Konten dari Pengguna

Kekerasan Seksual: Pencegahan, Penanganan, dan Penghentian

vena
pelajar/mahasiswa
13 Desember 2022 13:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari vena tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kekerasan seksual adalah sebuah tindak pidana yang kini kian marak. Menurut Permendikbud-Ristek PPKS, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal. Secara umum, definisi ini juga berlaku bagi lingkup luas, bukan hanya pendidikan tinggi saja.
ADVERTISEMENT
Kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Tidak ada tempat yang lebih atau kurang rawan. Tidak ada korban yang lebih atau tidak rentan dengan kekerasan seksual. Kekerasan seksual tidak memandang gender, usia, paras, pakaian, agama, suku, ras, dan berbagai macam perbedaan lainnya. Semua orang berpotensi untuk mengalami kekerasan seksual. Maka dari itu, permasalahan sepenuhnya tidak ada pada korban, melainkan pada pelaku.
Pelaku adalah orang yang berinisiatif untuk melakukan perlakuan tercela ini kepada siapapun yang menjadi targetnya. Penyebab pelaku melakukan hal ini utamanya karena gangguan psikis pelaku sendiri. Pada dasarnya, manusia memiliki libido (nafsu berahi) yang bersifat naluri. Namun, pelaku kekerasan seksual memiliki libido yang tinggi sehingga membuat mereka tidak mampu mengontrol nafsu seksual. Kelainan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor biologis, psikologis, dan sosial.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada beberapa hal tidak wajar yang dianggap sudah ternormalisasi dalam lingkungan. Misalnya, obrolan jorok atau bercandaan sangat sering terjadi di tongkrongan. Kebiasaan tersebut merupakan akar dari terjadinya kekerasan seksual. Adapula bentuk-bentuk pelecehan seperti godaan berupa siulan yang sering terjadi. Semua hal ini, jika semakin dinormalisasi, dapat menjadi kebiasaan yang mengarahkan seseorang untuk melakukan perilaku lebih parah atau disebut sebagai kekerasan seksual.
Adapun beberapa unsur yang berkaitan dengan terjadinya kekerasan seksual. Unsur-unsur ini merupakan hal yang menjadi bagian dari penyebab dari kekerasan seksual. Unsur dalam kekerasan seksual sebenarnya ada banyak karena berbagai faktor dapat berkontribusi dalam kekerasan seksual. Namun, unsur-unsur yang akan dijelaskan di sini merupakan rangkuman besar dari faktor-faktor lainnya yang termasuk dalam penyebab kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Unsur yang pertama adalah consent. Consent secara sederhana adalah sebuah persetujuan antarpihak yang hendak melakukan aktivitas seksual. Consent sangat penting untuk dibuat sebab tanpa hal ini, maka sebuah aktivitas seksual dapat dikatakan sebagai kekerasan seksual. Perlu ditekankan bahwa consent dibuat oleh kedua pihak yang hendak melakukan aktivitas seksual, bukan hanya satu. Sehingga melalui perjanjian ini, kedua pihak melakukannya tanpa unsur paksaan apapun.
Dalam membuat consent, ada beberapa aturan yang harus diikuti. Aturan ini disingkat sebagai FRIES (Freely given, Reversible, Informed, Enthusiastic, and Specific). Freely given berarti suatu consent diberikan tanpa tekanan atau paksaan apapun, serta diberi dalam kondisi sadar atau sedang tidak di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan. Reversible berarti setiap keputusan yang sudah dibuat dapat diubah atau dibatalkan oleh pembuat perjanjian kapanpun dan dimanapun sehingga consent itu terhapus. Informed berarti consent yang diberikan haruslah jujur dan jelas bagi kedua pihak baik apa yang hendak dilakukan maupun dampak dari perlakuan tersebut. Enthusiastic berarti kedua pihak harus berantusias dan tidak merasa terpaksa untuk melakukan aktivitas seksual. Specific berarti kegiatan yang akan dilakukan harus sesuai dengan perjanjian yang sespesifik mungkin telah dibuat, tidak lebih dan tidak kurang. Dengan mengikuti semua aturan ini, consent yang valid pun dapat tercipta.
ADVERTISEMENT
Unsur selanjutnya adalah relasi kuasa. Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum, Relasi Kuasa adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah. Dari pengertian ini, relasi kuasa dalam kekerasan seksual adalah ketika satu pihak merasa lebih berkuasa dan menyalahgunakan kekuasaannya untuk memanfaatkan ketidakberdayaan korban agar dapat melakukan kekerasan seksual.
Unsur yang lain adalah relasi gender. Hal ini sebenarnya memiliki artian yang mirip dengan definisi relasi kuasa. Namun, relasi gender lebih berfokus pada ketidaksetaraan gender yang dapat mengakibatkan kekerasan seksual. Contoh dari relasi gender sendiri adalah budaya patriarki, yaitu budaya yang melihat pria sebagai pemegang kekuasaan yang lebih besar dari wanita. Padahal, pandangan seperti ini sepenuhnya salah karena apapun gendernya, setiap manusia memiliki hak untuk berkuasa yang setara.
