Konten dari Pengguna

Menulis, Mengurai Rasa dan Menguatkan Jiwa

Mohamad Kurniawan
Pemilik Sekolah Alkautsar Temanggung Jawa Tengah, wirausahawan sosial di bidang pendidikan dan pengembangan SDM
21 April 2025 9:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohamad Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Pribadi
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan yang semakin cepat dan penuh tekanan, kita sering lupa untuk mendengarkan diri sendiri. Terlalu disibukkan dengan tenggat, sibuk membahagiakan orang lain, sibuk memenuhi ekspektasi, hingga lupa untuk berhenti sejenak dan bertanya: "Apa kabar diriku hari ini?"
ADVERTISEMENT
Di tengah dunia yang bergerak kian cepat, menulis adalah jeda. Ruang kecil tempat kita bernapas. Menulis bukan untuk dibaca orang lain, tapi menulis untuk diri sendiri. Sebuah tindakan sadar untuk mengurai kekusutan pikiran dan meringankan beban di dada saat persoalan hidup mendera.
Salah satu contoh paling menyentuh tentang kekuatan menulis datang dari sosok yang kita semua kenal: Presiden ketiga Indonesia, B.J. Habibie. Setelah kepergian Ibu Ainun, cinta sejatinya, Habibie tidak memilih untuk mengurung diri atau tenggelam dalam kesedihan. Ia memilih untuk menulis. Lewat tulisan, ia menyampaikan rindu, menyusun kembali kenangan, dan perlahan—menyembuhkan dirinya sendiri. Ia menyebut proses itu sebagai bagian dari healing. Dan dari tulisan tersebut, lahirlah buku Habibie & Ainun yang tidak hanya menyembuhkan dirinya, tapi juga menyentuh hati jutaan orang.
ADVERTISEMENT
James W. Pennebaker, profesor psikologi dari University of Texas at Austin, melalui risetnya sejak tahun 1986 menemukan bahwa expressive writing—yakni menulis dengan pikiran dan perasaan terdalam terkait peristiwa emosional—dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh, menurunkan tekanan darah, serta memperbaiki suasana hati dan kesejahteraan jiwa kita. Dalam salah satu penelitiannya yang dimuat dalam Journal of Consulting and Clinical Psychology (Pennebaker & Beall, 1986), peserta yang menulis pengalaman emosional selama 15–20 menit selama empat hari berturut-turut menunjukkan peningkatan signifikan dalam kesehatan fisik dan mental setelah beberapa minggu.
Temuan serupa juga diungkap oleh Karen A. Baikie dan Kay Wilhelm dalam review ilmiahnya berjudul Emotional and Physical Health Benefits of Expressive Writing (Advances in Psychiatric Treatment, 2005). Mereka menyimpulkan bahwa menulis secara ekspresif terbukti mampu mengurangi gejala depresi, meningkatkan daya tahan tubuh, serta membantu seseorang memahami dan merekonstruksi makna dari pengalaman hidupnya yang sulit.
ADVERTISEMENT
Menulis, dalam konteks ini, bukan sekadar menuangkan kata-kata. Ia adalah proses aktif untuk menata ulang ingatan dan emosi yang semrawut dalam kepala. Kita sedang membangun narasi baru atas pengalaman lama. Kita mengambil alih kendali atas cerita hidup kita sendiri. Dan dalam proses itu, perlahan tapi pasti, kita menyembuhkan diri.
Bayangkan komputer yang mulai lemot karena terlalu banyak file dan aplikasi berjalan bersamaan. Terkadang, satu-satunya cara agar kembali ringan dan responsif adalah dengan restart. Nah, menulis bisa jadi tombol restart itu—untuk pikiran dan perasaan kita. Ia membantu menyaring mana yang penting, dan melepaskan beban yang tidak perlu kita pikul terus-menerus.
Menulis juga sangat inklusif. Tidak butuh biaya mahal atau fasilitas khusus. Hanya butuh niat, dan keberanian untuk jujur. Bisa dengan kertas bekas, jurnal, atau bahkan aplikasi catatan di ponsel. Dan yang lebih penting: tidak ada yang akan menghakimi. Menulis untuk diri sendiri adalah proses privat, personal, dan membebaskan.
ADVERTISEMENT
Menariknya, menulis bukan cuma soal "curhat". Dalam pendekatan narrative therapy, seperti yang dikembangkan oleh Michael White dan David Epston (1990), proses menulis dan menyusun cerita hidup pribadi akan membantu seseorang mendefinisikan ulang dirinya secara lebih positif. Kita belajar melihat diri bukan sebagai korban, tapi sebagai penyintas. Bukan sebagai orang yang “rusak”, tapi sebagai pribadi yang sedang tumbuh dan berproses.
Dan semua itu bisa dimulai dari hal kecil. Satu paragraf. Satu halaman. Satu cerita. Tak perlu menjadi penulis berpengalaman dan terkenal. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk mendengarkan suara hati, dan komitmen untuk merawat diri lewat tulisan.
Maka jika kamu merasa lelah, bingung, marah, sedih, atau bahkan terlalu bahagia sampai sulit mengekspresikan, cobalah duduk sebentar, ambil alat tulis, dan biarkan dirimu bercerita.
ADVERTISEMENT
Menulis bukan tentang menjadi hebat. Menulis adalah tentang menjadi jujur.
Jadi, mulailah menulis. Karena saat kamu menulis, kamu sedang menyelamatkan bagian-bagian dirimu yang mungkin selama ini terabaikan. Selamat menulis!
Referensi:
Pennebaker, J. W., & Beall, S. K. (1986). Confronting a traumatic event: Toward an understanding of inhibition and disease. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 54(2), 239–243.
Baikie, K. A., & Wilhelm, K. (2005). Emotional and physical health benefits of expressive writing. Advances in Psychiatric Treatment, 11(5), 338–346.
White, M., & Epston, D. (1990). Narrative Means to Therapeutic Ends. Norton & Company.