Mengapa hunian di Jakarta mahal?

Jakarta Property Institute
JPI adalah lembaga non profit yang memiliki misi membantu Jakarta menjadi kota lebih layak huni.
Konten dari Pengguna
13 Mei 2019 16:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jakarta Property Institute tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pekerja mencampur semen di sebuah proyek perumahan di lingkungan Tajur Halang, Jakarta, (16/07). Foto: REUTERS / Willy Kurniawan
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja mencampur semen di sebuah proyek perumahan di lingkungan Tajur Halang, Jakarta, (16/07). Foto: REUTERS / Willy Kurniawan
ADVERTISEMENT
Hunian di Jakarta mahal bukan lagi fakta baru atau mengejutkan. Kota megapolitan, dengan penduduk lebih dari 10 juta ini, bahkan tak bisa jadi tempat tinggal untuk para pekerja yang menghidupinya, terutama pekerja atau keluarga muda.
ADVERTISEMENT
Mulya Amri, pakar perkotaan dari Jakarta Property Institute (JPI), mengatakan para pekerja muda bahkan sudah tak lagi terpikir mencari rumah di daerah Jakarta. Mereka terpaksa membeli rumah di wilayah penyangga seperti Bekasi, Depok, Tangerang, dan Bogor. Seiring berjalannya waktu, rumah yang terjangkau oleh mereka semakin jauh dari pusat kota.
Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2014, 75 persen komuter Jabodetabek menempuh jarak kurang dari 30 kilometer untuk sampai ke tempat kegiatannya, sedangkan 25 persen lainnya menempuh jarak 30 kilometer atau lebih. Dengan jarak jauh dan transportasi publik yang tidak memadai, 41 persen penduduk Jabodetabek menghabiskan waktu 60 menit sampai 2 jam untuk menuju kantor, 14 persen lainnya menghabiskan waktu lebih dari 2 jam.
ADVERTISEMENT
Jarak tempuh yang jauh ini menyebabkan lebih banyak efek domino: kemacetan, tingkat stres yang tinggi, dan kurangnya waktu berkualitas untuk diri sendiri dan keluarga.
Menurut Mulya, ada beberapa faktor yang menyebabkan hunian di Jakarta tidak terjangkau. “Kekurangan lahan menjadi salah satu faktor terbatasnya supply tempat tinggal, sehingga membuat harga hunian di ibu kota melambung tinggi,” kata Mulya saat memberikan kuliah umum di hadapan ratusan mahasiswa jurusan arsitektur di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) di Banten.
Mulya menambahkan, Jakarta merupakan salah satu kota terpadat di dunia, setara dengan Tokyo (14.000 penduduk per kilometer per segi). Yang membedakan adalah bagaimana cara Tokyo terbangun dan dibangun. Kepadatan Jakarta dipenuhi oleh rumah-rumah tapak yang tersebar horizontal.
ADVERTISEMENT
Pembangunan seperti ini membuat lahan semakin sempit dan terbatas, membuat harga menjadi semakin tinggi. Sedangkan, pembangunan di Tokyo sudah lama terfokus pada konsep kawasan berorientasi transit atau Transit Oriented Development (TOD).
Lebih lanjut Mulya mengatakan pengurusan izin yang kompleks juga menjadi faktor penambah harga jual hunian di tengah kota. Untuk membangun sebuah gedung di Jakarta, Mulya menyebutkan pengembang harus mengacu pada 39 peraturan mengenai persyaratan pengurusan perizinan gedung di Jakarta.
“Berdasarkan hasil studi JPI, dibutuhkan waktu 21 bulan untuk pengurusan perizinan bangunan gedung di atas delapan lantai dengan luas di atas 5.000 meter per segi,” jelas Mulya, pakar yang memiliki gelar Ph.D. dalam bidang Kebijakan Publik dari National University of Singapore.
