50 Perempuan Penyintas Konflik Agraria di Jambi Bentuk Komunitas Pepa

Konten Media Partner
13 Desember 2023 17:29 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perempuan Desa Sumber Jaya menguraikan konflik agraria dan dampaknya di desa tersebut. (Foto: Sobar Alfahri)
zoom-in-whitePerbesar
Perempuan Desa Sumber Jaya menguraikan konflik agraria dan dampaknya di desa tersebut. (Foto: Sobar Alfahri)
ADVERTISEMENT
Vonis hukuman penjara selama setahun dan enam bulan terhadap Bahusni, Ketua Serikat Tani Kumpeh, tidak menyurutkan perjuangan para perempuan Desa Sumber Jaya, Muaro Jambi, dalam mempertahankan ruang hidup. Sebanyak 50 perempuan desa itu membentuk komunitas "Petani Padek" (Pepa).
ADVERTISEMENT
Pepa terbentuk kala kunjungan Inisisasi Masyarakat Adat (IMA) pada 9 Desember 2023 lalu. Para perempuan berkumpul, menguraikan permasalahan agraria di Desa Sumber Jaya, mendapatkan pembekalan mengenai hukum, hingga membentuk komunitas ini.
“Sangat membantu bagi kami para perempuan. Ke depan kami akan lebih giat berjuang mempertahankan hak kami. Tambah lebih kuat, gigih. Mereka (para perempuan) akan terus berjuang sampai mati,” kata Nurjanah (52), Ketua Pepa.
Pepa merupakan perlawanan dari perempuan terhadap pola diskriminatif yang kerap dialami petani. Mereka mengecam tindakan represif terhadap beberapa rekan petani mereka, termasuk Bahusni.
Setidaknya, ada 3 tuntutan Pepa yang ditujukan kepada pemerintah dan aparat penegak hukum, yakni hentikan tindakan kriminalisasi dan intimidasi bagi petani, segera selesaikan kasus konflik lahan antara Desa Sumber Jaya dan perkebunan sawit PT PFIL, dan hentikan pemblokiran akses pembelian terhadap tandan buah segar sawit yang mereka panen.
ADVERTISEMENT
Nurjanah mengatakan vonis yang dijatuhkan kepada Bahusni, tidak melemahkan perjuangan yang sudah dilakukan. Perusahaan yang merampas ruang hidup mereka, telah mengambil langkah yang salah.
“Mereka berpikir menjatuhkan vonis bersalah pada Bahusni dan menangkap beberapa warga kami bisa membuat kami mundur, mereka salah. Kami petani perempuan akan melawan sampai mati,” katanya.
Nukila Evanty, Ketua IMA, mengatakan para perempuan Desa Sumber Jaya sejak awal memiliki potensi untuk membentuk gerakan perlawanan. Setelah Pepa terbentuk, para perempuan ini ke depan memperjuangkan haknya lebih kuat lagi.
“Kami memtoviasi mereka. Mereka inilah yang membela dirinya sendiri. Sebenarnya kalau mereka melawan, mereka kuat,” kata.
Ia menyampaikan Pepa akan menjadi simbol perlawanan yang berasal dari kekuatan perempuan. “Bentuk perlawanan untuk menolak kriminalisasi dan intimidasi. Ke depan mereka lebih percaya sendiri,” katanya.
ADVERTISEMENT
Nukila pun mengatakan IMA akan membuat isu konflik agraria di Desa Sumber Jaya mendapatkan perhatian dari berbagai lembaga nasional, seperti Komnas Perempuan, Komnas HAM, Ombudsman RI, KLHK, Kemenkuham, dan sebagainya. Tidak hanya itu, ia pun akan mendorong masyarakat Desa Sumber Jaya mendapatkan dukungan skala internasional.
“Kita akan bantu untuk didengar secara internasional. Ini harus menjadi konsen juga. Harus ada intervensi dari internasional bahwa ini ada permasalahan hak masyarakat,” kata Nukila.
Kriminalisasi Bahusni
Nukila selaku penasihat bidang hukum dan gender di Asia Centre, mengatakan ada banyak kejanggalan yang terdapat dalam salinan putusan terhadap Bahusni. Salinan itu diterimanya dari Tim Pendamping Hukum dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
“Beberapa poin yang saya nilai dipaksakan dan janggal di antaranya, di putusan tertulis sidang permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sengeti, sudah dilakukan pada hari Kamis tanggal 30 November 2023, sementara agenda pembacaan duplik baru di tanggal Rabu, 6 Desember 2023, dan pada hari itu juga langsung dibacakan putusan Berdasarkan KUHAP putusan hakim,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Hakim dalam persidangan itu terkesan buru-buru menjatuhkan vonis. Kata Nukila, butuh waktu memutuskan dengan seadil-adlinya, tidak bisa hanya dalam sehari.
“Poin lain yang saya nilai janggal ini kan tuntutan hanya satu tahun, seharusnya bisa menggunakan mekanisme restorative justice dan sudah banyak pasal 362 KUHP dan pelanggaran pasal UU Perkebunan menggunakan pasal tersebut” katanya di sela-sela melakukan pelatihan penyadartahuan hukum bagi petani perempuan di Desa Sumber Jaya,” katanya.
Ia mengatakan Undang-undang Perkebunan yang digunakan hakim kepada Bahusni sebenarnya bermasalah dan memberatkan kelompok marjinal seperti petani dan perempuan. Bahkan undang-undang itu statusnya sedang digugat.
“Jadi penggunaan pasal undang-undang itu tidak tepat. Itu bisa menjadi senjata pemilik modal untuk mengkriminalisasi masyarakat,” katanya.
Bagi Nukila, Bahusni telah diperlakukan selayaknya koruptor dalam persidangan itu. Padahal, ketua serikat petani ini sebelumnya hanya memanen kelapa sawit di lahan konflik yang tidak terikat hak guna usaha (HGU).
ADVERTISEMENT
“Bisa pakai penyelesaian perdata, bukan pidana. Kenapa hakim bisa menggunakan pasal pidana? Membingungkan. Ini kan kecil masalahnya ya. Gak fear juga kasus ini diperlakukan seperti ada tindakan korupsi. Terkesan dipaksakan,” katanya.
Mengenang keasrian Desa Sumber Jaya
Jauh sebelum ekspansi perkebunan sawit, keasrian lingkungan Desa Sumber Jaya, Kumpeh Ulu, Muaro Jambi, masih terasa. Ini tergambar jelas di benak Nyai Mesra (67), warga Desa Sumber Jaya sekaligus anggota Serikat Tani Desa Sumber Jaya Kumpeh Ulu.
Aliran sungai dan ekosistemnya terjaga. Berbagai jenis ikan, seperti gabus, serdang, dan toman, mudah ditemukan. Satu tahun sekali, penduduk desa menangkap ikan bersama yang disebut “berkarang”.
“Kemudian ramai-ramai menyantap ikan yang ditangkap itu. Kami juga menangkap ikan menggunakan tangkul. Dulu, kalau banjir, ikan masuk ke permukiman,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Karena ikan berlimpah, sebagian penduduk Desa Sumber Jaya menjadi nelayan, guna memenuhi kebutuhan harian. Selain menggunakan jaring, ada kalanya mereka berburu menggunakan tombak.
Penduduk pun memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan minum, memasak, hingga mencuci. “Tahun 1990-an, kami masih menggunakan air dari Sungai Batanghari, sebelum ada perkebunan sawit. Airnya bening. Sekarang bisa dak perusahaan itu balikinnyo lagi dak,” sambung Nurdayang.
Lingkungan Desa Sumber Jaya, ditumbuhi aneka pohon yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar: bungur, balam, rotan, meranti, tembesu, punak, dan sebagainya. Masyarakat memanfaatkannya untuk membangun rumah dan fasilitas umum, membuat perahu, hingga membuat anyaman tikar dan ambung.
Pemanfaatan hasil alam ini diiringi kearifan lokal dan kesadaran ekologis. Masyarakat hanya menebang pohon yang tua. Pohon muda dibiarkan hidup lebih lama, untuk menghasilkan bunga dan bibit baru.
ADVERTISEMENT
Sebelum mengambil kayu dari alam, masyarakat harus melapor ke tokoh adat dan kepala desa. Masyarakat pun hanya boleh menebang pohon satu tahun sekali, yakni Oktober. Sedangkan proses pengangkutan kayu dari hutan, berlangsung Desember ketika permukaan air naik.
Perekonomian masyarakat tentu terbantu karena hasil alam ini. Ambung, kursi, meja, dan barang lain yang dibuat, dijual.
Masuk perusahaan, konflik agraria terjadi
Pada tahun 1997, PT Permata Tusau Putra memasuki Desa Sumber Jaya tanpa sosialisasi kepada masyarakat. Konflik lahan tidak bisa dihindarkan, karena lahan yang dikelola secara kolektif diserobot oleh perusahaan tersebut.
“Karena pendidikan kurang, masyarakat bisa ditakut-takuti,” ungkap Ketua Serikat Tani Kumpeh Ulu, Bahusni
Kendati demikian, muncul perlawanan dari masyarakat yang melakukan aksi serentak pada tahun 1998. Alat dan rumah yang didirikan perusahaan dibakar masyarakat.
ADVERTISEMENT
Setahun kemudian, terjadi pertemuan antara pemerintah desa dan tokoh adat untuk menentukan batas desa. Dokumen ini ditandatangani oleh pejabat dan tokoh masyarakat yang memahami batas-batas desa.
Rasidi (80), tokoh masyarakat Desa Sumber Jaya, menjadi saksi kunci awal mula terjadinya konflik lahan antara Desa Sumber Jaya dan PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL). Dia menjelaskan, penentuan batas dilakukan untuk menghindari konflik dengan perusahaan yang sebenarnya hanya memiliki izin penggunaan lahan di Desa Teluk Raya.
Namun, perusahaan sawit tadi tidak berhenti merambah lahan Desa Sumber Jaya hingga tahun 2010. Pada tahun 2015 kemudian, masyarakat baru mengetahui bahwa perkebunan yang digarap PT Permata Tusau Putra sudah dilakukan take over ke PT FPIL.
