Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jadi Kaum Woke yang Nggak Maksa, Memang Bisa?
26 Agustus 2024 7:22 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Iva Umu Maghfiroh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Meskipun telah ada sejak lama tetapi istilah woke agenda baru dikenal di Indonesia beberapa waktu belakangan ini terlebih dengan semakin maraknya penggunaan istilah tersebut di kalangan generasi muda. Woke sendiri muncul di Amerika Serikat pada tahun 1940-an yang mangacu pada isu-isu kemanusiaan, sosial dan rasial terutama yang berkaitan dengan komunitas Afrika-Amerika. Yang mana hari ini meluas maknanya menjadi gerakan perlawanan pada ketidakasilan, ketidaksetaraan serta penghilangan prasangka. Bahkan istilah stay woke kemudian menjadi simbol dari kegiatan aktivisme termasuk yang berkaitan dengan isu lingkungan maupun LGBTQ.
ADVERTISEMENT
Istilah woke ini kemudian juga meluas bukan hanya pada gerakan-gerakan sosial semata, melainkan juga pada industry (pemasaran) dan politik demi meraih keuntungan yang lebih besar. Banyak pemasar dan politikus menggunakan woke untuk mendekatkan diri terhadap audiens mereka. Seperti yang dilakukan oleh studio Disney akhir-akhir ini di mana mereka secara terang-terangan mengganti ras bahkan orientasi seksual dari tokoh-tokoh fiksi karakter dalam film-filmnya.
Sayangnya, meskipun woke agenda sendiri memiliki tujuan yang sangat mulia, tetap saja tidak bisa lepas dari kontroversi. Banyak yang menganggap bahwa banyak kegiatan woke yang justru menimbulkan diskriminasi bahkan kegiatan perundungan baru terhadap mereka yang belum atau tidak tahu mengenai isu-isu yang sedang dibahas. Bahkan hingga ada yang menyebut bahwa beberapa praktik woke agenda alih-alih memberikan pencerahan justru lebih condong kea rah pemaksaan ideologi yang jelas bertentangan dengan tujuan woke itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Gagalnya Woke dalam Film
Seperti yang telah disinggung di atas, salah satu pihak yang tidak pernah bisa lepas citranya dari woke agenda ialah media dalam hal ini Disney. Sebagai salah satu studio film terkenal di dunia, Disney telah banyak memasukkan woke dalam karya-karya terbarunya terutama yang berkaitan dengan rasisme dan komunitas LGBTQ.
Namun demikian, banyak tindakan yang diambil oleh Disney dan studio sejenis untuk mengangkat woke justru dianggap kurang tepat dan mendapatkan kritikan dari masyarakat di berbagai negara. Karena alih-alih mengangkat dan memperkenalkan suara kesadaran, langkah mereka justru menciptakan cemoohan yang diarahkan terhadap kelompok minoritas tersebut.
Hal ini bisa kita lihat pada film Ariel yang tayang beberapa tahun lalu, di mana aktris pemeran Ariel Live Action mendapatkan serangan dari penggemar serial kartunnya karena dianggap tidak akurat. Bukan hanya Halle Bailey saja, hal serupa juga di terima oleh Francesca Amewudah Rivers, pemain Romeo dan Juliet. Alih-alih membuat karakter baru, mereka justru dengan sadar mengubah ras dari karakter yang telah ada hingga membuat banyak penggemar mengaku kecewa.
ADVERTISEMENT
Hal serupa pernah terjadi berkaitan dengan Velma, salah satu katakter fiksi dari serial Scooby Doo yang dikenal dengan kecerdasannya. Alih-alih hanya mengganti orientasi seksual Velma, studio HBO MAX justru mengubah karakter Velma menjadi bodoh dan sangat jauh dari apa yang sebelumnya telah dikenal oleh penggemar. Yang kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah hanya dengan berubah orientasi seksualnya seorang Velma langsung berubah menjadi bodoh? (Pertanyaaan ini hanya candaan).
LGBT dan Olimpiade Paris
Salah satu komunitas yang paling dicitrakan lekat dengan woke agenda oleh masyarakat Indonesia (khususnya) ialah LGBTQ dan hal-hal berbau barat lainnya. Tidak mengherankan, sebab istilah woke sendiri memang berasal dari Amerika Serikat yang merupakan bagian dari negara-negara barat. Dan di sana komunitas LGBTQ juga bisa dikatakan telah cukup berhasil memperjuangkan hak-hak mereka.
ADVERTISEMENT
Namun, ini yang kemudian menjadi masalah sebab seperti yang kita ketahui bahwasanya perkembangan teknologi telah menghapus batas-batas di dunia termasuk geografis seperi negara. Komunitas LGBTQ di barat yang selama ini mencitrakan dirinya dengan kebebasan dan keterbukaan seringkali berbenturan dengan norma dan nilai pada masyarakat timur, khususnya negara-negara seperti Indonesia. Hal tersebut tercermin dari pembukaan Olimpiade Paris 2024 ini, di mana Paris yang merupakan salah satu negara yang hampir selalu menarasikan diri sebagai penjunjung kesetaraan, justru menampilkan parodi Perjamuan Terakhir dengan komunitas LGBTQ sebagai aktornya. Sedangkan di sisi lain, Paris membiarkan diskriminasi terhadap pemeluk agama seperti Islam dan Kristen yang ingin menenakan symbol keyakinannya.
Kontradiksi ini memang agaknya terlalu dangkal untuk menilai, tetapi sangat dapat berpengaruh terhadap woke itu sendiri. Yang kemudian melahirkan anggapan bahwasanya banyak pegiat woke justru melakukan penindasan lain dan menentang prinsip mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Open Minded dan close Minded
Hal lain yang menjadi alasan gagalnya woke adalah pada praktinya banyak pegiatnya justru menjadi penyerang alih-alih memberikan pencerahan terhadap mereka yang tidak sejalan. Padahal, ketimbang memperlakukan orang-orang ini sebagai musuh, aktivis woke harusnya menganggap mereka sebagai target untuk diberi pengertian sebab semua orang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang sama.
Misalnya, ketika ada seseorang yang melakukan aksi rasisme terhadap suatu golongam, janganlah langsung di maki-maki karena siapa tahu dia tidak mengerti bahwa aksinya itu bentuk dari rasisme. Ada baiknya kita jelaskan pelan-pelan, berikan pengertian dan penanaman pemahaman. Jangan sampai ujaran close minded justru berbalik terhadap aktivis yang tidak bisa memahami kemampuan orang lain, serta bahwa ada jarak antara dirinya dengan orang atau golongan lain.
ADVERTISEMENT