Konten dari Pengguna

Konflik Rumah Tangga Memanas: Saat Keluarga Menjadi Pemicu Utama

Izzul Muhtarom
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29 September 2024 9:21 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Izzul Muhtarom tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kebersamaan keluarga Foto: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kebersamaan keluarga Foto: pexels.com
ADVERTISEMENT
Konflik dalam rumah tangga sering kali tidak hanya berputar pada masalah internal pasangan saja. Di balik ketegangan yang terjadi, sering kali ada peran besar keluarga, terutama orang tua dan mertua, yang tanpa disadari turut memperkeruh suasana. Apa yang sebenarnya membuat keterlibatan keluarga menjadi sumber panas dalam hubungan suami istri?
ADVERTISEMENT
Bagi banyak pasangan di Indonesia, keterikatan dengan keluarga besar adalah hal yang lazim. Tradisi yang kuat serta nilai-nilai kekeluargaan membuat pasangan sering kali merasa harus melibatkan orang tua atau mertua dalam banyak hal, termasuk dalam urusan rumah tangga. Namun, sayangnya, keterlibatan ini tidak selalu berjalan mulus. Banyak pasangan yang merasa bahwa batasan antara keluarga inti dan keluarga besar kerap kali tidak jelas, yang akhirnya memicu konflik.
Salah satu pemicu utama ketegangan ini adalah ekspektasi. Orang tua atau mertua sering kali memiliki harapan besar terhadap anak dan menantu mereka. Ekspektasi tentang peran suami, istri, dan bahkan cara mengasuh anak, menjadi sumber friksi ketika pandangan dan nilai yang dianut oleh pasangan berbeda dengan apa yang diinginkan oleh orang tua. Akibatnya, tak jarang pasangan merasa terjebak di antara keinginan pribadi dan tuntutan keluarga besar.
ADVERTISEMENT
Selain ekspektasi, campur tangan keluarga dalam pengambilan keputusan rumah tangga juga menjadi titik rawan konflik. Mulai dari urusan keuangan, hingga hal kecil seperti cara mendidik anak, banyak pasangan muda merasa kehilangan kendali atas keputusan rumah tangga mereka sendiri. Situasi ini membuat pasangan tidak lagi merasa bebas menjalani hidup sesuai dengan keinginan mereka, yang akhirnya memunculkan ketegangan antar pasangan.
Fenomena ini semakin rumit ketika nilai-nilai patriarki masih melekat kuat di beberapa wilayah di Indonesia. Dalam situasi ini, suami sering kali merasa didukung oleh keluarga besar untuk mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan istri secara penuh. Di sisi lain, istri kerap kali merasa tersisihkan atau tidak dilibatkan dalam hal-hal yang sebenarnya menyangkut hidup mereka bersama.
ADVERTISEMENT
Kondisi-kondisi seperti ini tak jarang membuat konflik rumah tangga semakin memanas, bahkan dalam beberapa kasus berakhir pada perceraian. Ketika peran keluarga besar terlalu dominan, pasangan suami istri bisa merasa terpojok dan kehilangan ruang untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Padahal, rumah tangga idealnya adalah ruang bagi pasangan untuk saling belajar, mendukung, dan tumbuh bersama tanpa harus terus-menerus didikte oleh pihak luar.
Solusi untuk mengatasi konflik seperti ini terletak pada komunikasi yang sehat dan batasan yang jelas antara pasangan dan keluarga besar. Pasangan suami istri perlu berani menentukan batasan terkait campur tangan keluarga dalam urusan rumah tangga mereka. Dengan adanya dialog yang terbuka dan saling memahami, diharapkan ketegangan bisa mereda, dan pasangan bisa lebih fokus membangun rumah tangga mereka sendiri.
ADVERTISEMENT