Konten dari Pengguna

Menelusuri Fenomena Konflik Sosial Keagamaan pada Kasus Poso

Umi Agis Thohiroh
Mahasiswa S1 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang jurusan Pendidikan Agama Islam.
20 Desember 2021 18:37 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Umi Agis Thohiroh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Area Hancur, Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Area Hancur, Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negara yang plural dan kaya akan keberagaman, baik bahasa, budaya, kepercayaan, dan lain sebagainya. Sehingga tak heran jika perbedaan sangat mudah dijumpai di negara ini. Bahkan semboyan bangsa Indonesia tak lepas dari interpretasi akan perbedaan, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna “berbeda-beda akan tetapi tetap satu jua”. Hal ini menunjukkan bahwasanya dalam menyikapi sebuah perbedaan perlu adanya rasa persatuan agar tidak terpecah belah, seperti sikap menghargai dan tenggang rasa terhadap perbedaan yang ada dalam kehidupan sosial.
ADVERTISEMENT
Konflik merupakan fenomena yang tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia di bumi ini, begitu pula di Indonesia. Menurut Zuly Qodir, ada seorang penulis menyebut konflik Poso dengan sebutan “drama kemanusiaan” dikarenakan adanya kecemburuan dan ketakutan dengan kekuatan baru yang hadir dari kelompok yang sebelumnya terpinggirkan dari segi ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Konflik di Poso merupakan salah satu konflik yang bersifat kedaerahan, yang menarik perhatian dunia karena masalahnya yang kompleks. Selain itu, konflik ini terjadi dilatarbelakangi oleh SARA (Suku bangsa, Agama, Ras, dan Antar Golongan) dan mengarah pada disintegrasi bangsa di saat Indonesia memasuki era Reformasi.

Latar Belakang Terjadinya Konflik

Penyebab terjadinya konflik Poso salah satunya ialah permasalahan yang berkaitan dengan penduduk asli Poso yang merasa terpinggirkan dengan keberadaan penduduk yang datang dari luar Poso, hadirnya pendatang ini mengubah transformasi sosial-ekonomi di Poso yang ditandai dengan peralihan lahan dari penduduk asli kepada pendatang.
ADVERTISEMENT
Selain merasa terpinggirkan pada aspek sosial ekonomi, terjadi pula pada aspek politik yang semakin memperkeruh keadaan, yakni pada awalnya pemerintahan Kabupaten di Poso lebih dominan dikuasai oleh para elite Kristen, kemudian kondisi tersebut berbalik setelah Islam mendapatkan penganut yang lebih banyak sehingga membuat kursi kekuasaan pemerintahan diisi lebih banyak oleh elite Islam. Lalu ditambah lagi dengan keberadaan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang melakukan pengembangan elemen ikatan berbasis patron dan klien yang berdasarkan identitas agama Islam membuat elite kelompok Kristen semakin terpinggirkan dan tersingkirkan dalam kekuasaan politik pada pemerintahan Kabupaten Poso.
Adapun faktor yang paling mendasar ialah kondisi demografis keberagaman yang menjadi potensi konflik sosial terjadi, karena provokasi antara satu sama lain akan sangat mudah muncul untuk terlibat dalam konflik komunal, yang mana sering kali hal tersebut menjadi senjata yang sangat ampuh bagi para elite untuk dikendarai ketika bersaing dalam politik dengan mengatur masa menggunakan isu sensitif seperti isu agama dan etnis yang akan memancing konflik berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut menyebabkan banyak orang atau kelompok menjadi bersedia untuk angkat senjata, merakit bom hingga pada akhirnya harus mati di ujung senjata, kondisi ini menurut Charles Kimball dikatakan sebagai bagian dari bencana yang berasal dari agama, yang mana bencana tersebut terjadi ketika agama dijadikan sebagai sandera untuk kepentingan kelompok demi meraih sebuah kenikmatan sesaat dengan mengatasnamakan Tuhan oleh kekuatan dogmatik.

