utamanya, yaitu bahasa Indonesia. "I want to makan," misalnya. Saat mengucapkan kalimat itu, si penutur lupa kata 'makan' dalam bahasa Inggris.
Tetapi untuk fenomena bahasa campur 'ala anak Jaksel' yang muncul saat ini, saya berpendapat tidak tepat jika dijelaskan melalui sebab tadi. Melainkan lebih tepat dipengaruhi oleh lingkungan kerja atau pergaulan si penutur. Orang yang menggunakan bahasa campur 'ala anak Jaksel' itu melihat lingkungannya biasa menggunakan gaya bahasa campur-campur, sampai akhirnya dipandang sebagai kelaziman.
Kenapa hal itu bisa terjadi? Kalau mau berbaik sangka, menurut saya, karena ada orang Indonesia yang lama tinggal di luar negeri, di mana mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari, lalu kembali ke Indonesia dan mencoba kembali berbahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Saat mencoba kembali berbahasa Indonesia itulah orang tersebut lupa kosakata tertentu. Maka dia menggunakan bahasa Inggris untuk mengganti kosaata yang dia lupa itu. Di samping faktor tersebut, sebenarnya ada juga dorongan agar kelihatan keren karena mencampur kosakata bahasa Inggris.
Gaya bahasa seperti itu tentu bisa diterima di lingkungan si penuturnya sendiri, misalnya di lingkungan kerja atau pergaulan. Tetapi jika digunakan terhadap kawan bicara yang tidak suka dengan gaya bahasa itu, tentu pesan yang disampaikan si penutur tidak dapat diterima dengan baik oleh lawan bicaranya. Jadi dampak pertama dari gaya bahasa campur-campur itu adalah pesannya sulit tersampaikan.
ADVERTISEMENT
Dampak kedua adalah menurunnya keterampilan berbahasa formal. Sebenarnya membiarkan penggunaan gaya bahasa campur-campur ini adalah bentuk kemanjaan terhadap diri sendiri. Manja karena sudah nyaman dengan kebiasaan itu, sehingga tidak berusaha mencari kosakatanya dalam bahasa Indonesia.
Bukan tidak mungkin saat diminta menulis laporan resmi, orang itu tiba-tiba menggunakan kata 'which is' untuk 'yang mana' atau 'even' untuk 'bahkan'. Karena saat kita sudah menggunakan itu dalam satu ragam tertentu, yaitu ragam lisan dalam bercakap dengan teman, mau tidak mau tentu akan terbawa.
Contohnya, saya alami sendiri di tahun 2006. Saat itu, perjuangan saya untuk kembali berbahasa Indonesia yang benar sangat berat. Bahkan, sampai 4 tahun saya harus memaksa diri untuk tidak mencampur bahasa asing apapun saat berbicara bahasa Indonesia. Jadi kita bakal terlena menggunakan gaya bahasa campur-campur jika tidak diingatkan.
ADVERTISEMENT
Balik lagi ke soal bahasa campur-campur 'ala anak Jaksel'. Mungkin orang bertanya-tanya, kenapa kok ini bisa jadi 'identitas' anak muda Jakarta Selatan? Kalau saya melihat, hal ini bermula dari kebiasaan main ledek-ledekan daerah di Twitter, seperti halnya ledekan tentang anak Bekasi.
Saya menduga gaya bahasa campur-campur ini populasinya paling banyak dari Jakarta Selatan. Soal bagaimana kemudian muncul istilah 'bahasa anak Jaksel', pasti ada yang mencetuskan, tetapi saya tidak tahu siapa.
Tetapi seingat saya, seperti saya sampaikan di atas, gaya bahasa campur-campur ini banyak digunakan di kalangan anak muda yang bekerja sebagai agen periklanan. Nah, kantor-kantor mereka itu banyak berada di Jakarta Selatan. Itu mengapa populasinya mungkin paling banyak di Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa penggunaan bahasa campur-campur ini mengandung dua dampak negatif: menurunnya keterampilan berbahasa dan pesan yang dibicarakan tidak tersampaikan. Sedangkan dampak positifnya saya pikir tidak ada.
Kalau alasannya ingin belajar bahasa asing, saya pikir tidak ada manfaatnnya bicara setengah bahasa Indonesia dan setengah bahasa Inggris seperti itu. Itu namanya kepalang ajar.