Konten dari Pengguna

Mengenang Didi Kempot, Sang Penghibur Generasi Patah Hati

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia. Kandidat Doktor di School of Media, Film and Journalism, Faculty of Arts, Monash University, Australia.
5 Mei 2020 20:27 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iwan Awaluddin Yusuf tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Didi Kempot saat manggung. Foto: Dok. BeliAlbumFisik
zoom-in-whitePerbesar
Didi Kempot saat manggung. Foto: Dok. BeliAlbumFisik
ADVERTISEMENT
Kepergian mendadak maestro campursari Didi Kempot (DK) pagi ini, Selasa (5/5/2020) di RS Kasih Ibu Solo mengejutkan publik Indonesia, terlebih para penggemarnya. Ucapan duka dan ungkapan kehilangan terus mengalir di media sosial.
ADVERTISEMENT
Lewat berbagai karya dan aktivitas kemanusiaan, musisi yang mendapat julukan the Godfather of Broken Heart ini meninggalkan banyak kenangan. Belakangan, popularitas DK menembus lintas generasi yang tidak banyak seniman tanah air bisa meraihnya.
Di kalangan Sobat Ambyar—identitas kolektif penggemar fanatik DK selain Kempoters dan Sadbois/Sadgirls—, kisah jenaka tentang kedigdayaan Bapak Patah Hati yang seorang diri mampu menaklukan negara lewat sebuah lagu begitu melegenda. Negara Swiss yang sudah sangat kuat meski tanpa tentara bisa luluh lantak menjadi pesakitan dan takluk di tangan Lord Didi…
“Swiss sakmestine, ati iki nelongso...”
Tentu saja itu hanyalah kelakar untuk menggambarkan kekuatan lirik-lirik melankolis lagu DK yang menancap di hati penggemarnya. Guyonan itu awalnya diciptakan Agus Mulyadi, seorang penulis muda yang pintar bermain kata-kata lewat tulisan-tulisan esainya di media.
ADVERTISEMENT
Namun prestasi DK dalam “menaklukkan” sebuah negara sesungguhnya bukanlah isapan jempol. Tidak ada negara yang begitu mengidolakan seorang penyanyi seperti Suriname melihat sosok DK. Jika di Indonesia sang maestro campursari ini mendapat gelar Bapak Patah Hati, di Suriname dan Belanda ia pernah mendapat julukan penggemarnya sebagai Bon Jovi from Java.
Di masa keemasan pertamanya tahun 2000-an, sebuah stasiun televisi Suriname memproduksi program reguler khusus berisi lagu-lagi campursari bertajuk DK TV, yang artinya tak lain Didi Kempot Tivi.
Berkali-kali DK menyanyi di hadapan publik dan pejabat Suriname. Terakhir, Oktober 2018 ia menggelar konser tunggal yang dihadiri Presiden Suriname, Desiré Delano Bouterse. Di akhir acara, DK dan Sang Presiden saling bertukar cinderamata. Menurut pengakuan DK yang ditayangkan di salah satu saluran Youtube, pada kesempatan konsernya yang lain di Suriname, ia pernah dijemput salah satu menteri saat tiba di bandara. Barangkali inilah salah satu bentuk kesuksesan diplomasi dua bangsa lewat lagu.
ADVERTISEMENT
Setelah kurang lebih 30 tahun berkarya, penyanyi yang memiliki nama asli Dionisius Prasetyo ini tidak berhenti menorehkan prestasi, bahkan gaungnya teramplifikasi di kalangan generasi milenial tanah air.
Bulan lalu, saya menulis artikel di The Conversation tentang kesuksesan konser amal virtual DK dan potensinya menggerakkan modal sosial yang lebih besar dalam bentuk solidaritas bersama di tengah pandemi Covid-19. DK berhasil mengumpulkan dana 7,5 miliar rupiah dengan bernyanyi melalui Kompas TV (11/4/2020).
