Hutan Adat Talun Sakti Jambi: Sumber Air Masyarakat dan Ruang Hidup Satwa

Konten Media Partner
4 Oktober 2022 7:48 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pepohonan yang rindang di Hutan Adat Talun Sakti, Jambi. (Foto: M Sobar Alfahri/Jambikita)
zoom-in-whitePerbesar
Pepohonan yang rindang di Hutan Adat Talun Sakti, Jambi. (Foto: M Sobar Alfahri/Jambikita)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jambikita.id - Suara gemercik air terdengar jelas saat berada di kediaman Muhammad Sapar (51) yang berada di Dusun Muara Seluro, Desa Raden Anom, Kecamatan Batang Asai, Sarolangun, Jambi. 'Nyanyian' alam ini berasal dari Sungai Batang Seluro.
ADVERTISEMENT
Warga sekitar silih berganti memanfaatkan air sungai yang masih jernih itu. Kebutuhan minum, memasak, mandi, hingga mencuci, terpenuhi karena Batang Seluro.
Sapar mengungkapkan aliran air Batang Seluro berasal dari Hutan Adat Talun Sakti yang luasnya berkisar 641 hektare. Kawasan hutan ini sangat berarti bagi masyarakat Desa Raden Anom. Jika mengalami kerusakan, rusak pula kehidupan di sekitarnya.
“Hutan adat ini banyak manfaat bagi masyarakat. Air Batang Seluro dan Batang Asai berasal dari sini. Masyarakat Jambi khususnya di Sarolangun menerima manfaatnya,” ujar Ketua Kesatuan Hutan (KTH) Adat Talun Sakti tersebut.
Sungai Batang Seluro dimanfaatkan warga lokal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. (Foto: M Sobar Alfahri)
Tidak hanya mengungkapkan arti penting Hutan Adat Talun Sakti, Sapar juga menunjukkan keasrian hutan adat ini kepada 5 orang yang berasal dari Kota Jambi, yakni dua jurnalis, seorang mahasiswa kehutanan, dan dua anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Sapar menjadi pemandu saat menelusuri Hutan Adat Talun Sakti, Rabu (21/9).
ADVERTISEMENT
Jelajahi Hutan Adat Talun Sakti
Menjelang tengah hari, Ketua KTH Adat Talun Sakti, Muhammad Sapar, memasukkan sejumlah barang dan makanan ke dalam karung besar yang sudah dimodifikasi. Karung ini memiliki strap bahu berbahan kain.
Usai terkunci lilitan tali plastik, tas sederhana ini digendong Sapar yang siap untuk pergi. Ia juga tidak lupa membawa sebilah golok yang menempel di pinggang, serta mengenakan topi.
Sekitar pukul 11.00 WIB, Sapar bersama 5 orang yang dipandunya, mulai melangkahkan kaki. Sejumlah warga sekitar yang melihat, bertanya tentang tujuan perjalanan tersebut.
"Ke Talun (Hutan Adat Talun Sakti)," jawab Sapar kepada warga.
Suara gemuruh air mengiringi perjalanan Sapar bersama jurnalis, mahasiswa, dan anak-anak itu. Aliran air Batang Seluro terlihat menghantam dan melewati sela-sela bebatuan. Beberapa kali harus menyeberangi sungai ini untuk sampai ke pintu masuk Hutan Adat Talun Sakti.
ADVERTISEMENT
Walau belum berada di hutan adat, kelestarian lingkungan sudah terasa. Pepohonan yang rindang dan suara serangga, sudah dijumpai Sapar dan orang-orang yang dipandunya. Bahkan, Sapar menemukan buah kepayang yang siap untuk diolah menjadi minyak sayur.
Setelah beberapa menit perjalanan, terlihat spanduk yang bertuliskan "Anda Memasuki Kawasan Hutan Talun Sakti". Namun, ternyata harus melewati bukit yang terjal dan menelusuri sungai lebih jauh lagi untuk memasuki kawasan hutan adat.
Pendakian pertama pun dilakukan, tetapi tidak sampai ke puncak. Sapar bersama 5 orang lainnya menelusuri punggung bukit. Perjalanan mulai terasa ekstrem, karena di sebelahnya terdapat lembah dengan air terjun dan bebatuan yang besar.