Tahapan Konflik

Konflik komunal di Poso bermula pada tanggal 24 Desember 1998, yaitu pada malam Natal dan bulan Ramadhan terdapat 3 pemuda Kristen yang datang ke masjid Darussalam di kampung Sayo kemudian pada tengah malam tanggal 24 Desember menjelang dini hari tanggal 25 Desember, 3 pemuda tersebut memukul seorang pemuda di dalam masjid. Hal tersebut pun memicu kemarahan yang cukup tajam bagi umat Islam dan Kristen, karena peristiwa tersebut terjadi pada hari besar dua agama yang juga bertepatan dengan situasi politik yang memanas yaitu adanya isu permasalahan dalam pemilihan Bupati di Poso.
ADVERTISEMENT
Kemudian, kejadian tersebut tersebar dengan cepat sehingga membuat umat Islam datang dari Tokorondo, Parigi, dan Ampana, serta umat Kristen yang membawa senjata parang datang dari Sepe, Silanca, dan Tentena. Dua kelompok ini berusaha masuk ke kota Poso dan kerusuhan pun terjadi yang berlanjut hingga tanggal 29 Desember, sehingga konflik ini meluas sampai melewati perbatasan kota dan masuk ke kota-kota di sepanjang tiga jalan jalur utama.
Adapun konflik kedua berlangsung pada bulan April 2000, yang pada saat itu masih dalam nuansa politik yaitu pemilihan Bupati Poso dan terdapat isu mengenai tuntutan pembagian jatah kekuasaan di antara elite Kristen dengan elite Islam tidak terpenuhi, sehingga menyebabkan terjadinya pertikaian antara pemuda Kristen dan Muslim yang dimulai di terminal bus Poso di Lombogia dan membesar menjadi kerusuhan yang mengharuskan sebagian umat Kristen untuk mengungsi.
ADVERTISEMENT
Kemudian pada bulan Mei 2000, terjadi lagi konflik ketiga yaitu warga muslim yang dibunuh di Taripa, yang disusul dengan isu adanya penyerangan dari Tentena oleh pasukan merah (Kristen) sebagai bentuk balasan konflik pada bulan April. Isu tersebut memang benar terjadi, dimulai dengan penyerangan yang dilakukan oleh kelompok Fabianus Tibo (pasukan kelelawar/ninja berpakaian serba hitam). Lalu terjadi pembantaian di Pondok Pesantren Wali Sanga yang menewaskan sebanyak 70 orang, sehingga suasana pada saat itu sangat mencekam dikarenakan masyarakat kekurangan bahan pangan dan bahan bakar.
Setelah itu terjadi pula gelombang penyerangan kedua yang dipimpin oleh Ir. Lateka, namun usaha tersebut digagalkan oleh kelompok putih (Islam) di bawah pimpinan Habib Saleh Al-Idrus dengan ditandai tewasnya Ir. Lateka. Pada bulan Juli 2001, konflik masih terus berlanjut dengan ditandai pergerakan dari umat Kristen dari Tentena menuju ke Poso untuk menuntut pengembalian tanah mereka, lalu terjadi penyerangan di Buyung Kaledo dan menyebabkan 14 Muslim tewas, hal tersebut memicu pembalasan dari umat Islam di kota Poso dan tibalah laskar Jihad di Poso.
ADVERTISEMENT
Pada bulan Desember 2001, terjadi serangan yang dijalankan oleh kelompok Muslim di beberapa kampung, yaitu dari Batalembah ke Sanginora. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah pusat mengirim 2000 petugas, sehingga pada saat itu total keseluruhan petugas keamanan sekitar 3500. Kemudian di saat yang bersamaan, pemerintah mengusulkan pembicaraan politik yang semakin memuncak menjadi Deklarasi Damai Malino (Malino I) dan ditandatangani oleh para pemimpin Kristen dan Muslim pada tanggal 21 Desember 2001.

Upaya Penyelesaian Konflik

Akibat kerusuhan yang terjadi di Poso menyebabkan banyaknya korban jiwa berjatuhan dari masing-masing kelompok, hal tersebut mendorong dari kedua belah pihak untuk melakukan perdamaian guna mengakhiri perpecahan yang berkelanjutan.
Salah satu usaha perdamaian yang efektif ialah Deklarasi Damai Malino I pada bulan Desember 2001 yang merupakan inisiatif dari pendeta A. Tobondo, beliau menghubungi Susilo Bambang Yudhoyono selaku Menteri Koordinasi Politik Hukum dan Keamanan pada saat itu, Jusuf Kalla atau Menteri Koordinasi Kesejahteraan Masyarakat, dan Menteri Pertahanan yaitu Abdul Jalil. Inisiatif tersebut diterima baik dan segera ditindaklanjuti dengan ditunjuknya Jusuf Kalla sebagai pemimpin mediator di Poso. Dalam proses penanganannya peran pemerintahan pusat sebagai fasilitator dan mediator dalam usaha perdamaian di Poso.
ADVERTISEMENT
Kemudian diadakanlah pertemuan pada tanggal 18 Desember hingga 20 Desember 2001, pertemuan ini sekaligus melaksanakan mediasi antara dua pihak yang bertikai. Pertemuan ini diadakan di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan dan diikuti oleh peserta dari kelompok Muslim dan Kristen masing-masing 25 peserta serta 25 peserta sebagai mediator. Hasil dari pertemuan ini membuahkan kesepakatan untuk mengakhiri konflik dan bekerja sama dalam menjaga perdamaian di Poso, Sulawesi Tengah.
Melalui rentetan peristiwa yang terjadi di Poso, kita dapat menyadari bahwa persoalan mengenai etnisitas dan agama di Indonesia merupakan permasalahan yang sangat serius. Perbedaan yang seharusnya menjadi pemersatu malah berujung pada perpecahan dan konflik. Jika kita tidak bisa menghargai perbedaan yang ada maka konflik akan terus terjadi. Namun yang menentukan apakah konflik tersebut dapat diatasi atau malah semakin membesar ialah masyarakat itu sendiri sebagai pelaku dalam kehidupan sosial maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
ADVERTISEMENT
Jangan sampai negara ini terpecah belah hanya karena perbedaan dan tragedi yang kelam ini jangan sampai terulang kembali. Sangat penting bagi generasi muda untuk mengetahui penyebab terjadinya sebuah konflik dan bagaimana mengelolanya, karena kalau bukan mereka siapa lagi?

Referensi:

LIPI. Pengelolaan Konflik Di Indonesia – Sebuah Analisis Konflik Di Maluku. Edited by Cate Buchanan. Centre for Humanitarian Dialogue. Geneva: Centre for Humanitarian Dialogue, 2011.
Qodir, Zuly. Sosiologi Agama Teori dan Perspektif Keindonesiaan. Edited by Hasse J. 1st ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018.
Wahyudi. Teori Konflik Dan Penerapannya Pada Ilmu-ilmu Sosial. Universitas Muhammadiyah Malang. 1st ed. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2021.