ADVERTISEMENT
Kekerasan seksual memberi berbagai dampak yang sangat buruk terhadap korban. Secara fisik, korban bisa mendapatkan luka ringan, luka berat, penyakit reproduksi, kehamilan yang tidak dikehendaki, atau bahkan kematian. Kondisi psikis korban juga tentunya dapat terganggu. Korban dapat mengalami kecemasan, trauma, depresi, dan hal-hal lain yang bahkan dapat megarahkan korban pada tindakan bunuh diri. Selain itu, kehidupan sosial korban juga akan sangat terpengaruh. Banyak orang bisa saja memandang korban dengan buruk, mengucilkan korban, bahkan memutuskan korban dari akses-akses terhadap fasilitas-fasilitas tertentu yang merupakan hak dari korban, seperti sekolah, pekerjaan, dan lain sebagainya.
Korban kekerasan seksual tentunya memiliki sangat banyak tekanan dan kerugian yang dialami. Namun, masih banyak juga masyarakat yang menanggapi korban seolah-olah kesalahan berasal dari korban sendiri. Hal ini disebut sebagai Victim Blaming. Dalam bahasa Indonesia, Victim Blaming berarti menyalahkan korban. Banyak orang menanyakan kenapa korban tidak langsung merespon perlakuan pelaku. Dalam psikologi, ada sebuah istilah mengenai reaksi psikis korban saat sedang mengalami kekerasan seksual, yaitu Tonic Immobility. Kondisi ini membuat korban merasa terkekang dengan keadaan sehingga membuatnya tidak bisa melawan atau menentang perlakuan pelaku. Ada juga yang menyalahkan cara berpakaian, jam, pencahayaan, serta tempat korban berkeliaran. Padahal, sudah snagat banyak data yang menunjukkan bahwa justru kekerasan seksual terjadi paling banyak di tempat, waktu, dan suasana yang dianggap tidak rawan. Tidak hanya itu, cara berpakaian korban juga tidak menjadi penentu karena banyak korban yang mengenakan pakaian tertutup yang menjadi korban.
ADVERTISEMENT
Perilaku atau fenomena Victim Blaming di masyarakat untuk itu harus segera dihapuskan. Korban kekerasan seksual bukanlah pihak yang patut disalahkan. Korban sudah menerima sangat banyak kerugian dan tekanan yang bahkan dapat menghantuinya hingga ia mati. Jika seseorang melakukan tindakan Victim Blaming kepada korban, hal ini justru memperkeruh dan memperburuk keadaan korban. Serangan psikis seperti ini dapat menurunkan mental korban dan bahkan mengarahkan korban ke opsi-opsi yang sangat mengerikan seperti bunuh diri.
Karena banyaknya kasus kekerasan seksual di Indonesia, seluruh masyarakat wajib mengetahui penanganan yang ideal dari permasalahan ini. Utama dari penanganan kekerasan seksual ada pada korban. Sebagai pihak yang paling dirugikan, korban juga sangat membutuhkan pertolongan dari siapapun yang bisa. Pertolongan terhadap korban dapat dilakukan pada saat kekerasan seksual terjadi atau sebelum kekerasan terjadi.
ADVERTISEMENT
Metode yang bernama The 5Ds of Bystander Intervention merupakan bentuk penanganan kekerasan seksual secara langsung saat seseorang menyaksikan bentuk kasus terjadi di hadapannya. The 5Ds of Bystander Intervention mencakup:
ADVERTISEMENT
Setelah kejadian tersebut menimpa korban, ia tentunya memerlukan penanganan khusus untuk kesehatan fisik dan mentalnya. Maka dari itu, kontribusi orang lain sangat diperlukan, tetapi harus dilakukan dengan cara yang tepat. Secara sederhana, seseorang harus mampu melihat dari perspektif korban sendiri, apakah yang seorang harap untuk dapatkan setelah mengalami kekerasan seksual. Namun, perlu diingat bahwa setiap korban tentunya berbeda-beda, ada yang lebih terbuka dan ada yang lebih memilih untuk diam.
Untuk itu, ada baiknya untuk mendengarkan terlebih dahulu dan menanyakan apakah korban memerlukan bantuan. Hal ini dilakukan karena bantuan hanya bisa diberikan jika korban setuju dan ingin untuk dibantu. Pihak yang membantu juga tidak boleh menceramahi dan memaksa korban untuk mengikuti selurun saran yang diberikan. Maka dari itu, jika seseorang merasa tidak mampu untuk membantu, ada baiknya untuk segera mengubungi ahli psikologis atau lembaga bantuan hukum.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pelaku kekerasan seksual juga harus ditangani dan diberi sanksi yang sesuai. Hukuman kepada pelaku tidak harus selalu sadis, tetapi harus lebih memerhatikan esensinya untuk korban. Sebab, percuma hukuman mati dijatuhkan, tetapi korban tidak mendapatkan apa-apa yang bermanfaat untuk kesehatannya. Secara hukum, pelaku dapat diberi hukuman mengganti rugi dengan membayar sekian rupiah sehingga uang tersebut dapat dipakai korban dalam masa pemulihan. Hukuman lainnya tentu akan datang sendiri kepada pelaku, contohnya seperti hukuman sosial atau bahkan perasaan.
Maka dari itu, kesadaran untuk menghentikan, mencegah, dan menangani kekerasan seksual harus dimulai dari pribadi masing-masing. Kesadaran akan kekerasan seksual akan membantu seseorang agar dapat menyuarakan serta mengajak lebih banyak lagi orang untuk sadar. Tidak ada yang harus lebih peduli dan tidak ada yang tidak perlu peduli terhadap kasus ini. Semua orang harus turut berkontribusi dalam menghapus kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT