Konten dari Pengguna

Syarat Akreditasi ditingkatkan, ASN Terancam Tidak Bisa Kuliah

Jajang Jaenudin
Pelayan Publik Pemerintah Kabupaten Karawang
1 Mei 2021 6:35 WIB
·
waktu baca 5 menit
clock
Diperbarui 18 Juli 2021 20:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jajang Jaenudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Pak! bagaimana caranya kalau saya mau kuliah lagi?" tanya salah satu peserta diklatsar CPNS.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan itu merupakan pertanyaan langganan dari CPNS baru ketika berada di kelas diklatsar. Bagi saya pertanyaan tersebut adalah wujud dari semangat mereka untuk meningkatkan kompetensi. Semangat itu perlu dipelihara dengan memfasilitasi perijinan peningkatan pendidikan, pengakuan gelarnya, dan konseling pra kuliah.
Menghadapi pertanyaan seperti itu, saya akan menjawab dengan mekanisme pendidikan lanjutan baik melalui tugas belajar maupun izin belajar. Mekanisme itu diatur dalam peraturan kepala daerah.
Hak baru ASN
Berdasarkan Peraturan Lembaga Administrasi Negara (LAN) Nomor 5 tahun 2018, pendidikan merupakan salah satu jenis pengembangan kompetensi selain pelatihan. Pendidikan dilakukan melalui jalur pemberian tugas belajar pada jenjang pendidikan formal tertentu, sedangkan pelatihan dilakukan melalui klasikal dan nonklasikal.
Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 menjelaskan pengembangan kompetensi merupakan hak ASN. Setiap pegawai ASN memiliki hak dan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi paling sedikit 20 jam pelajaran (JP) dalam setahun.
ADVERTISEMENT
Lalu dimana jalur ijin belajar?. Aturan ijin belajar juga tidak diatur secara tegas di undang-undang kepegawaian sebelumnya. Pengaturan ijin belajar secara rinci hanya dijelaskan dalam surat edaran (SE) Menpan Nomor 18 tahun 2004 yang kemudian diperbaharui dengan SE Menpan nomor 4 tahun 2013.
Akreditasi program studi minimal B
Dalam SE menpan sebelumnya tidak mensyaratkan akreditasi program studi. Persyaratan itu diperbaharui dalam SE Menpan nomor 4 tahun 2013 dengan mensyaratkan akreditasi prodi paling kurang B. Walaupun demikian masing-masing instansi terutama instansi daerah mengatur persyaratan tersebut lebih fleksibel, disesuaikan dengan ketersedian prodi perguruan tinggi dalam atau sekitar wilayah kabupaten atau kota.
Namun, sejak tahun 2018 peningkatan pendidikan harus mendapat persetujuan dari BKN regional sebelum diusulkan kenaikan pangkatnya. Verifikasi persetujuan tersebut harus mensyaratkan akreditasi prodi minimal B sesuai dengan ketentuan SE nomor 4 tahun 2013.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini seolah akan menggugurkan proses pemberian izin belajar yang telah dikeluarkan kepala daerah yang masih menoleransi akreditasi C. Saat ini memang ada solusi bagi yang sudah terlanjur terbit izin belajarnya, namun sifatnya hanya kebijakan yang tidak tertulis dari pemberi persetujuan. Pemberian izin berikutnya berikutnya tetap mensyaratkan akreditasi A atau B.
Sebaran akreditasi program studi
Menyeragamkan persyaratan tersebut untuk semua instansi daerah, perlu mempertimbangkan sebaran akreditasi prodi di setiap daerah.
Berdasarkan data PDDIKTI yang dilansir laman pusdatin.ristekbrin.go.id jumlah program studi di indonesia sebanyak 25.231. Program studi tersebut tersebar di delapan pulau. Pulau jawa sebesar 52%, pulau sumatera sebesar 23%, pulau sulawesi sebesar 10%, pulau kalimantan sebesar 5%, pulau nusa tenggara sebesar 3%, pulau papua sebesar 2%, pulau bali sebesar 2%, dan pulau maluku sebesar 2%.
ADVERTISEMENT
Mungkin sebaran itu banyak dipengaruhi oleh banyak faktor terutama faktor jumlah penduduk. Jika membandingkan jumlah program studi dengan luas wilayah, setidaknya sebaran itu dapat menggambarkan jarak dan waktu tempuh menuju kampus..
Sedangkan jika dilihat dari akreditasi, program studi dengan akreditasi B masih mendominasi dengan 53%. Sedangkan sisanya program studi yang terakreditasi akreditasi A hanya 18%, dan terakreditasi C sebanyak 29% (Kemenristekdikti, 2019).
Program studi yang berstatus negeri mayoritas sudah terakreditasi A dan B, hanya 9% yang masih terakreditasi C. Namun program studi yang berstatus swasta yang terakreditasi C masih sebesar 35%.
Dampak
Tidak proporsionalnya sabaran prodi berpotensi ada ASN kesulitan untuk melanjutkan pendidikan. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan program studi yang terakreditasi minimal B di wilayah atau sekitar wilayah daerahnya.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, akan ada beberapa dampak yang disebabkan oleh ketegasan dalam batasan akreditasi program studi minimal B.
Pertama, bermunculan kelas jarak jauh. Tingginya permintaan peningkatan pendidikan ASN selaras dengan tuntutan peningkatan kualifikasi yang diamanatkan oleh peraturan. Perguruan tinggi yang memiliki program studi terakreditasi minimal B, akan menawarkan kelas jauh berkedok kelas khusus karyawan. Padahal kelas jauh itu dilarang, termasuk juga kelas sabtu-minggu.
Dalam Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 25 Tahun 2015, ijazah yang diperoleh dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pendidikan. Penentuan salah atau tidaknya proses pembelajar seperti itu yang dilakukan di perguruan tinggi bukan merupakan kewenangan daerah.
Kedua, pengembangan karier terhambat. Melanjutkan pendidikan itu bisa karena : pertama, persyaratan pengangkatan jabatan; kedua, kewajiban setelah diangkat dalam jabatan; atau ketiga, menambah kompetensi. Jika alasan pertama dan kedua ini tidak terpenuhi, akan menyebabkan ASN tidak bisa diberikan kenaikan jabatan atau kenaikan pangkat.
ADVERTISEMENT
Ketiga, ada tugas yang ditinggalkan. Untuk kuliah pada program studi yang terakreditasi B, sementara di wilayahnya tidak ada, ASN akan mencarinya meski waktu dan jarak tempuhnya lebih lama. Hal ini akan mengganggu tugas pekerjaannya, apalagi kelas kelas sabtu-minggu juga tidak diperbolehkan.
Sesuai dengan UU ASN, setiap pegawai ASN memiliki hak dan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi. Jika hak pengembangaan kompetensi melalui pendidikan tidak bisa diberikan karena keterbatasan anggaran, setidaknya ASN diberikan kesempatan untuk pengembangan kompetensi melalui pendidikan yang mudah diakses, namun tetap tidak mengurangi kualitas belajar.
Kemudahan akses tersebut bisa berupa penyesuaian batasan akreditasi disesuaikan sebaran program studi di suatu wilayah, adanya fasilitas pendidikan khusus ASN baik melalui tugas belajar maupun izin belajar, menambah jumlah universitas yang diperbolehkan menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh dengan persyaratan yang ketat, pembelajaran diperkenankan dengan teleconference atau blended learning, dan kemudahan lainnya.
ADVERTISEMENT