Pisau Bermata Dua, Media Sosial dan Lunturnya Persatuan Bangsa

Iva Umu Maghfiroh
Mahasiswi Sosiologi di Universitas Terbuka.
Konten dari Pengguna
6 Januari 2024 16:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iva Umu Maghfiroh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pixabay by Eric Lucatero
zoom-in-whitePerbesar
Pixabay by Eric Lucatero
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Media sosial sudah tidak bisa lagi dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan dilansir oleh dataindonesia.id pada Febuari 2023 saja sudah ada sekitar 167 juta pengguna media sosial di Indonesia dan tentu setelah setahun berlalu jumlahnya telah bertambah.
ADVERTISEMENT
Namun, media sosial yang selama ini kita kenali sebagai sarana penghapus jarak dan waktu serta mampu membuat kita bisa lebih mudah mengakses informasi ini memiliki sisi lain yang kadangkala tidak disadari, termasuk dalam hal ini adalah persatuan bangsa. Tak bisa dimungkiri, Indonesia sendiri merupakan bangsa yang sangat besar dengan beraneka keragaman. Perbedaan agama, etnis, bahasa bahkan ras hidup dalam satu atap bernama Indonesia. Tidak banyak bangsa yang bisa bertahan dalam keberagaman semacam ini, dan Indonesia telah membuktikannya setidak-tidaknya dalam hampir delapan puluh tahun terakhir.
Sosial media di satu sisi sangat bermanfaat dalam memperkenalkan indahan budaya di antara perbedaan, tetapi di sisi lain juga bisa sangat berbahaya karena bisa menghancurkan persatuan. Terlebih dengan lahirnya pengguna tidak bertanggung jawab serta politisi-politisi nakal yang mengangkat isu politik identitas ke media sosial.
ADVERTISEMENT
Tentu masyarakat belum lupa dengan drama pemilukada DKI Jakarta 2017 lalu, atau isu islamisasi yang dilontarkan oleh Natalius Pigai setelah diangkatnya pejabat gubernur yang kebetulan bergama islam di beberapa provinsi di Papua, serta kejadian paling baru yaitu pernyataan DPD Bali Arya Wedakarna tentang penggunaan jilbab.
Sebagai perwakilan publik, harusnya para pejabat ini bisa memberikan contoh yang lebih baik kepada masyarakat. Karena ketika isu-isu seperti ini muncul sangat mudah untuk menimbulkan gejolak nyata di masyarakat. Yang mana nanti dampaknya akan dirasakan secara langsung oleh masyarakat.
Selain itu mendekati pesta demokrasi 5 tahunan seperti ini, pengguaan buzzer-buzzer politik untuk menggiring dan mempolarisasi masyarakt menjadi sangat ramai. Bahkan antar warganet bisa saling tuduh hanya karena berbeda pendapat dan pilihan politik. Bukan hanya itu, menurut data yang Tentu ini menjadikan sebuah kecemasan tersendiri bagi Bangsa Indonesia dalam menjaga persatuan.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, hal semacam ini bisa dicegah seandainya masyarakat Indonesia telah memiliki kemampuan penalaran yang baik dalam pengelolaan informasi. Di era digital seperti sekarang informasi sangat mudah untuk ditemukan di mana saja, tetapi masyarakat kita belum bisa memilah mana berita yang kredibel dan mana yang sekadar kabar bohong; mana sumber yang dapat dipercaya dan mana yang bukan. Tapi lebih buruk lagi, masyarakat kita tidak bisa menghargai pendapat orang lain sehingga saat mereka menerima informasi yang dirasa tidak menyenangkan atau melemahkan kepercayaan mereka terhadap sesuatu, dengan mudah masyarakat akan menuduhnya keliru atau bohong, sekalipun telah ada sumber yang dicantumkan. Alih-alih mengecek sumber, masyarakat kita cenderung lebih senang membuat konspirasi atau cocoklogi yang terkadang tidak berhubungan dengan konteks pembahasan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, media sosial yang algoritmanya cenderung membentuk kita terjebak dalam lingkaran dan tidak menayangkan yang bukan keinginan kita, membuat polarisasi bisa terjadi semakin mudah. Sedikit saja konflik dapat menjadi sangat besar dan mempengaruhi orang-orang di dalamnya, yang akan memperkuat identitas kelompoknya masing-masing. Ditambah Indonesia juga cenderung tidak punya musuh dari luar yang mana hal ini membuat masyarakat terlena dan perlahan menggerus persatuan sebagai sebuah bangsa dan negara.