Konten Media Partner

Isolasi Mandiri Ala Orang Rimba

8 Agustus 2020 11:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Orang Rimba saat berkumpul di kantor lapangan KKI Warsi Jambi untuk menerima bantuan Covid 19 dari Kementrian Sosial. (Foto: KKI Warsi)
zoom-in-whitePerbesar
Orang Rimba saat berkumpul di kantor lapangan KKI Warsi Jambi untuk menerima bantuan Covid 19 dari Kementrian Sosial. (Foto: KKI Warsi)
ADVERTISEMENT
Jambikita.id - Paparan COVID-19 menghantam bumi sepucuk Jambi Sembilan lurah. Beberapa daerah mulai melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Ledakan kasus membuat semua daerah waspada.
ADVERTISEMENT
Data hingga Jumat, 7 Agustus 2020, jumlah zona hijau hanya dua daerah di Jambi, yakni Kabupaten Merangin dan Bungo. Sedangkan zona kuning yakni Kabupaten Kerinci, Sarolangun, Batanghari, Tebo, Muaro Jambi, Tanjab Timur dan Tanjab Barat serta Kota Jambi dan Sungaipenuh.
Jumlah pasien positif COVID-19 mencapai 205 orang. Dari angka itu jumlah pasien sembuh sebanyak 117 orang dan kasus meninggal dunia empat orang. Sementara orang yang dicurigai terpapar sekitar 2.915 orang.
Juru Bicara Satuan Tugas Provinsi Jambi, Johansyah menuturkan selama pandemi, pihaknya telah melakukan beragam tindakan pencegahan. Mulai dari penjagaan dan pemeriksaan orang yang masuk ke Jambi di perbatasan. Sampai dengan melakukan rapid test massal di semua daerah.
Beberapa bulan pemerintah menutup pelabuhan dan bandara. Lalu menutup tempat ibadah, sekolah, kampus, mall, tempat hiburan dan wisata bahkan pasar-pasar kecil ditutup. Pekerja kantoran juga melakukan kerja dari rumah.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, aktivitas yang melibatkan banyak orang, misalnya pesta pernikahan pun dilarang. Pertemuan-pertemuan dilakukan secara daring atau online. Semua aktivitas perdagangan distop sementara.
Beberapa daerah, kata Johansyah memberlakukan jam malam. Selanjutnya meminta seluruh masyarakat memakai masker, ada aturannya, melanggar dendanya Rp50.000. Semua tempat yang berpotensi didatangi banyak orang, harus menyediakan tempat cuci tangan lengkap dengan handsanitizer.
Tempat umum seperti peumahan, perkantoran, rumah sakit, taman, bahkan jalanan disemprot dispektan. Bagi orang yang datang dari jauh diminta isolasi mandiri selama 14 hari.
Beragam cara dilakukan untuk menghindari penularan COVID-19. Termasuk Orang Rimba memiliki cara unik dan telah teruji ratusan tahun dalam melawan wabah. Orang Rimba juga menerapkan karantina wilayah (besesandingon), sosial distancing (seselungon) dan isolasi mandiri (cemenggo).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan catatan sejarah, Orang Rimba paling berhasil mengendalikan penyebaran wabah. Saat menghadapi wabah cacar mereka dilarang pergi ke dataran rendah dan berada di sekitar orang asing.
Bila harus melakukan transaksi, mereka akan melakukan dengan barter bisu, melakukannya dari jarak jauh dan menghindari dataran rendah. kebiasan itu ampuh menghindarkan Orang Rimba dari epidemi cacar. Dalam seabad, tercatat hanya tiga kali Orang Rimba terserang wabah cacar, jauh lebih sedikit dibanding daerah lain.
Untuk menghindari virus korona, kata Atropolog KKI Warsi, Robert Ari Tonang Orang Rimba masuk jauh ke dalam hutan. Lalu menghindari pertemuan dengan orang asing.
Apabila orang tak dikenal hendak menemui mereka, harus menunggu selama tiga hari di sudong atau rumah sederhana yang terbuat dari atap dan lantai kayu. Jika dirasa aman, barulah mereka bertemu.
ADVERTISEMENT
Saat bertemu, kata Robert Orang Rimba juga menjaga jarak bicara sampai 10 meter. Istilahnya seselungon. Bahkan yang menarik adalah saat ada yang terdeteksi sakit. Maka langsung dibuatkan sudong di hutan yang jarang dilewati Orang Rimba.
