Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Sekelompok Amatiran Bernama Manajemen Persebaya
27 September 2023 16:32 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Iwan Iwe tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Speechless…
Ini reaksi pertama saya saat membaca berita kecelakaan yang melibatkan dua pemain Persebaya, Aditya Arya Nugraha dan Andre “Cobra” Oktaviansyah. Keduanya mengalami kecelakaan tunggal usai pulang dari latihan rutin di Lapangan THOR menuju Mess Persebaya di Jalan Doho. Ironisnya, mereka menggunakan motor dan kabarnya tidak memakai helm.
ADVERTISEMENT
Saya tidak sepenuhnya menyalahkan mereka atas insiden ini. Jari telunjuk saya lebih mengarah ke manajemen Persebaya yang gagal melindungi aset pentingnya.
Beberapa kawan tidak setuju pendapat saya. Mereka membela manajemen yang menurutnya tidak bisa disalahkan. Namun saya tetap dalam pendirian. Ada kesalahan manajemen atas terjadinya peristiwa menyedihkan ini.
Premis saya didasari bahwa setiap pemain adalah aset terpenting sebuah klub profesional. Jadi, manajemen wajib melindungi aset-asetnya agar mereka siap sedia saat dibutuhkan untuk mengarungi kompetisi yang melelahkan ini.
Kesadaran pemain sebagai aset penting sudah terbangun di klub-klub di liga-liga Eropa. Tak hanya klub, pemain juga sadar jika tubuh mereka adalah aset paling penting. Tengok saja Lionel Messi. Kapten Timnas Argentina itu rela merogoh koceknya senilai US$ 789 juta atau Rp 12,23 triliun untuk asuransi kakinya.
ADVERTISEMENT
Real Madrid juga pernah mengasuransikan kaki Cristiano Ronaldo yang saat itu pindah dari Manchester United senilai US$ 153 juta. Asuransi tersebut untuk melindungi bagian tubuh yang paling sering menjadi incaran lawan saat pertandingan maupun latihan.
Tentu saja membandingkan antara klub/pemain dalam negeri dengan klub/pemain luar negeri seperti bumi dan langit. Namun benang merahnya adalah kesadaran akan pentingnya perlindungan aset.
Tempat paling berbahaya di sebuah kota adalah jalan raya. Di Surabaya, setiap dua hari, ada 1 korban tewas karena kecelakaan pada April 2023. Ini merujuk data Satuan Lalu Lintas Polrestabes Surabaya. Ada 116 kecelakaan yang terjadi yang mengakibatkan 13 orang tewas. Ironisnya, korban tewas paling banyak adalah pengendara motor.
Masih kurang seram?
ADVERTISEMENT
Data Polda Jatim menyebut sepanjang 2022, ada 27.003 peristiwa kecelakaan di jalan raya. Dari angka itu, 4.889 korban meninggal dunia. Artinya, setiap hari, ada 13 orang tewas akibat kecelakaan. Dan mayoritas korban baik tewas maupun luka-luka adalah pengendara motor.
Orang mungkin bisa beralasan soal safety riding untuk mengantisipasi kecelakaan. Sayangnya, kecelakaan tidak pilih-pilih korban. Kejadian tabrakan maut di lampu merah dekat Tol Bawen, Semarang melibatkan orang-orang yang taat lalu lintas. Korban-korban itu juga berhenti di lampu merah dan memakai helm. Namun itu tidak cukup mencegah mereka dari celaka karena ada truk yang tiba-tiba menerjang. Dan ini bukan peristiwa pertama kali.
Maut memang di tangan Tuhan. Namun, kita bisa berikhtiar agar kita terhindar dari maut. Kita tidak mungkin membiarkan anak kita masuk sungai jika kita tahu di sana penuh buaya. Peluang anak kita mati karena dimakan buaya lebih tinggi di sungai itu dibanding sungai lain yang dipastikan tidak ada buaya. Sebuah analogi sederhana yang seharusnya bisa dipahami oleh siapa saja.
ADVERTISEMENT
Peristiwa kecelakaan ini memang terlihat sepele yang tidak ada hubungannya dengan sepak bola. Namun bagi saya, ini menunjukkan betapa amatirnya manajemen Persebaya yang tidak bisa mengantisipasi peristiwa ini terjadi.
Selain itu, mengapa dua pemain itu dibiarkan naik motor? Apakah manajemen tidak mampu menyediakan bus tim untuk mengangkut para pemainnya? Pertanyaan ini terasa ironis karena di awal musim Persebaya Store mencetak kaos dengan tulisan “Gembel Tanpa Bus”. Tidak jelas pesan apa yang ingin disampaikan dari tulisan di kaos. Namun jika produk-produk yang dikeluarkan adalah bentuk komunikasi, tulisan itu mungkin bisa diartikan sebagai bentuk balasan atas ejekan suporter sebelah yang menganggap manajemen Persebaya tidak mampu membeli bus pemain.
Yang jelas, kecelakaan ini membuat Persebaya tidak bisa memaksimalkan jasa kedua pemain. Meski Andre diizinkan berlatih usai kecelakaan, namun Aditya yang berposisi sebagai kiper masih menjalani pemeriksaan lebih lanjut untuk mengobservasi kemungkinan adanya luka dalam. Aditya memang mendapat beberapa luka luar di area wajah.
ADVERTISEMENT
Kondisi Aditya menimbulkan kekhawatiran karena stok kiper Persebaya tinggal Andhika Ramadhani. Kiper utama Persebaya, Ernando Ari, saat ini sedang membela Timnas U-24 di ajang Asian Games 2023. Manajemen tentu harus berputar keras mendatangkan stok kiper untuk laga-laga di Liga 1.
Manajemen Amatiran dan Reaksional
Saya juga mengamati jika manajemen selalu reaksional dalam hal apa pun. Saat Supriyadi dkk memplesetkan Song For Pride, manajemen langsung mengumpulkan pemain dan mengingatkankan agar berhati-hati di media sosial. Pemain-pemain yang terlibat pada akhirnya tidak diperpanjang kontraknya di musim berikutnya.
Saat itu saya bertanya, apakah manajemen tidak memiliki SOP bagaimana para pemain menggunakan akun media sosialnya? Apakah tidak ada klausul dalam kontrak pemain terkait penggunaan media sosial? Apakah tidak ada pelatihan media sosial buat pemain?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak ada jawabannya hingga sekarang. Tapi yang pasti, selalu ada drama-drama katrok yang tidak seharusnya terjadi.
Manajemen adalah kumpulan orang-orang hebat dengan disiplin ilmu yang beragam. Seharusnya tidak ada sikap amatiran dalam mengelola Persebaya. Karena jika ini terus terjadi, Persebaya akan menjadi klub medioker dan tidak akan ke mana-mana karena sibuk menghadirkan drama-drama yang membosankan. (*)