Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Harvey Mois dan Penerapan Hukuman Korupsi: Sudah Tepatkah Sanksi yang Diberikan?
5 Januari 2025 13:16 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Musdhalifah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Korupsi merupakan perbuatan melawan hukum yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi, yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian keuangan negara atau berdampak negatif terhadap perekonomian negara. Definisi korupsi sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Tindakan merugikan tersebut dilakukan oleh Harvey Moeis dan Setyo Novanto. Kerugian yang ditimbulkan oleh masing-masing tersangka adalah sebesar Rp 2,3 triliun dan Rp 300 triliun. Kasus korupsi yang dilakukan oleh Harvey Moeis terkait pengurusan perdagangan komoditas timi di wilayah Indonesia dengan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun, kemudian kasus E-KTP yang menyeret nama Setya Novanto. Ia diduga mengatur agar proyek tersebut disetujui oleh DPR. Kedua kasus tersebut melanggar Pasal 20A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kasus ini mempertanyakan akuntabilitas pejabat publik, terutama dalam kasus Setya Novanto, kewenangan lembaga negara dalam menangani kasus ini, dan supremasi hukum yang dijunjung tinggi oleh hukum konstitusional Indonesia.
ADVERTISEMENT
Penyalahgunaan Kekuasaan
Harvey Mois adalah seorang pejabat publik yang diduga terlibat dalam tindakan korupsi. Tindakannya yang menyalahgunakan jabatan untuk keuntungan pribadi ini menyebabkan kerugian negara yang cukup besar. Meskipun proses hukum telah dilalui dan sanksi telah dijatuhkan, banyak pihak merasa bahwa hukuman yang diterima oleh Harvey Mois tidak cukup memberikan efek jera. Ini menjadi masalah yang serius, karena salah satu tujuan utama dari pemberantasan korupsi adalah agar pelaku merasa takut dan tidak mengulangi perbuatannya, serta memberikan sinyal tegas kepada masyarakat bahwa korupsi tidak akan dibiarkan begitu saja. Penyalahgunaan kekuasaan ini juga sering terjadi dalam bentuk pemilihan aparat penegak hukum yang tidak berdasarkan pada meritokrasi, melainkan berdasarkan hubungan politis atau kedekatan dengan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan. Hal ini menciptakan ketidakadilan dalam proses peradilan, di mana orang-orang yang seharusnya dihukum dengan tegas justru mendapat perlakuan istimewa, sementara masyarakat biasa yang melakukan pelanggaran lebih ringan dapat dijatuhi hukuman yang jauh lebih berat.
ADVERTISEMENT
Kurungan 6,5 Tahun
Berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi di Indonesia memberikan gambaran bagaimana sistem hukum terkadang gagal dalam memberikan sanksi yang proporsional terhadap kejahatan yang terjadi. Meskipun ada lembaga-lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun lembaga-lembaga tersebut sering kali terbentur pada kendala politik dan legalitas yang memperlambat proses hukum, bahkan dalam beberapa kasus yang mengarah pada upaya delegitimasi terhadap lembaga-lembaga tersebut.
Dalam kaitannya dengan undang-undang yang ada, meskipun hukum sudah memberikan sanksi yang cukup tegas, masalahnya terletak pada implementasi dan penegakan hukum tersebut. Keberadaan peraturan yang baik tidak cukup tanpa adanya komitmen politik yang kuat untuk memberantas korupsi dan tanpa adanya sistem yang memungkinkan pemberantasan korupsi berjalan tanpa gangguan. Penyalahgunaan kekuasaan dalam lembaga pemerintahan atau peradilan akan terus menghambat efektifitas dari setiap undang-undang yang ada.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, jika ditanyakan apakah sanksi yang diberikan sudah tepat, maka definisi tersebut sangat bergantung pada seberapa besar niat dan komitmen sistem hukum dalam menerapkan hukum secara adil. Jika konsep kekuasaan terus terjadi dalam proses peradilan, maka hukum yang ada akan kehilangan daya guna dan maknanya. Oleh karena itu, perbaikan sistem peradilan, pengawasan ketat terhadap aparat penegak hukum, serta peningkatan transparansi dalam proses hukum sangat diperlukan. Selain itu, ada urgensi untuk memperkuat lembaga-lembaga yang bertugas melakukan korupsi agar mereka tidak mudah terpengaruh oleh kepentingan politik atau tekanan dari pihak luar.
Pada akhirnya, untuk mencapai penerapan hukum korupsi yang adil dan tepat, diperlukan sistem yang bebas dari intervensi kekuasaan dan politisasi, serta peningkatan integritas para penegak hukum dan lembaga-lembaga yang ada. Hal ini akan memungkinkan pemberantasan korupsi berjalan efektif dan dapat memberikan efek jera yang signifikan bagi siapa saja yang berniat melakukan tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Kasus korupsi sebesar Rp271 triliun ini meliputi penegakan hukum yang tegas dengan penyidikan mendalam terhadap semua pihak terlibat, serta pemulihan aset yang diperoleh secara ilegal. Kerusakan lingkungan akibat penambangan ilegal dapat diperbaiki dengan menggunakan dana dari penyitaan aset untuk restorasi ekosistem. Pemerintah perlu memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan meningkatkan pengawasan agar praktik ilegal tidak terulang. Selain itu, penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak korupsi dan pentingnya integritas. Kerja sama internasional juga diperlukan untuk mendukung pemulihan.