Konten dari Pengguna

Untuk Jadi Bangsa Unggul Literasi itu Wajib, Bukan Pilihan

Mohamad Kurniawan
Pemilik Sekolah Alkautsar Temanggung Jawa Tengah, wirausahawan sosial di bidang pendidikan dan pengembangan SDM
1 September 2020 18:14 WIB
clock
Diperbarui 2 Maret 2023 5:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohamad Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Untuk Jadi Bangsa Unggul Literasi itu Wajib, Bukan Pilihan
zoom-in-whitePerbesar
Bicara literasi di Indonesia, kita akan mendapati dua kabar. Baik dan buruk. Pertama, fakta yang terungkap dalam studi “The Most Literate Nation in The World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016 menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 peserta dalam hal minat membaca. Indonesia berada satu peringkat di bawah negara tetangga Asean, Thailand (59) dan di atas negara di Afrika, Botswana (61).
ADVERTISEMENT
Kedua, dengan jumlah penduduk 270 juta, jumlah buku yang beredar saat ini hanya 22 juta. Itu artinya rasio jumlah buku dan total populasi hanya 0,09. Hanya 1 buku untuk 9 orang. Sementara rerata dunia adalah 3 buku per orang setiap tahunnya. Itu kabar buruknya.
Kabar baiknya adalah dari segi penilaian infrastruktur pendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa dan Australia. Indonesia berada di peringkat 34 di atas Jerman, Portugal, Selandia Baru dan Korea Selatan sekalipun.
Jumlah perpustakaan nampaknya menjadi dasar penilaian infrastruktur ini. Negeri ini memiliki 160 ribu perpustakaan yang hampir 70%-nya adalah perpustakaan sekolah. Dengan jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan perpustakaan terbanyak ke-2 di dunia setelah India.
ADVERTISEMENT
Selain di sekolah, perpustakaan juga bertebaran di setiap propinsi, kabupaten, kota dan desa. Bahkan di daerah pelosok sekalipun. Biasanya dalam bentuk taman bacaan masyarakat.
Sebenarnya banyak peran strategis yang bisa dimainkan oleh perpustakaan guna membawa dampak positif bagi masyarakat. Tak hanya sebagai pusat belajar, namun juga menjadi pusat kegiatan masyarakat yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Pada akhirnya, masyarakat akan merasakan kalau kualitas hidup mereka akan meningkat.
Selain itu ada berita baik lainnya. Hasil survei World Reading Habit pada tahun 2020 lalu, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan intensitas waktu membaca selama 6 jam per minggu dan berada di urutan ke-16.
Meskipun infrastruktur sudah diatas rata-rata namun minat baca masyarakat kita masih sangat rendah.
ADVERTISEMENT
Berbagai inisiatif untuk mengangkat tingkat literasi masyarakat sudah banyak dilakukan. Baik oleh individu, komunitas maupun korporasi BUMN maupun swasta. Semua program punya tujuan sama yakni meningkatkan minat baca masyarakat.
Mari kita tengok apa yang dilakukan oleh Nila Tanzil. Pegiat literasi yang juga pebisnis perjalanan ini membangun Taman Bacaan Pelangi yang tersebar di wilayah Indonesia bagian timur. Hingga kini Nila sudah membuka lebih dari 80 taman baca yang tersebar di 15 pulau di Indonesia timur, antara lain Flores (Pulau Rinca, Pulau Messah, Pulau Komodo, dan pulau-pulau kecil sekitarnya), Sulawesi, Lombok, Sumbawa, Timor, Alor, Banda Neira (Kepulauan Banda, Maluku), Bacan (Halmahera Selatan), dan Papua.
Besar harapan Nila Tanzil bahwa dengan keberadaan taman bacaan Pelangi, minat baca anak-anak akan meningkat. "Sekolah-sekolah tidak punya perpustakaan. Akses buku bacaan sama sekali tidak ada. Akhirnya saya berpikir untuk menyediakan akses buku untuk mereka, supaya mereka jadi suka membaca. Karena saya ingat masa kecil saya itu selalu baca buku tiap pulang sekolah," demikian tutur Nila Tanzil yang saat ini sedang menempuh pendidikan doktoralnya di salah satu universitas di Australia.
ADVERTISEMENT
Merenungkan kembali dua kabar dari dunia literasi kita ini, saya kemudian teringat nasehat ibu saya kepada cucu-cucunya yang semua masuk dalam generasi milenial. Barisan generasi yang tumbuh menjadi penduduk asli digital. Generasi yang berbeda sama sekali dengan generasi ibu saya. Sebuah nasehat yang relevan dengan kondisi paradoks dunia literasi kita.
Ada 3 ketrampilan utama yang harus dimiliki, harus terus dipelajari dan dikembangkan oleh para generasi baru yang sangat melek internet. Sebuah kebiasaan yang sangat fundamental yang tak pernah lekang oleh perubahan jaman. Tiga ketrampilan itu adalah : bicara, membaca, dan menulis.
Kemampuan bicara harus terus dilatih dan dikembangkan. Namun agar isi yang kita sampaikan kepada orang lain atau publik mempunyai bobot dan mutu yang tinggi, maka harus didukung dengan data yang valid dan akurat. Hal ini hanya bisa diperoleh melalui kebiasaan – bahkan budaya – membaca buku atau literatur. Tak cukup berhenti sampai disitu. Kedua kemampuan ini harus didukung dengan kemampuan menulis. Karena hanya dengan menulislah maka gagasan-gagasan kita akan abadi dan dikenal dunia. Bila ketiga kemampuan ini terus dilatih dan dikembangkan, maka gagasan kita pun akan mampu menggugah, menggerakkan dan mengubah.
ADVERTISEMENT
Ketiga ketrampilan tersebut hanya bisa dicapai melalui program-program pembiasaan yang bersifat masif. Sehingga menjadi budaya. Sebagai penutup saya kutipkan sebuah pernyataan yang dikatakan Bruce Lee, “I fear not the man who has practiced 10,000 kicks once, but I fear the man who has practiced one kick 10,000 times” (Saya tidak takut dengan orang yang berlatih sekali dengan 10,000 tendangan. Namun saya takut dengan seseorang yang berlatih satu tendangan sebanyak 10,000 kali).
Selamat belajar!