Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
PEMBATALAN PRESIDENTIAL THRESHOLD: PUTUSAN YANG BELUM TUNTAS
15 Januari 2025 10:08 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Jamaludin Ghafur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketentuan tentang ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT) telah beberapa kali diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi, namun selalu mengalami kegagalan karena ditolak atau permohonan dinyatakan tidak dapat diterima oleh majelis hakim. Pada hari Kamis (2/1/2025) MK membuat sebuah terobosan hukum secara progresif dengan membatalkan aturan PT melalui Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024.
ADVERTISEMENT
Harapan Baru Untuk Pilpres yang lebih baik
Publik menyambut dengan penuh gegap gembita putusan tersebut karena beberapa alasan: Pertama, dapat mengakhiri praktik monopoli partai-partai besar dalam menentukan capres-cawapres di mana partai menengah-kecil selama ini seringkali di pandang sebelah mata sehingga tidak ada keadilan di antara partai peserta pemilu. Padahal, untuk menjadi peserta pemilu semua parpol dipersyaratkan hal sama namun dalam hal mengusung calon terjadi diskriminasi akibat adanya PT.
Kedua, dengan tidak ada lagi PT, semua warga negara dengan kualitas terbaik dapat secara leluasa mencalonkan diri dalam pilpres tanpa hambatan soal perahu partai karena sudah tersedia berbagai alternatif. Harapannya akan muncul calon yang beragam sehingga pilpres menjadi lebih kompetitif.
Ketiga, dengan pilpres yang semakin kompetitif pasti menguntungkan rakyat karena akan tersedia beragam alternatif pilihan. Hasil penelitian para ahli menunjukkan, pilpres yang sangat kompetitif akan membuat para calon menjadi lebih responsif terhadap aspirasi rakyat (Heather K. Evans, dkk: 2014). Mereka yang selama ini tidak memiliki rekam jejak keberpihak secara nyata pada kepentingan publik, pasti akan tereliminasi.
ADVERTISEMENT
Pesimisme dibalik Optimisme
Sekalipun secara normatif putusan MK yang membatalkan PT telah memunculkan sejumlah optimisme sebagaimana uraian di atas, namun pembuktiannya masih harus ditunggu pada perhelatan pemilu 2029. Betulkah pilpres akan semakin kompetitif dan tidak akan ada lagi oligarki partai dalam hal pencapresan?
Pertanyaan ini penting diajukan sebab pengalaman dalam Pilkada serentak 2024 menunjukkan bahwa sekalipun MK melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 telah menurunkan syarat ambang batas pencalonan menjadi lebih longgar, namun faktanya masih ada 37 daerah dengan calon tunggal. Partai-partai membentuk koalisi tunggal dan besar sehingga tidak ada alternatif pilihan bagi rakyat sehingga pemilih dipaksa menyetujui begitu saja calon yang disuguhkan oleh parpol.
Memang tersedia kotak kosong bagi mereka yang tidak setuju dengan calon yang ada. Namun memilih kotak kosong bukan tanpa masalah sebab jika ia menang, daerah tersebut tidak akan memiliki kepada daerah definitif dan harus digelar pilkada ulang yang hal ini akan menyedot biaya yang sangat besar dari APBD. Dana APBD yang seharusnya dipergunakan untuk kepentingan masyarakat harus terbuag sia-sia demi mengulang pilkada.
ADVERTISEMENT
Menuntaskan Perjuangan
Pembatalan PT oleh MK tidak boleh dianggap sebagai kemenangan akhir rakyat guna memastikan pilpres yang akan datang berjalan dengan tingkat persaingan calon yang sangat tinggi. Sebab hal ini masih dapat diakali oleh parpol dengan membentuk koalisi gemuk sehingga menyebabkan terbatasnya calon sebagaimana praktik di Pilkada.
Menurut UU Pemilu, partai hanya diwajibkan minimal membentuk dua poros kekuatan dalam pilpres. Dengan demikian, jika pilpres hanya menyediakan dua paslon, hal tersebut sudah legal secara hukum. Hal ini termaktub dalam Pasal 229 UU Pemilu yang menyatakan “KPU menolak pendaftaran Pasangan Calon dalam hal: (a) pendaftaran 1 (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan dari seluruh Partai Politik Peserta Pemilu; atau (b) pendaftaran 1 (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan partai politik Peserta Pemilu yang mengakibatkan gabungan Partai Politik Peserta Pemilu lainnya tidak dapat mendaftarkan Pasangan Calon”.
ADVERTISEMENT
Padahal salah satu spirit dari putusan MK yang membatalkan PT adalah agar calon menjadi lebih variatif. Hal ini dapat dibaca dalam salah satu pertimbangan hukum MK yang menegaskan bahwa dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Salah satu cara guna memastikan pilpres berlangsung sangat kompetitif pasca dibatalkannya PT adalah dengan mengajukan judicial review Pasal 229 UU Pemilu agar MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai bahwa dalam pilpres harus terdapat minimal 3 pasangan calon.
ADVERTISEMENT
Rasionalitas Hukum Minimal 3 Pasangan Calon
Secara tekstual, UUD 1945 tidak mengatur secara eksplisit jumlah minimal pasangan calon dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Namun demikian, membaca konstitusi tentu tidak boleh hanya memakai “kaca mata kuda” atau tekstual semata sebab ada nilai-nilai yang harus juga digali dibalik norma teks dan pasal konstitusi.
Jika tinjauannya adalah tidak hanya sekedar membaca pesan yang tersurat, tetapi juga sekaligus yang tersirat, maka dapat dipastikan bahwa UUD 1945 secara tegas mengamanatkan agar Pilpres berlangsung secara kompetitif yaitu wajib diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon atau minimal 3 pasangan calon.
Hal ini dapat dibaca dari ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 yang membuka peluang pelaksanaan Pilpres dua putaran dengan syarat apabila diputaran pertama tidak ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurut Putusan MK 50/PUU-XII/2014, pelaksanaan Pilpres dua putaran tersebut hanya mungkin dilakukan jika diikuti oleh minimal tiga pasangan calon. Jika hanya terdapat dua pasangan calon, Pilpres cukup dilaksanakan dalam satu putaran di mana pemenangnya adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak tanpa memperhatikan lagi persebaran suaranya di masing-masing provinsi.
Putusan MK di atas telah memberi tafsir resmi bahwa semangat yang terkandung dalam konstitusi adalah keinginan untuk mewujudkan Pilpres yang sangat kompetitif dengan tersedianya berbagai alternatif pilihan calon yaitu minimal 3 pasangan calon. Oleh karenanya, Pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon adalah inkonstitusional karena amanat Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 soal pilpres dua putaran menjadi tidak dapat diwujudkan.
ADVERTISEMENT