Tak hanya bertujuan mengumpulkan dana, konser itu juga membawa pesan untuk bersama-sama memutus rantai penyebaran virus Corona. Ia menyerukan kepada penggemarnya yang terbiasa menjalani tradisi tahunan mudik Lebaran ke daerah-daerah untuk tidak perlu melakukannya tahun ini. Jika itu terjadi, maka pandemi akan semakin sulit terkendali.
ADVERTISEMENT
Kembali Populer
Pelantun lagu campur sari yang wajahnya sering dianggap mirip penyanyi Bruno Mars versi senior itu kembali menarik perhatian publik sejak potongan video konsernya di Solo pertengahan tahun 2019 lalu menyebar di Instagram. Dalam video itu terlihat seorang remaja laki-laki menangis tersedu-sedu di tepi panggung sembari menyanyikan lagu DK. Tak peduli dilihat banyak orang, ia merayakan kepedihan hati dengan terus bernyanyi disertai linangan air mata.
Saat konser itu menjadi viral di Instagram, citra DK sebagai Bapak Patah Hati semakin kuat. Meskipun demikian, ia mengaku tidak pernah menasbihkan diri dengan gelar tersebut. Penggemar dan medialah yang dianggap berjasa mengangkat kembali nama beserta julukan barunya. Dalam sebuah wawancaranya, DK pernah membuat pernyataan yang kini sering dikutip para Sadbois dan Sadgirls.
ADVERTISEMENT
Kontribusi para influencer di media sosial seperti Gofar Hilman dan Rosiana Silalahi juga turut mendongkrak popularitas DK. Netizen milenial yang sebelumnya tidak kenal reputasi DK menjadi penasaran. Setelah meledak di media sosial, stasiun-stasiun televisi menghadirkannya kembali dalam talkshow atau panggung hiburan lainnya.
Selanjutnya, potongan video siaran televisi pun akan ditayangkan di saluran Youtube atau Facebook. Internet berperan dalam spiral diseminasi dan mediatisasi konten informasi model baru ini.
Publisitas DK tak hanya difasilitasi oleh media mainstream, panggung acara off-air juga berperan penting. Sebagai contoh, tahun 2019 lalu salah satu partai politik, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mendatangkan DK Sebagai bintang tamu pada acara HUT-nya. Menariknya undangan terbuka bergaya meme ini tersebar di media sosial dengan bahasa yang sangat cair:
ADVERTISEMENT
Undangan HARLAH ke-21 PKB dengan bintang tamu Didi Kempot
Dengan gaya dan format komunikasi seperti itu, termasuk undangan konser-konser DK hingga potongan video klip yang banyak berseliweran di WhatsApp, Twitter, Instagram, dan Facebook, nama DK masuk ke dunia percakapan anak muda hingga menjadi viral.
Di Indonesia sendiri, lagu campursari yang hampir seluruh liriknya berbahasa Jawa terbukti disukai tidak hanya di Pulau Jawa, melainkan banyak daerah lain di berbagai pelosok nusantara. Tak heran jika banyak yang berpendapat jika lagu-lagu DK dapat dijadikan sebagai strategi untuk melestarikan bahasa daerah yang mulai luntur di kalangan generasi muda, sekaligus mempromosikan bahasa Jawa agar lebih mendunia. Apalagi bahasa Jawa adalah bahasa yang jumlahnya penuturnya terbanyak nomor 12 dunia, yakni 85 juta penutur atau 1,25% populasi penduduk dunia (IntisariOnline).
ADVERTISEMENT
Jika dahulu selain diputar di radio-radio dan televisi lokal, lagu-lagu DK dikenal melalui kaset, CD/VCD, konser-konser campur sari, karaoke-karaoke, event pernikahan, termasuk diputar di bus umum antarkota, sekarang lagu-lagu "Layang Kangen”, “Tatu”, “Pamer Bojo”, atau “Cidro” bertengger di aplikasi Spotify, Apple Music, dan YouTube.