Anak-anak rimba saat berada di kebun ubi, selama menjalani tradisi Besasandingon mereka hanya makan rebusan ubi untuk mencukupi kebutuhan pangan. (Foto: KKI Warsi)
Pengasingan bagi Orang Rimba yang sakit ini dinamakan cemenggo. Keluarga yang mau memberi makan dan obat-obatan yang sakit, juga menaruh makanan jauh dari kawasan sudong. “Mereka begitu berhati-hati dalam berhadapan dengan wabah,” kata Robert.
Menurut catatan, Orang Rimba sudah terbiasa menghadapi wabah. Mulai dari cacar sampai dengan batuk bahkan demam berdarah. Perlakukan kepada yang sakit sama, semua diasingkan. Wabah diare terjadi 1990-an sempat merenggut belasan nyawa di Orang Rimba.
Ngelembo hidup di sepanjang aliran sungai Terap. Dia memboyong keluarganya masuk ke hutan, saat mendengar kabar wabah korona menyebar. Tradisi besesandingon pun diberlakukan.
ADVERTISEMENT
Besesandingon ini memang mencegah penularan penyakit meluas pada kami, kata Ngelembo. Bentuk dari menjaga jarak dengan membuat sudong yang jaraknya ratusan meter. Aturan dalam membuat sudong juga harus dekat dengan air, dengan tanaman obat, tanah yang bedewo dan jauh tempat lalu lalang.
Setelah menjaga jarak, pengasingan atau isolasi mandiri kami sebut cemenggo, kata Ngelembo harus dilakukan segera dan mendesak jika ada anggota keluarga yang sakit. Semua Orang Rimba sudah paham, titik-titik sudong yang digunakan untuk cemenggo.
Pernah setelah seminggu, mungkin karena kurang makan, anak Ngelembo demam. Dia pun panik bukan kepalang dan segera membangun sudong khusus untuk anaknya yang sakit. Jarak sudong dari tempat Ngelembo, dibatasi pematang dan sungai.
ADVERTISEMENT
Semenjak kejadian anak yang demam, semua anggota keluarga Ngelembo tinggal terpisah-pisah. Jaraknya hampir seratus meter setiap sudong. Ketika berbicara jarak antara mereka pun jauh. Jadi harus setengah berteriak.
“Kalau mau kasih makan, ditaruh saja makanan dekat dengan Sudong. Nanti biar dia ambil sendiri. Jadi tidak bertemu atau saling memegang,” kata Ngelembo.
Melihat keadaan anaknya sedikit parah, maka Ngelembo dan keluarganya pergi jauh. Anaknya ditinggalkan sendirian di sudong. Kendati demikian, dalam perjalanan meninggalkan anaknya, Ngelembo tetap meninggalkan jejak, dengan mematahkan kayu setiap perjalanan. Apabila anaknya sembuh, bisa menyusul.
Ngelembo sempat khawatir, sudah lewat sehari, anak Ngelembo belum juga menyusul. Terbitlah pikiran kalau anaknya sudah meninggal dunia. Namun kala mentari sudah masuk dalam peraduan, dia bernafas lega, anaknya datang dengan badan yang sehat.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya mengandalkan besesandingon. Ngelembo juga berharap pada obat ramuan, dia mengonsumsi ramuan obat agar tubuhnya kuat, tidak mudah sakit. Selanjutnya, untuk mendoakan ramuan obat itu dibutuhkan perempuan yang sehat.
Bagi Orang Rimba perempuan dilindungi dewa atau dewo, medium pengobatan dan penurun adat-adat kepada anak-anak. Sebagai perantara dewa, perempuan yang memimpin bebale dikenal dengan sebutan Malim. Ritual pengobatan dilakukan Orang Rimba, apabila ada yang sakit. Dalam ritual ini, si sakit akan diobatai oleh dewo.
Sistem pengobatan Orang Rimba dalam menghadapi wabah adalah Besesandingon dilakukan untuk mencegah penularan lebih luas pada komunitas Orang Rimba.
Selanjutnya ramuan obat digunakan, untuk mengobati orang yang sudah terkena, lalu perempuan rimba yang dianggap perantara Dewo, bertugas untuk merawat dan mengobati Orang Rimba yang kena penyakit. (suwandi)
ADVERTISEMENT
Liputan ini adalah hasil fellowship transparansi anggaran COVID-19 bersama AJI Indonesia dan UNESCO