ADVERTISEMENT
“Berdasarkan petunjuk orang terdahulu, untuk menghindari konflik berkelanjutan, dibuatlah kesepakatan tapal batas, menggunakan tanda alam. Terjadi kesepakatan dengan Desa Teluk Raya. Tahu-tahu lahan di sini sudah habis,” kata Rasidi.
Tidak hanya mengakibatkan konflik agraria, juga terjadi kerusakan lingkungan di Desa Sumber Jaya sejak Perusahaan itu mengepung. Masyarakat saat ini sulit mempertahankan sawah. Ikan-ikan juga sulit ditemukan.
Bahusni, yang menjadi simbol perlawanan petani, dituduh melakukan tindakan pencurian oleh PT FPIL. Meskipun banyak pihak yang meyakini bahwa tindakan Bahusni adalah bagian dari hak-haknya untuk mempertahankan tanahnya, pengadilan memutuskan untuk menjatuhkan hukuman yang dianggap banyak kalangan sebagai tindakan represif.
Dari data yang dikumpulkan KPA wilayah Jambi setidaknya ada 54 petani yang dikriminalisasi PT FPIL selama kurun waktu 3 tahun terakhir. Riki Hermawan, Organisasi Bantuan Hukum (OBH) KPA, menyayangkan putusan vonis terhadap Bahusni.
ADVERTISEMENT
“Kriminalisasi terhadap Bahusni ini adalah upaya pelemahan Gerakan Reforma Agraria di Jambi karena Pengadilan Negeri Sengeti terlalu memaksakan putusan dan tidak mempertimbangkan alat bukti yang diajukan Bahusni. Apalagi PT PFIL hingga hari ini tidak dapat membuktikan HGU-nya masuk di Desa Sumber Jaya yang saat ini digarap oleh Serikat Tani Kumpeh,” sebut Riki.
Merajut harapan di tengah konflik agraria
Tidak hanya mendapatkan pemahaman hukum, komunitas Pepa juga diberi materi mental healing dari Psikolog Dessy Pramudiani sekaligus Dosen Prodi Psikologi Unja. Dessy melihat persoalan konflik lahan ini mempengaruhi kehidupan keseharian, traumatic tidak hanya bagi perempuan tapi juga anggota keluarga lainnya seperti anak dan suami.
“Perlu adanya kegiatan yang mendukung untuk meningkatkan kepercayaan diri petani perempuan tersebut, ada beberapa orang yang memang memerlukan konseling pribadi karena mengarah ke gejala depresi,” jelasnya.
IMA bersama perempuan Desa Sumber Jaya membentuk Pepa.
Nukila menyebutkan inisiatif yang dilakukan organisasinya, Inisiatif Masyarakat Adat, sebagai bentuk penguatan perempuan di wilayah-wilayah yang mengalami konflik tenurial.
ADVERTISEMENT
“Perempuan paling terdampak dari adanya konflik tenurial seperti ini, di beberapa lokasi kita datangi juga melakukan penguatan-penguatan secara hukum, mental, dan ekonomi. Saya melihat konflik perebutan sumber daya alam yang sama di Rempang, Air Bangi, dan Pangkalan Susu. Perempuan ini berdampak ganda terhadap rusaknya lingkungan, hilangnya sumber penghidupan, obat-obatan. Beberapa perempuan mengeluhkan lebih rentan depresi, sakit secara fisik, dan kehilangan kebahagiaan,” katanya.
Yusnidar menatap botol berisi cairan kuning yang bernama eco enzim, enzim multi guna yang dihasilkan dari kulit-kulit buah segar menjawab tingginya harga pupuk untuk lahan pertanian mereka. Yusnidar baru saja memanen kacang panjang ketika mengikuti pelatihan budidaya rempah-rempah secara organik.
Lisani, menyebutkan rempah-rempah seperti jahe, kunyit, serai masih dianggap untuk kebutuhan rumah tangga terutama bumbu masakan. Berbagai olahan jahe bernilai jual tinggi, bisa menjadi sumber peningkatan pendapatan keluarga bagi petani.
ADVERTISEMENT
“Jangan dinilai ini jahe cuma buat bumbu, ada jahe hitam yang harganya bisa 500 ribu rupiah per kilogram. Kita bisa mulai menanam di setiap rumah ada tanaman rempah-rempah sehingga ke depan bisa jadi kampong rempah dan menarik banyak cuan tentunya,” katanya saat mengisi materi.
Nukila melihat dukungan pendampingan ekonomi juga akan memberikan warna baru bagi perjuangan yang dilakukan.
“Kelompok Pepa ini bisa membuka mata semua orang bahwa desa yang berada dalam situasi konflik dan perjuangan. Juga mampu memberikan warna lain, misalnya mereka menggerakkan desa melalui komoditi rempah-rempah ini. Selain meningkatkan perekonomian, Desa bisa menjadi tujuan wisata kebun rempah, karena potensinya banyak sekali. Semakin banyak orang yang datang mengunjungi, semakin banyak yang berempati pada perjuangan petani di sini,” tandasnya.
ADVERTISEMENT