Ketrampilan DK mengolah tengaran (landmark) sebagai latar cerita melankolis melahirkan lagu seperti “Stasiun Balapan”, “Parangtritis”, “Pantai Klayar”, atau “Tanjung Mas membawa kedekatan khusus bagi pendengar musiknya. Narasi lagunya sangat merakyat, merepresentasikan tempat-tempat atau fasilitas umum yang sering ditemui dalam keseharian wong cilik. Tempat-tempat tersebut sering menjadi saksi pertemuan, perpisahan, dan tempat memadu kasih (berpacaran) bersama orang tercinta.
Selain itu, DK juga piawai membuat lagu tentang kota-kota kecil seperti “Magelang Nyimpen Janji”, “Kangen Magetan”, “Ademe Kutho Malang”, “Rindu Jombang”, “Kopi Lampung”, atau “Nginepo Jeporo”. Pemilihan lokasi yang berganti-ganti dengan narasi serupa tidak bisa disimpulkan hanya sebagai formula repetisi karena DK menyadari pentingnya kebaruan lirik dan eksplorasi nada dalam lagu untuk menghasilkan melodi yang indah dan tak terduga.
ADVERTISEMENT
Sisi lain yang menarik, sebagaimana banyak diyakini generasi milenial, kecenderungan “tour” atau “plesiran” ini menguatkan asumsi tentang aktivitas jalan-jalan atau traveling yang akan banyak melahirkan insiprasi, menambah stok foto, memperluas pergaulan, sekaligus sebagai sarana menyembuhkan diri dari patah hati atau susah move-on.
DK pun menyadari tema-tema khusus dalam lagunya sebagai strategi untuk menjaga kedekatan sekaligus ingatan dengan penggemar di luar Indonesia. Ia menciptakan lagu “Kangen Nickerie” yang menceritakan suatu distrik di Suriname atau “Joget Sikep”, lagu tentang syahdunya menari berangkul-rangkulan sebagaimana terinspirasi dari budaya Suriname dan Belanda.
Riwayat Panjang Berkesenian
Di luar soal fenomena daur-ulang musik yang bisa muncul dan tenggelam kapan saja, DK secara pribadi berbeda dengan artis yang mendadak terkenal lainnya. Ia memiliki sejarah berkesenian yang panjang. Ratusan lagu telah ia ciptakan dan ratusan panggung telah ia lakoni.
ADVERTISEMENT
Nama ‘‘Kempot” sendiri adalah singkatan dari “Kelompok Penyanyi Trotoar”, aktivitas masa lalunya sebagai pengamen di jalanan di Solo dan Jakarta pada pertengahan dan akhir dekade 1980-an, sebelum akhirnya sukses menembus dapur rekaman.
Aktivitas mengamen di jalanan ini oleh ayahnya, almarhum Ranto Edi Gudel, seorang seniman dan pelawak, disebut sebagai praktik dan ujian untuk terjun langsung ke dunia seni hiburan. Di bawah didikan ayahnya, darah seni DK bersama kakaknya, Mamiek Prakoso terus terasah. Jika DK konsisten di jalur musik, Mamiek eksis di panggung komedi.
Selama karirnya, DK tidak terlepas dari terpaan kritik seiring musik campursari yang semakin populer di masyarakat. Tak sedikit yang mencibir campursari sebagai genre musik campur-aduk. Sebelum era campursari, masyakarat berpegang pada pakem gending Jawa dengan langgam tradisonalnya. Pada tahun 80-an, musik campursari mengalami improvisasi dengan masuknya keyboard dan gitar elektrik yang dipelopori oleh Manthous, melanjutkan inovasi gamelan sebelumnya yang dikenalkan oleh dalang Ki Nartosabdo.
ADVERTISEMENT
Meski akulturasi budaya tradisional dengan modern lebih mudah memikat hati masyarakat, tak sedikit pula golongan konservatif yang mengkritik. DK tak gentar, ia masuk lebih jauh lagi dengan mengembangkan lagu yang berorientasi anak muda. Ia bereksperimen dengan elemen keroncong dan dangdut, bahkan memasukkan alunan gitar spanyol seperti dalam lagu "Stasiun Balapan".
