Tren dan Tantangan Pendidikan Vokasi di Era Digital

Konten dari Pengguna
17 April 2017 20:51 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ivan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Pendidikan Vokasi di Era Digital (Foto: Glenn Carstens-Peters)
Era digital menawarkan pendekatan berbeda dalam belajar dan bekerja. McKinsey dan Co baru-baru ini memperkirakan bahwa Indonesia memiliki potensi digital yang belum dimanfaatkan hingga USD 150 miliar.
ADVERTISEMENT
Peter Thiel dalam bukunya Zero to One mengingatkan untuk tidak meniru orang-orang sukses dengan penemuannya di masa sebelumnya. Menurut Peter, Bill Gates selanjutnya tidak akan membuat sistem operasi komputer, Larry Page dan Sergey Brin berikutnya tidak akan menciptakan search engine, dan Mark Zuckerberg yang baru tidak akan membuat jejaring sosial. Jika kita menirunya, maka itu mengartikan kita tidak belajar darinya.
Dunia pendidikan sudah seharusnya dapat menangkap sinyal bahwa kepala sekolah dan guru membutuhkan learning capacity untuk beradaptasi dengan era digital yang sangat potensial terkhusus di daerah 3T. Daerah 3T, bukanlah daerah yang selalu miskin. Dengan pengelolaan sumber daya yang baik, daerah 3T dapat menjadi muara ekonomi kawasan.
Selalu ada ancaman di setiap perubahan. Namun, perlu dilihat potensi perubahan tersebut bagi masyarakat. Era digital, salah satunya lebih dulu mewabah ke insan muda. Mereka sudah cukup adaptif, begitu mudah mereka mengetikkan jemarinya ke smartphone atau tombol laptop. Adanya ojek dan taksi online membuktikan bahwa tiap perubahan selalu beresiko. Salah satunya, supir angkot dan ojek pangkalan yang tergusur dan tergerus dengan eksistensi layanan online.
ADVERTISEMENT
Perubahan sosial dan budaya harus dapat dipahami sebagai sebuah konsekuensi dari penemuan baru. Sebelum menjadi tren, tentu kita harus lebih dulu tahu apa yang harus disiapkan ketika perubahan tersebut terjadi. Yang biasa terjadi di Indonesia, setiap ada masalah, baru menelurkan kebijakan baru. Inilah yang membuat kita terus terlambat dan tertinggal dari bangsa-bangsa lain.
Jangan menunggu.
Tidak ada yang lebih sesat, selain menunggu dalam konteks yang keliru. Menunggu zaman berubah tanpa kesiapan adalah sebuah kesalahan. Dengan bonus demografi yang dimiliki Indonesia, tentu bukan hal mudah mengelola usia angkatan kerja dengan usia 15-64 tahun yang mencapai 70 persen dari total penduduk.
Kepala sekolah dan guru harus jemput bola. Jangan menunggu pemerintah dan pemda mengeluarkan bantuan. Budaya kerja dapat dimulai sedini mungkin. Menjalin kemitraan tidak membutuhkan biaya signifikan. Kemitraan dengan industri bukan semata untuk menitipkan siswa bekerja di dunia nyata. Namun, lebih dari itu—meng-upgrade mutu guru serta memperbarui apakah keilmuannya dapat bersinergi dengan industri yang lebih dinamis perkembangannya.
ADVERTISEMENT
Ketiadaan guru produktif dapat disiasati dengan mempertemukan sekolah dengan universitas/politeknik/industri. Jasa lulusan atau praktisi di universitas/politeknik/industri dapat diundang untuk hadir sebagai narasumber tamu, menjelaskan peralatan/teknologi yang digunakan dalam industri. Apakah yang digunakan di sekolah (bantuan dari pemerintah/pemda) cukup signifikan dan masih update digunakan untuk 5-10 tahun mendatang?
