Konten dari Pengguna

Keynes, Disrupsi Teknologi & Pendidik Yang Memerdekakan

Mohamad Kurniawan
Pemilik Sekolah Alkautsar Temanggung Jawa Tengah, wirausahawan sosial di bidang pendidikan dan pengembangan SDM
22 November 2024 18:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohamad Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1930 John Maynard Keynes – salah satu ekonom paling terkemuka dan berpengaruh dalam sejarah ekonomi modern – mengemukakan pemikiran dalam bukunya berjudul "The Economic Possibilities for our Grandchildren". Keynes memprediksi pada tahun 2030 akibat perkembangan teknologi akan berdampak pada peningkatan produksi barang-barang kebutuhan manusia secara signifikan.
ADVERTISEMENT
Implikasinya masyarakat akan mengalami satu kondisi “keberlimpahan" (abundance society). Orang tak lagi harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Produksi dan ketersediaan pangan, sandang dan papan yang sangat efisien membuat barang dan jasa tersebut tersedia dalam jumlah yang lebih dari cukup. Walhasil, manusia akan memiliki lebih banyak waktu untuk mengejar kegiatan-kegiatan yang lebih menyenangkan sesuai dengan passion mereka seperti seni, olahraga, dan pengembangan diri. Bahkan Keynes meramalkan bila manusia hanya butuh 15 jam seminggu untuk bekerja memenuhi kebutuhannya. Semuanya bisa terjadi karena inovasi teknologi.
Namun, seperti sekeping uang logam, teknologi punya punya dua sisi. Baik dan buruk. Teknologi yang berwujud kecerdasan buatan, robot-robot super pintar serta mesin-mesin yang bisa beroperasi 24 jam nonstop telah menyisihkan sebagian pekerjaan manusia di berbagai sektor. Pengangguran massal dan ketimpangan ekonomi menjadi fenomena yang tak terelakkan. Bila dulu para pekerja kerah biru (blue collar worker) yang paling terdampak pesatnya kemajuan teknologi, belakangan munculnya kecerdasan buatan generatif semakin membuktikan bila ancaman kecerdasan buatan tidak bisa dianggap sebelah mata oleh para pekerja kerah putih (white collar worker).
ADVERTISEMENT
Manusia semakin tergopoh-gopoh dalam menjalani kehidupannya sebagai dampak pesatnya kemajuan teknologi informasi dewasa ini. Puncaknya, banyak dari kita yang mulai memudar sisi kemanusiaan dalam diri kita. Sosial media dengan algoritma yang kian canggih membawa kita pada kejar-mengejar popularitas dan viralitas. Sensasi dikejar, sementara esensi diabaikan.
Mengutip pendapat Gita Wirjawan – podcaster yang terkenal dengan Endgame-nya – mengatakan bahwa ditemukannya tombol like and share pada berbagai aplikasi sosial media seperti Youtube, Instagram dan Tiktok mengakomodasi sifat-sifat narsisme manusia. Tak hanya itu, melalui kedua tombol tersebut kecepatan penyebaran sebuah konten ada pada titik yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Memburu sensasi dan membuang esensi. Itulah wajah manusia saat ini.
Bagaimana dunia pendidikan harus bersikap menghadapi fenomena ini? Seperti apakah wajah kelas-kelas di sekolah masa depan? Bagaimana guru harus mendidik anak-anak generasi Z dan alpha?
ADVERTISEMENT
Bila kita menengok praktek pembelajaran di sekolah-sekolah dewasa ini maka wajar bila kita pantas kuatir dengan masa depan bangsa ini. Meskipun saya tak kehilangan optimisme. Apa yang terjadi saat ini adalah daya adaptasi warga sekolah pada perubahan masih rendah. Masih banyak guru – sebagai pemegang otoritas tertinggi di kelas – yang gamang menghadapi perubahan.
Menurut saya paling tidak ada 3 faktor yang menyebabkan para pendidik di sekolah gamang dalam menghadapi dan mengelola perubahan.
Pertama, mindset atau pola pikir. Kita sadari bersama bahwa guru adalah profesi yang menuntut adanya panggilan jiwa. Lepas dari besar kecilnya gaji mereka sebagai daya tarik, namun faktor internal dari dalam diri seseorang untuk menjadi pendidik haruslah paling utama. Mendidik adalah pekerjaan mulia. Berkesempatan memberikan kontribusi kepada anak-anak bangsa yang akan membawa kemajuan negeri ini seharusnya memberikan motivasi lebih kepada para guru. Sayangnya, masih banyak anak-anak lulusan perguruan tinggi pendidikan yang terpaksa menjadi guru hanya demi mempertahankan status sudah bekerja. Di sinilah semua kegamangan bermula.
ADVERTISEMENT
Kedua, karena pada dasarnya manusia punya sifat seeing is believing.
Disrupsi teknologi ditandai dengan makin menyatunya kecerdasan manusia dan mesin (ilustrasi image : ChatGPT)
Saya melihat maka saya akan baru percaya. Inilah yang terjadi pada sebuah proses perubahan. Banyak dari kita yang enggan berubah karena lebih memilih tetap berada di zona nyaman, karena mereka belum melihat hasil dari perubahan tersebut. Mengapa ajakan untuk mengimplementasikan kurikulum merdeka yang lalu di banyak sekolah mengalami hambatan justru karena banyak guru yang ‘menolak’ berubah. Preferensi gaya belajar anak-anak generasi Z membuat banyak guru mengeluh. Siswa zaman sekarang tak bisa lagi diperlakukan sama dengan saat guru tersebut menjadi siswa di sekolah 20 atau 30 tahun lalu. Kini, sumber belajar anak-anak tak lagi terpusat pada guru dan buku (paket). Semua orang dan mesin pun kini adalah guru. Sebaliknya, semua orang adalah murid. Intinya dalam pusaran perubahan saat ini semuanya harus terus belajar. Siswa, guru dan juga orang tua.
ADVERTISEMENT
Ketiga, terkait dengan faktor kedua tersebut maka para pendidik sebenarnya butuh panutan yang bisa memandu mengarungi perubahan ini. Dalam perjalanan saya bertemu dengan banyak guru di berbagai penjuru tanah air, saat ini mereka sangat membutuhkan panutan dan panduan. Begitu banyaknya program kementerian pendidikan – baik jumlah maupun ragam – membebani para guru. Sehingga tak jarang tugas utama mereka, mengajar di kelas, menjadi terabaikan.
Jelas bahwa harus ada yang yang berubah dalam kita menjalankan sistem pendidikan di republik ini. Arus besar perubahan dewasa ini – seperti yang diramalkan oleh Keynes – hanya sebagian dari beberapa tantangan perubahan lain yang harus kita hadapi bersama.
Dunia yang terdisrupsi hampir di semua bidang memang membawa implikasi yang tidak sederhana. Bila kita hubungkan apa yang terjadi di kelas-kelas di sekolah maka pertanyaan yang saya sampaikan di atas mempunyai bobot kekhawatiran akan keberlangsungan kita sebagai bangsa. Populasi yang menyentuh angka 280 juta belum menjadi motor penggerak pertumbuhan yang mampu melesatkan bangsa ini ke jajaran negara-negara maju. Bahkan sebaliknya. Jumlah penduduk besar masih menjadi beban. Harapan akan maksimalisasi bonus demografi dihantui dengan rendahnya produktifitas angkatan kerja sehingga bukannya berkah yang kita petik, namun bencana demografi yang akan terjadi. Semoga tidak terjadi yang demikian. Selamat belajar!
ADVERTISEMENT