Usai 1 jam berlalu, perjalanan di bukit tersebut selesai. Ditemukanlah sebuah pondok yang sedang disinggahi warga lokal, serta tumpukan durian yang sebelumnya jatuh tidak jauh dari pondok tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, perjalanan belum berakhir. Langkah kaki terus berlanjut dengan melewati sungai. Beberapa kali pacet (haemadipsa) singgah di bagian kaki untuk menghisap darah.
Menulusuri sungai yang berada di Hutan Adat Talun Sakti. (Foto: M Sobar Alfahri)
Di sekitar sungai terlihat pula bekas galian dan sejumlah mesin pompa air yang tersimpan di pondok. Bahkan, terdapat satu titik aktivitas pencarian emas yang mengeruhkan sungai walau hanya sesaat.
Semakin jauh perjalanan, kicauan burung terdengar. Sedangkan pepohonan terlihat rapat di pinggir perbukitan.
Sapar bersama dua anak tadi, selalu berada di depan untuk memimpin perjalanan. Sesekali mendaki bukit untuk memotong perjalanan di sungai.
Sekitar pukul 15.00 WIB, Sapar dan orang-orang yang dipandunya sempat berhenti di pondok untuk makan siang dan beristirahat selama beberapa menit. Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan melawan arus sungai.
ADVERTISEMENT
Setelah beberapa jam, saat masih berjalan di tengah sungai, barulah mereka memasuki kawasan Hutan Adat Talun Sakti yang sesungguhnya.
Namun, waktu mendekati malam, sehingga penelusuran hari pertama ini harus berakhir. Singkat cerita, ketika berkisar 17.30 WIB, Sapar dan 5 orang lainnya mulai beristirahat di sebuah pondok, pinggir sungai.
Telusuri Bukit dan Pepohonan untuk Berjumpa Satwa
Keesokan harinya, Kamis (22/9) pagi, suara dari hewan primata seolah menyapa Sapar dan orang-orang yang dipandunya. Kelompok owa ungko (hylobates agilis) dan owa siamang (symphalangus syndactylus) terdengar saling bersahutan di tengah Hutan Adat Talun Sakti.
Penjelajahan dilanjutkan kembali dengan menempuh medan yang berbeda, menuju rumah Sapar, Dusun Maura Seluro (selama berkisar 6 jam). Kali ini, memotong jalur sungai dengan mendaki bukit dan melewati pepohonan yang rindang, sembari mencari baning cokelat (manouria emys).
ADVERTISEMENT
Perbukitan di Hutan Adat Talun Sakti tingginya berkisar 450 hingga 600 mdpl yang dihuni aneka pohon. Berdasarkan data yang dihimpun Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Limau Unit VII Hulu Sarolangun, ada 30 spesies tumbuhan bernilai konservasi tinggi yang hidup di Desa Raden Anom, yakni temalun (parashorea lucida), jelutung (dyera costulata), kibut (amorphophallus titanum), murau (shorea gibbosa brandis), tembesu (fagrea fagreans), balam merah (palaquium gutta), dan lainnya.
Melewati pohon tembesu yang berada di Hutan Adat Talun Sakti. (Foto: M Sobar Alfahri)
Pepohonan itulah yang dilalui Sapar dan orang-orang yang dipandunya. Sapar juga sempat berhenti sejenak di dekat pohon damar untuk menjelaskan keasrian hutan, sembari beristirahat.
“Pohon meranti banyak, termasuk yang terancam punah Ada juga pohon tembesu, pohon murau, temalun, itu banyak. Inilah hutan adat kami yang sudah ada sejak zaman nabi,” ujar Sapar.
ADVERTISEMENT
Di tengah perjalanan ini pula, mereka mencari baning cokelat untuk dipublikasikan keberadaannya. Beberapa kali Sapar menemukan jejak yang diduga berasal dari baning cokelat, tetapi satwa tersebut tidak ditemukan. Walaupun demikian, Sapar dan orang-orang yang dipandunya sempat menemukan 2 ekor rangkong gading (rhinoplax vigil).
Hutan Adat Talun Sakti memang dapat dikatakan sebagai rumah bagi para satwa. Tidak hanya beberapa satwa yang disebutkan tadi, pernah ditemukan macan dahan (neofelis diardi), kucing batu (pardofelis marmorata), harimau Sumatera (panthera tigris sumatrae), rusa sambar (cervus unicolor), dan sebagainya, di hutan adat tersebut.