Suasana Apartemen Kalibata City di Jakarta. Foto: Fanny Wardhani/kumparan
Menurut Mulya, terdapat beberapa solusi untuk menurunkan harga hunian di Jakarta. Pertama, dengan mendorong pembangunan hunian dengan pendekatan TOD dan melakukan pemadatan penduduk di sekitar titik-titik transit. Menyediakan perumahan yang terjangkau di daerah TOD dengan subsidi adalah salah satu strategi untuk menyiasati biaya tanah yang tinggi. Jika tidak, perumahan yang terjangkau akan selalu dibangun di lokasi yang tidak menarik dan tidak dapat diakses.
ADVERTISEMENT
Mulya menyebutkan selama ini rumah susun subsidi dibangun jauh dari pusat kota, seperti Marunda dan Rorotan yang berada di Utara Jakarta, karena biaya tanah yang tinggi. Lokasi ini membuat para keluarga dengan penghasilan setara upah minimum berada dalam posisi kurang diuntungkan, karena mereka membutuhkan akses yang mudah untuk ke pusat kota atau tempat kerjanya.
Berikutnya, Mulya juga menjelaskan pemerintah Jakarta harus melibatkan perusahaan milik negara atau provinsi dalam mengatasi permasalahan lahan. “Sebagai contoh, pemerintah dapat membangun rumah susun yang layak bagi calon warga yang berpenghasilan rendah di atas pasar tradisional," ungkapnya.
Menurutnya, solusi ini dapat ditawarkan kepada BUMD atau BUMN untuk mendapatkan penghasilan tambahan. "Pasar akan mendapatkan peluang bisnis lebih banyak, keluarga berpenghasilan minimum mendapatkan tempat tinggal di kota,” ujar pria bergelar Master dalam bidang Perencanaan Perkotaan dari University of California, Los Angeles ini.
ADVERTISEMENT
Untuk mewujudkan usulan-usulan di atas, Mulya menyarankan pemerintah memiliki rencana induk yang lebih visioner. Ia mengatakan rencana induk Jakarta 2030 yang telah diterbitkan di tahun 2014 tidak memiliki visi spasial dan proyeksinya terlalu konservatif. Rencana tersebut mengasumsikan peningkatan jumlah penduduk Jakarta hanya 20 persen dari 10 juta menjadi 12 juta pada 2030.
Petugas proyek LRT Jabodebek di pembangunan Stasiun Cawang, Jakarta Timur, Senin (14/1). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Padahal, di tahun 2000 sampai dengan 2014, penduduk DKI Jakarta telah bertambah 20 persen dari 8,4 juta menjadi 10 juta dan diiringi pertumbuhan ekonomi sebesar 187 persen. Sayangnya, pertumbuhan penduduk dan ekonomi tersebut tidak diikuti pertumbuhan ketersediaan hunian yang terjangkau bagi masyarakat.
Nur Muhammad Gito Wibowo, Associate Director dari firma arsitektur PDW Architect, menambahkan dengan terbatasnya lahan di Jakarta, pemerintah harus mulai berorientasi vertikal dengan menambah koefisien lantai bangunan (KLB) pada wilayah-wilayah TOD. Ia mengusulkan agar pemerintah lebih terbuka terhadap perkembangan kota namun tetap mengintensifkan pengawasan.
ADVERTISEMENT
“Di beberapa kota di dunia, KLB diperjualbelikan secara transparan. Bagi yang tidak ingin membangun, KLB-nya dapat dijual pada tetangganya. Sehingga, kota tetap terbangun dan beban kota tetap bisa dikendalikan,” katanya.
Menurut Gito hal ini bisa diterapkan pada wilayah-wilayah TOD, sehingga hal ini menyebabkan TOD esensial untuk revitalisasi kota. Dikatakan Gito, tanpa konsep TOD yang memusatkan kegiatan penghuni kota pada titik-titik transit transportasi publik, MRT atau LRT hanya akan menjadi alat transportasi, bukan faktor penting perkembangan kota.