Konten dari Pengguna

Harta Gono-Gini di Era Digital: Tantangan Affiliate Marketing

Izzul Muhtarom
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1 Februari 2025 18:14 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Izzul Muhtarom tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pendapatan Digital. Foto by Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pendapatan Digital. Foto by Freepik
ADVERTISEMENT
Di era digital, affiliate marketing telah menjadi sumber pendapatan yang menjanjikan. Model bisnis berbasis komisi ini memungkinkan siapa saja untuk mendapatkan penghasilan dengan mempromosikan produk secara daring. Namun, meskipun menawarkan peluang finansial yang besar, pendapatan dari affiliate marketing menimbulkan pertanyaan baru dalam hukum perkawinan, terutama terkait pembagian harta gono-gini.
ADVERTISEMENT
Harta Digital dalam Konteks Perkawinan: Masihkah Relevan?
Menurut hukum Indonesia, khususnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, setiap harta yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama, kecuali ada perjanjian pranikah yang mengatur sebaliknya. Namun, konsep harta bersama ini pada awalnya dibuat untuk aset yang lebih jelas, seperti properti dan uang tunai. Lantas, bagaimana dengan pendapatan dari affiliate marketing yang bersifat digital dan fluktuatif?
Jika mengacu pada Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 91 ayat 3 menyatakan bahwa harta bersama tidak hanya terbatas pada benda fisik, tetapi juga mencakup hak dan kewajiban ekonomi yang diperoleh selama perkawinan. Ini berarti bahwa, secara teori, pendapatan dari affiliate marketing tetap dapat dikategorikan sebagai harta bersama. Namun, apakah pendekatan ini masih relevan di era ekonomi digital yang kompleks dan berbasis individu?
ADVERTISEMENT
Affiliate Marketing: Bisnis Individu atau Aset Bersama?
Perbedaan mendasar antara pendapatan konvensional dan penghasilan digital adalah sifatnya yang sangat bergantung pada individu. Affiliate marketing umumnya dikelola sendiri oleh seseorang, tanpa campur tangan langsung dari pasangan. Jika demikian, apakah adil untuk tetap menganggapnya sebagai harta bersama?
Dari perspektif keadilan, bisa saja dikatakan bahwa pasangan yang tidak terlibat dalam pengelolaan affiliate marketing tetap berhak atas sebagian pendapatan karena kontribusi mereka dalam rumah tangga. Namun, di sisi lain, pendapatan ini sering kali bergantung pada keterampilan pribadi dan strategi pemasaran yang bersifat individual. Jika seorang pasangan berhasil membangun bisnis digitalnya dari nol, haruskah pendapatannya tetap dibagi secara otomatis?
Tantangan Transparansi dan Regulasi Hukum
Salah satu kendala utama dalam mengakomodasi pendapatan digital dalam hukum perkawinan adalah transparansi. Affiliate marketing bergantung pada platform yang sering kali berbasis di luar negeri dan tidak selalu memberikan laporan keuangan yang jelas. Tanpa regulasi yang mengatur pencatatan pendapatan digital, pembagian harta gono-gini dapat menjadi sumber konflik yang sulit diselesaikan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, hukum perkawinan di Indonesia masih belum secara spesifik membahas penghasilan digital. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah kita perlu regulasi baru yang lebih relevan dengan era digital? Jika ya, seperti apa bentuk pengaturannya agar tetap adil bagi kedua belah pihak?
Perlukah Paradigma Baru?
Dalam menghadapi tantangan ekonomi digital, hukum perkawinan mungkin perlu berevolusi. Pendapatan dari affiliate marketing tidak bisa diperlakukan sama dengan aset fisik konvensional. Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, mulai dari keterlibatan pasangan, transparansi pendapatan, hingga sifat bisnis yang berbasis individu.
Apakah kita perlu mempertahankan pendekatan hukum yang ada, ataukah sudah saatnya membuka diskusi untuk kategori baru dalam hukum perkawinan yang lebih sesuai dengan realitas ekonomi digital? Yang jelas, transparansi, keadilan, dan fleksibilitas hukum harus menjadi bagian dari solusi di masa depan.
ADVERTISEMENT