Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Seberapa Rentan Perempuan dalam Mengakses Pelayanan Kesehatan?
15 Agustus 2024 10:26 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Iva Umu Maghfiroh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam konsep keadilan gender, setiap orang dianggap memiliki titik awal serta kebutuhan yang berbeda sehingga dalam mengalokasikan sumber daya yang dibutuhkan pun berbeda. Sementara kesetaraan gender berarti memberikan akses yang sama terhadap manusia tanpa memandang gendernya. Untuk itulah dalam memperbaiki perbedaan kebutuhan haruslah diatasi terlebih dahulu ketidakseimbangan antara perlakuan pada setiap gender yang ada.
ADVERTISEMENT
Ketidakadilan gender seringkali didasarkan pada norma dan standar yang berlaku di masyarakat dalam hal pendistribusian manfaat dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki. Sehingga di sini tentu antara satu masyarakat dengan masyarakat lain bisa saja memiliki norma dan standar yang berbeda satu sama lain.
Ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan yang dialami oleh perempuan tidak lepas dari diskriminasi gender yang dialami oleh perempuan. Sebab dalam masyarakat perempuan seringkali dianggap ‘kurang’ berkontribusi. Sebab seperti yang diketahui, faktor ekonomi, sosial dan lingkungan adalah penentu dalam hal kesehatan. Semakin bagus pendidikan, kesejahteraan sosial, kepemilikan usaha, dan factor-faktor sejenis maka akan semakin meningkat pula kesempatan mereka mendapatkan kesejahteraan termasuk dalam bidang kesehatan.
Sementara perempuan yang dianggap kurang berkontribusi inilah pada akhirnya mendapatkan diskriminasi. Misalnya begini, ketika terdapat seorang perempuan yang tidak punya pendidikan yang cukup bagus, dia akhirnya ibu rumah tangga di usia belia, tidak punya akses pada kesehatan dan tempat tinggalnya pun jauh dari fasilitas kesehatan. Itulah kenapa saat dia mengandung akhirnya tidak diperiksakan, ditambah karena dia perempuan yang tinggal di masyarakat yang menganggap melahirkan cesar tidak seusai norma mereka, maka perempuan tersebut akhirnya melahirkan di rumah tanpa peralatan dan pengawasan medis sama sekali. Akhirnya, dia dan bayinya meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Selain itu peran perempuan yang dianggap hanya sebagai ‘pengurus rumah’ seringkali diabaikan dan masyarakat pada akhirnya hanya berfokus pada lelaki yang dianggap punya resiko tinggi. Padahal tidak demikian, tinggal di rumah pun tidak menghilangkan perempuan dari resiko kesehatan misalnya seorang ibu yang baru melahirkan punya resiko terkena baby blues. Atau seorang istri bisa saja tertular PMS dari suaminya yang ternyata mengidap berbahaya.
Itulah kenapa saat kaum perempuan tidak memiliki akses ke pendidikan, ekonomi dan sosial yang bagus maka akan menjadi lebih rentan untuk mendapatkan ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan tetapi jika yang mengalami tersebut adalah perempuan maka ada level baru yang menjadikannya berada di posisi jauh lebih ke bawah. Atau singkatnya, jika yang tidak punya akses itu adalah perempuan maka kemungkinannya mendapat ketidadilan menjadi lebih besar daripada jika dia laki-laki. Ya itu tadi, norma, sosial, budaya bahkan agama berperan penting pada bagaimana cara masyarakat memposisikan peran dan tempat bagi perempuan.
ADVERTISEMENT
Namun, perlu diingat bahwa ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan yang dirasakan oleh perempuan tidaklah otomatis hadir karena dia perempuan, melainkan karena norma, nilai dan budaya masyarakat lah sering kali mengandung diskriminasi pada perempuan termasuk dalam bidang kesehatan.