Karya Wiji Thukul Diapresiasi di Jerman

Iwa Sobara
Mahasiswa Doktoral di Technische Universität Berlin, Jerman
Konten dari Pengguna
1 Desember 2019 22:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iwa Sobara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Eva Streifeneder (kiri), Dr. Peter Sternagel (tengah), dan Bilawa Ade Respati (kanan) pada acara Temu Sastra di Rumah Budaya Indonesia (RBI) Berlin, Kamis (28/11/19).
zoom-in-whitePerbesar
Eva Streifeneder (kiri), Dr. Peter Sternagel (tengah), dan Bilawa Ade Respati (kanan) pada acara Temu Sastra di Rumah Budaya Indonesia (RBI) Berlin, Kamis (28/11/19).
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rumah Budaya Indonesia (RBI) di Berlin yang terletak di Theodor-Francke-Str. 11, pada Kamis malam (28/11/19) menyelenggarakan acara Temu Sastra Edisi ke-8. Buku bertajuk 'Nyanyian Akar Rumput' yang berisi 180 puisi karya Wiji Thukul dari tahun 1983-1997 dikupas pada acara Temu Sastra tersebut.
ADVERTISEMENT
Semasa hidupnya, Wiji Thukul (1963-1998) dikenal sebagai seorang penyair, aktivis hak asasi manusia, dan seniman teater. Ia mulai menulis puisi sejak kecil. Karena alasan finansial keluarga, penyair yang dikenal rendah hati ini terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah. Ia berkeliling negeri dengan kelompok teaternya bernama Jagat, membacakan puisinya dan bekerja dengan anak-anak.
Wiji Thukul berpartisipasi aktif dalam berpolitik dan terlibat berbagai demonstrasi menentang pemerintahan Orde Baru. Ia berbicara secara terbuka dalam orasi-orasinya dan berbagai tulisannya mewakili kaum marjinal yang tertindas dan kurang beruntung. Ia berharap bahwa masyarakat dapat merasakan keadilan secara sosial. Pada Mei 1998, Wiji Thukul di usianya yang baru 34 tahun menghilang. Hingga kini keberadaannya masih dipertanyakan.
Antusisme warga Jerman dan Indonesia di Berlin cukup terlihat pada acara Temu Sastra yang juga sebagai acara penutup di penghujung tahun 2019 ini. Para penikmat sastra Indonesia dari berbagai kalangan yang hadir disuguhi penampilan menarik. Dr. Peter Sternagel, penerjemah puisi karya Wiji Thukul, turut hadir membacakan 12 karya berbahasa Jerman. Beberapa di antaranya adalah puisi berjudul 'Nyanyian Akar Rumput' yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman menjadi 'Lied der Graswurzeln', 'Peringatan' (Mahnung), 'Apa yang berharga dari Puisiku' (Was sind meine Verse wert), dan masih beberapa lagi.
ADVERTISEMENT
Pria kelahiran 1933 dan pernah mengenyam pendidikan perfilman di kota München dan Berlin serta bermain di beberapa film Jerman ini pernah bekerja sebagai Kepala Pusat Kebudayaan Jerman Goethe-Institut di Jakarta dan Bandung pada tahun 1970-an. Sebagai seorang Indonesianis, Sternagel juga pernah menerjemahkan beberapa novel berbahasa Indonesia karya Ayu Utami, Umar Kayam, dan Andrea Hirata ke dalam Bahasa Jerman.
Sementara itu, Bilawa Ade Respati, gitaris dan pemain musik gamelan Jawa, membacakan puisi original dalam bahasa Indonesia dan menginerpretasikan dengan gitarnya menjadi musikalisasi puisi yang indah. Ia sendiri mengenal seorang Wiji Thukul dari sebuah grup band di kota Bandung bernama Keparat. "Kami cinta negeri ini, tapi kami kecewa dengan sistem yang ada. Maka hanya ada satu kata: Lawan!“ Masih terngiang di benaknya bagaimana saat itu di setiap penampilan grup band underground tersebut salah seorang musisinya mengajak penonton meneriakan kata "Lawan!".
ADVERTISEMENT
Puisi Wiji Thukul memiliki bahasa yang lugas dan kuat. Bahkan hingga saat ini secara umum puisi-puisinya memiliki relevansi politik yang valid. Karya terjemahan yang menghabiskan waktu selama enam tahun ini diterbitkan oleh penerbit Regiospectra pada tahun 2018. Proyek penerjemahan ini didanai oleh Komite Buku Nasional Jakarta sebagai bagian dari program terjemahan LitRI.
Selain pembacaan puisi, hadirin juga diajak untuk berdiskusi di beberapa sesi. Hadir sebagai moderator kala itu Eva Streifeneder. Ia antara lain bekerja sebagai dosen, penerjemah, dan asisten peneliti di Humboldt University Berlin. Selain itu, ia juga bekerja di bidang penerbitan buku. Karya Wiji Thukul ia perkenalkan beberapa tahun yang lalu kepada Peter Sternagel. Kemudian pada tahun 2018, sebanyak 180 karya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman dan diterbitkan perusahaan penerbitnya, yaitu Regiospectra.
ADVERTISEMENT
Pembacaan puisi juga dibawakan oleh Wahyu Susilo, saudara lelaki dari Wiji Thukul. Ia membacakan dua karya yang berjudul "Puisi untuk Adik" dan "Suara dari Rumah-rumah Miring". Pembacaan puisi sendiri dilakukan oleh Wahyu Susilo melalui rekaman video yang berlokasi di pinggir pantai. Wahyu Susilo bekerja sebagai analis di Migrant Care yaitu sebuah organisasi yang mengurus kebutuhan migran Indonesia dan migran di luar negeri. Sementara itu, karya berjudul "Bunga dan Tembok" dilantunkan melalui musikalisasi puisi yang dibawakan oleh anak laki-laki Wiji Thukul bernama Fajar Merah melalui sebuah video klip.