Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Tantangan Era Ekonomi Disruptif
10 Januari 2018 15:07 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari izza akbarani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun terakhir ini kita dihadapkan dengan era disrupsi. Era disrupsi ditandai dengan era dimana berbagai lini berubah dan bergerak dengan cepat. Tak hanya di sektor transportasi saja, komunikasi, dan perbankan pun mengalami disrupsi. Di satu sisi, disrupsi akan menguntungkan dan di sisi lain dapat menjadi bom waktu jika perubahan ini tidak mendapat respons yang baik.
Pelaku dan konsumen di era disrupsi mau tak mau harus menunggu kepekaan pemerintah dalam perannya sebagai regulator dan fasilitator terhadap perubahan ini. Era disrupsi ini menjadi tantangan bagi pembangunan perekonomian Indonesia ke depan.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya disrupsi tidak hanya terjadi dalam bidang ekonomi. Hukum, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pemerintahan adalah beberapa contoh bidang yang juga terdisrupsi. Berbicara mengenai disrupsi bukan hanya tentang berbagai lini yang menjadi berbasis digital. Lebih dari itu, ketika kita berbicara disrupsi maka kita akan dihadapkan pada efisiensi, kecepatan, kenyamanan, dan kualitas.
Ekonomi disruptif adalah salah satu bentuk revolusi dalam cara kita berpikir dan menggunakan barang atau jasa. Hal yang sering disorot dalam ekonomi disruptif di Indonesia salah satunya adalah munculnya transportasi online. Tentu kita masih ingat konflik antara transportasi online dan konvensional di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini terjadi akibat persaingan usaha dan ketidaksiapan individu dalam menghadapi perubahan. Selain itu, tentu yang menjadi permasalahan adalah regulasi yang sudah ada atau pun yang baru dikeluarkan oleh pemerintah. Pemerintah pun merespons dengan lamban terhadap perubahan ini terkait dengan revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 tentang Transportasi Berbasis Aplikasi yang terbit pada 31 Mei dan berlaku mulai 1 Juni. Hal ini kemudian mendapat penolakan dari pengemudi transportasi online hingga menunggu keputusan baru pada 1 November lalu. Seharusnya jika pemerintah dapat dengan teliti merespons perubahan ini, disrupsi menjadi suatu hal yang dapat dikelola dengan baik dan dapat menguntungkan banyak pihak.
ADVERTISEMENT
Jika kita dapat melihat secara positif, adanya transportasi online ini dapat mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia. Hal ini diperkuat dari rilis Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa bidang transportasi online menyumbangkan perluasan kesempatan kerja. Selain itu, transportasi online ini menciptakan pasar baru bagi siapa saja yang ingin melakukan usaha karena disruptif dalam bisnis sendiri berarti merusak pasar yang sudah ada dan menggantikan pasar yang lama. Selain itu, transportasi online mendorong adanya produktivitas masyarakat serta efisensi yang signifikan.
Tak hanya dari bidang transportasi, industri keuangan dan perbankan pun mengalami hal serupa. Tentu dewasa ini kita mengenal adanya financial technology (fintech) dari industri keuangan. Hal ini salah satunya ditandai dengan munculnya bank nirkantor (branchless banking) dimana kegiatan jasa keuangan dan perbankan tidak dilakukan di kantor lembaga keuangan melainkan memanfaatkan teknologi yang sudah berkembang pesat. Memudahkan lembaga dan masyarakat dalam pelayanan serta investasi. Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah salah satu contoh perbankan yang mendisrupsi dirinya sendiri dengan meluncurkan satelitnya. Beberapa waktu kemudian hal ini bisa jadi diikuti oleh banyak industri keuangan dan perbankan lainnya yang tak ingin ketinggalan dalam merespons perubahan.
ADVERTISEMENT
Disrupsi di media sosial pun juga terjadi. Hal ini menimbulkan digital mindset di sisi pemerintah. Beberapa tahun terakhir ini, tentu kita tahu bahwa penyebaran konten-konten positif serta transparansi kegiatan pemerintah di media sosial telah banyak dilakukan. Selain itu, pemerintah juga mengambil tindakan dalam pemblokiran dan pembatasan akun-akun media sosial yang terindikasi menyebarkan konten-konten negatif dan hoax. Pemerintahan pun sedikit demi sedikit mengalami disrupsi dengan penerapan e-governance meskipun hanya terbatas pada beberapa pemimpin daerah saja. Membuat segala proses birokrasi menjadi lebih mudah, cepat, dan efisien dibandingkan sebelumnya. Selain bidang-bidang yang sudah disebutkan penulis di atas, masih banyak contoh disrupsi dari berbagai bidang yang memberikan dampak yang luas bagi masyarakat.
Era ekonomi disruptif menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah selaku regulator dan fasilitator. Di satu sisi disrupsi membawa dampak yang begitu menguntungkan, namun di sisi lain kita juga perlu waspada. Mengapa kita justru waspada ? Hal ini tekait dengan tenaga kerja, teknologi, dan regulasi pemerintah. Dari sejumlah data dan kebijakan, pemerintah dinilai lambat dalam merespons era ekonomi disruptif ini. Dalam pembangunan, seharusnya pemerintah bisa merangkul dan tidak meninggalkan salah satu pihak. Dalam bidang transportasi online misalnya, pemerintah justru mengeluarkan aturan terkait kuota armada transportasi online, pengaturan tarif atas-bawah atau fare cap, dan pengalihan kepemilikan kendaraan yang dinilai merugikan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari kebijakan pemerintah, dari sejumlah data-transportasi online mampu menciptakan lapangan pekerjaan secara signifikan, namun hal ini terdestruksi dengan adanya fakta bahwa disrupsi teknologi juga berpengaruh terhadap pengurangan tenaga kerja.
Salah satu contoh yang bisa diambil yaitu pengurangan tenaga kerja dalam bidang perbankan karena industri perbankan lebih memaksimalkan pelayanan berbasis teknologi. Hal ini diperkuat oleh data dari KataData News and Research bahwa Bank Mandiri kini mengerem pembukaan kantor cabang. Bank milik negara (BUMN) ini biasanya membuka 400-600 kantor cabang tiap tahun, belakangan hanya membuka 100-200 kantor.
Hal ini tentu patut untuk diperhatikan mengingat Indonesia akan mengalami bonus demografi dimana jumlah penduduk usia produktif mencapai 70 persen. Angkatan kerja yang begitu banyak jika tidak dimbangi dengan lapangan pekerjaan yang tersedia akan menjadi beban ekonomi. Jika era ekonomi dan teknologi disruptif tidak diperhatikan dan disiapkan dengan baik tentu akan berdampak negatif bagi pembangunan Indonesia. Kini kita menunggu kepekaan pemerintah dalam menyikapi hal ini sembari terus berupaya melakukan persiapan dalam menghadapi era ekonomi disruptif.
ADVERTISEMENT
Sumber Gambar : https://www.twenty20.com/photos/85ea418a-89da-4a41-a4d9-4a455c35e585