Guru adaptif dengan keahlian ganda dan menjadi guru produktif memang dibutuhkan. Namun, mencetak kekurangan 91.861 guru produktif (data Kemdikbud, 2016) dengan menunggu mereka ada dan terlibat, jelas akan sangat menyia-nyiakan waktu siswa untuk menekuni bidang keahlian tertentu. Kreativitas kepala sekolah berinisiasi dengan melibatkan pemda/dinas pendidikan/dinas lainnya untuk mengakomodir tuntutan pasar menjadikan kerja kepala sekolah bukan hanya bertahan menunggu perubahan terjadi, tapi menjemput bola bermitra dengan DUDI (dunia usaha dan dunia industri), akademisi, dan lulusan universitas/politeknik.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data McKinsey Global Institute (2012), Indonesia membutuhkan sekitar 58 juta tenaga kerja terampil untuk menjadikan ekonomi Indonesia peringkat ke-7 pada 2030 mendatang. Kondisi sebaliknya, terjadi 23 persen penurunan penduduk usia kerja di Eropa pada 2010 sampai 2050 akibat ageing society.
Ini peluang yang tidak boleh disia-siakan. Namun, berdasarkan WEF (2015), bagaimana posisi Indonesia di ASEAN sendiri? Indonesia berada di peringkat ke-4, di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Melihat posisi tersebut, bukan hal yang mudah mensejajarkan diri, terlebih dengan jumlah penduduk yang banyak, dan tersebar ke berbagai pulau. Hal ini juga membutuhkan kemandirian bagi daerah untuk membaca potensi dan keunikannya masing-masing.
Daerah 3T membutuhkan layanan internet yang memadai. Penelitian McKinsey dan Co dengan penetrasi internet yang rendah (34 persen), perjalanan menuju era digital menjadi terhambat. Menurut The Global Competitiveness 2016-2017, Indonesia berada di peringkat ke-91—di mana tingkat pilar kesiapan teknologi (di bawah 6) karena penetrasi internet masih rendah. Hanya satu dari lima orang yang menggunakan internet dan hanya ada satu koneksi broadband tiap 100 penduduk. Namun, teknologi dalam perusahaan lebih tersebar (peringkat 53).
ADVERTISEMENT
Di sektor informal, melansir The International Labor Organization (ILO), diperkirakan lebih dari 35 juta wanita yang tidak bekerja antara usia 15 dan 64 tahun menunjukkan, bahwa dengan platform online, Indonesia dapat mengaktifkan 3 persen dari populasi ini—menambahkan 1 juta orang untuk tenaga kerja Indonesia. Ini baru dari jalur informal, pekerja rumah tangga, belum lulusan yang telah dibekali kompetensi dalam pasar kerja digital.
Dampak ekonomi sebesar USD 150 miliar per tahun pada 2025 terlalu indah untuk diabaikan. Menerapkan strategi digital yang holistik di ranah pendidikan ikut mendorong bagaimana tenaga kerja Indonesia dapat bersaing dengan tenaga kerja asing.
Australia bahkan menerbitkan buku THE VET ERA: Equipping Australia’s workforce for the future digital economy sebagai penanda bahwa ekonomi digital merupakan pasar potensial bagi tenaga kerjanya untuk mempersiapkan diri sedini mungkin. Indonesia, jangan sampai hanya menjadi konsumen dan penonton di negeri sendiri.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, ancaman serius yang tidak disadari dalam era digital ini, yaitu ketidaksiapan dan kurangnya greget pemerintah daerah. Presiden Jokowi telah menerbitkan Inpres No. 9 Tahun 2016 agar SMK bisa menerobos hambatan birokrasi yang berbelit-belit. Pemerintah (daerah), Industri, dan Peneliti harus berkolaborasi dan segera berinisiasi membangun ekonomi digitalnya yang dapat menyerap tenaga kerja potensial. Potensi ini sebenarnya sudah tersedia dengan Generasi Z yang lahir dan dibesarkan dalam rahim teknologi digital.
Muhammad Ivan Pegiat Komunitas Pengembangan Literasi dan Penerbitan Buku bidang Pendidikan, Tinggal di Depok, Jawa Barat