Di tengah kesuksesan DK dan banyak penyanyi yang mengcover lagu-lagunya, ia mengeluhkan mereka yang tidak pernah meminta izin . Menurutnya, hal itu bukan melulu terkait urusan komersial, tapi utamanya etika dalam berkarya. Jika ada seniman tidak dikenal kemudian populer karena menyanyikan lagu-lagu ciptaan DK, ia bisa menerima. Bahkan akan senang hati membantu dan memberi izin lagunya untuk dicover musisi baru yang sedang kesulitan mengangkat namanya. Namun DK menegaskan, jika lagu-lagunya hanya digunakan untuk mendulang uang, viewers, subscribers, dan melupakan hak pencipta lagu (tidak memberi royalti), DK menganggap itu sebagai tindakan yang keterlaluan.
ADVERTISEMENT
DK adalah sosok yang tidak ingin sukses sendirian. Hingga akhir hayatnya, ia selalu peduli dengan para seniman jalanan, khususnya di Surakarta. Sebagai contoh, saat melihat para seniman dan pelaku usaha kecil banyak yang tidak lagi memperoleh penghasilan karena tidak ada ruang untuk berkarya atau membuka usaha karena virus Corona, ia ingin berbuat sesuatu. Bersama tim manajemen, ia bertekad menggelar konser amal untuk membantu mereka yang membutuhkan semakin bulat. Gayung bersambut dengan tim Kompas TV sehingga konser amal akhirnya dapat terselenggara.
Sebelum musim pandemi, DK juga membantu mengorbitkan seorang penyanyi cilik tunanetra bersuara emas bernama Arda. Melalui video di akun Instagramnya, DK mengatakan bahwa setiap orang harus saling membantu. DK ingat saat masih berprofesi sebagai pengamen jalanan, ia sering dibantu banyak orang , misalnya saat ia diberi makan. “Itulah yang membuat saya terpanggil untuk menolong, bukan semata-mata karena kekurangan fisik Arda, tapi karena menolong itu baik”, terangnya.
ADVERTISEMENT
Kerendahan hati DK juga ditunjukkan saat ia merasa kurang nyaman menjadi juri acara kompetisi menyanyi di televisi. Ia menganggap, tidak mudah memberi penilaian kepada sesama seniman, apalagi kompetisi itu disaksikan di seluruh Indonesia. Menurutnya, ia tidak ingin terlihat sok senior mengevaluasi karya orang lain, sekalipun itu terhadap seniman pemula.
Perjumpaan pribadi saya dengan DK terjadi tidak sengaja sekitar 6 tahun lalu saat mengikuti rangkaian workshop persiapan riset tentang radio publik di sebuah hotel di Solo. Saat itu DK sedang bersantai duduk di lobi bersama seorang rekannya.
Setelah saya sapa, tanpa basa-basi dia langsung menyapa balik dengan akrab seolah kami sudah kenal lama, “Lagi ana acara opo Mas ning kene?” (Sedang ikut acara apa Mas di sini?), tanyanya. Meskipun itu adalah pertemuan pertama dengannya, seketika saya menangkap kesan bahwa DK adalah pribadi yang hangat dan sangat ramah.
ADVERTISEMENT
Setelah saya sampaikan bahwa sedang jeda istirahat mengikuti workshop, kami akhirnya ngobrol singkat tentang perkembangan radio dan musik campursari. Tenyata itu adalah pertemuan pertama saya dan terakhir dengan Lord Didi.
Penulis bersama Didi Kempot. Dok. pribadi.
Selamat jalan Pak De. Karya-karyamu akan selalu menemui pendengar musik campursari. Semangatmu dalam kemanusiaan terus abadi mengiringi kepergianmu menuju jagat keabadian. Kami akan selalu teringat salah satu lirik ambyarmu:
Senajan Koe Ngilang, Rabiso Tak Sawang, Nanging Ning Ati Tansah Kelingan”.
***
Iwan Awaluddin Yusuf, Pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.