“Kita sebelumnya memasang kamera trap selama beberapa hari. Berbagai macam satwa ditemukan, termasuk harimau dan rusa. Kalau masih ada predator, berarti masih terjaga keseimbangan alam di sana. Jadi, selain bermanfaat bagi masyarakat, hutan ini rumah bagi satwa. Saya khawatir, jika hutan ini hancur, para satwa turun ke permukiman warga,” kata Sri Liah Suzanto, Kasi PKPM KPH Limau Sarolangun, kepada Jambikita, Senin (3/10).
ADVERTISEMENT
Kesadaran Ekologis Jaga Hutan Adat Talun Sakti
Sapar menyampaikan masyarakat sekitar percaya sejak dahulu ada roh nenek moyang yang menjaga Hutan Adat Talun Sakti. Jika terdapat manusia yang berbuat buruk di sana, seperti menebang pohon untuk diperdagangkan atau mengganggu kelangsungan hidup hewan, nenek moyang dengan wujud harimau akan menghukum.
“Hutan ini dijaga nenek moyang. Bila ada yang melanggar atau berbuat buruk, akan didatangi nenek (berbentuk harimau),” ungkapnya.
Perusak hutan yang tertangkap akan dikenakan sanksi denda sesuai ketetapan adat. “Dendanya beras sebanyak 20 gantang, kambing seekor, lalu emas yang diserahkan sebagai kas desa,” tutur Sapar.
Adat yang terpatri di Dusun Muara Seluro, Desa Raden Anom, diiringi dengan kesadaran ekologis yang kuat. Mereka pun menolak keras penambangan emas ilegal dengan alat berat ekskavator, karena aktivitas itu dapat merusak sungai dan hutan.
ADVERTISEMENT
“Jika alam rusak, sungai rusak, apa yang mau diminum? Apa yang mau dimasak kalau jadi lokasi tambang,” kata Sapar.
Suatu hari di tahun 2017, warga Dusun Muara Seluro yang didominasi kalangan perempuan, berkumpul di sekitar jembatan. Sebagian dari mereka membawa obor dan berteriak “bakar, bakar, bakar”.
Aksi ini merupakan penolakan terhadap pemilik modal dan oknum pejabat yang ingin memasukkan alat untuk melancarkan penambangan emas ilegal.
Sapar tidak ingat siapa saja yang berteriak penuh amarah saat aksi tersebut. Yang jelas berkat aksi ini, alat berat mundur atau tidak jadi masuk ke Muaro Seluro.
Suzanto menyampaikan bahwa memang warga Dusun Muara Seluro memiliki kesadaran untuk menjaga lingkungannya, khususnya melestarikan hutan adat. Tidak heran, sampai saat ini tidak ada alat ekskavator di Dusun Muara Seluro, walau potensi kandungan emas di wilayah ini cukup besar.
ADVERTISEMENT
“Mereka siap mempertahankan hutan tersebut. Jadi, kami apresiasi Pak Sapar dan kawan-kawannya, walau belum ada kompensasi, tetapi mereka tetap menjaga lingkungannya. Masyarakat sadar kalau hutan ini rusak, tidak ada lagi air yang bisa memenuhi kebutuhan mereka,” ujarnya.
Kawasan Hutan Adat Talun Sakti sudah dimuat dalam SK yang ditandatangani Bupati Sarolangun pada tahun 2015. Namun, Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) belum menurunkan tim untuk melakukan verifikasi hutan adat tersebut agar segera dikukuhkan.
“Ini karena SK pengakuan hukum adatnya belum ditandatangani Bupati. Sedangkan perdanya sudah ada sebagai salah satu syarat dikukuhkan oleh KLHK. Namun, tetap perlu dibuatkan SK pengakuan masyarakat hukum adat,” kata Suzanto.
Saat ini di Desa Raden Anom terdapat unit usaha yang menjadi salah satu pencegah masyarakat tergiur dengan penambangan emas, yakni pengelolaan buah kepayang menjadi minyak. Kepayang diangkat kembali sebagai sumber mata pencaharian lain di Desa Raden Anom sejak tahun 2015.
ADVERTISEMENT
“Sifatnya pemberdayaan masyarakat, sehingga ada usaha kecil yang dijalankan mereka. Jadi, kalau ada usaha yang meningkatkan perekonomian, mereka tidak akan berpikir merusak hutan,” ujar Suzanto.
Penulis dan Editor: M Sobar Alfahri