Konten Media Partner

Ketika Lebah Tak Kunjung Datang di Hutan Pematang Damar

4 November 2019 13:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ritual memanggil lebah oleh pawang lebah di kawasan hutan Pematang Damar, Jambi. Foto: Suwandi
zoom-in-whitePerbesar
Ritual memanggil lebah oleh pawang lebah di kawasan hutan Pematang Damar, Jambi. Foto: Suwandi
ADVERTISEMENT
"Suatu ketika akan datang masanya lebah menghilang dari permukaan bumi. Manusia pun hanya punya sisa waktu hidup empat tahun. Tak ada lebah, tak ada lagi penyerbukan, tak ada lagi tumbuhan, tak ada lagi hewan, dan tak ada lagi manusia." (Albert Einstein)
ADVERTISEMENT
Jambikita.id - Sudah dua jam Gde Zulfikar berkeliling di bawah pohon sialang, tempat sarang lebah bergantung. Mulutnya melantunkan mantera, ritmis dan terdengar magis.
Tangannya menggengam cawan berisi bakaran kemenyan. Sesekali dia menepuk pohon sembari berbisik, seakan merayu. Kepulan asap kemenyan pun ditiupkannya ke udara.
Gde tengah menjalani ritual memanggil kawanan lebah. Namun, asanya meluruh. Tidak satu pun kawanan lebah yang hinggap dan bersarang di sialang. Mantera Gde seakan tak ampuh lagi memanggil dan mengundang mereka datang.
Dia akhirnya kelelahan, lalu duduk bersandar di bawah sialang. Namun, matanya tetap lekat memandang dahan-dahan pohon yang masih kosong. Gde pun menghitung bekas sarang lebah di setiap dahan sialang.
“Tidak mau lagi dipanggil. Mereka (koloni lebah) sudah pergi jauh,” kata pawang lebah yang juga pemanen madu tersebut, ketika ditemui Jambikita, belum lama ini.
ADVERTISEMENT
Ritual memanggil lebah selalu dilakukan Gde sebelum memanen madu di hutan. Dalam sebulan ini, sudah puluhan kali ritual digelar, tetapi tidak ada koloni lebah yang datang dan berkumpul. Panen madunya pun seret. Hasilnya paling cuma dari satu sarang karena banyak pohon yang melompong.
Ratu lebah sudah murka. Begitu kata Gde. Kondisi ini jauh berbeda dengan dua tahun lalu. Sekawanan lebah dengan ganas menyerang dia dan rekannya ketika itu.
“Saya jatuh dari lantak (tangga khusus untuk naik pohon sialang). Kaki saya patah,” kenangnya.
Gde dan warga sekampungnya kerap mencari madu di hutan Pematang Damar, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi. Belantara ini dikeramatkan oleh warga setempat sejak ratusan tahun lalu.
Berbagai pantangan pun berlaku saat menjejakkan kaki di kawasan tersebut. Pengunjung, misalnya tidak boleh berniat buruk apabila tidak ingin tersesat di hutan.
ADVERTISEMENT
Aturan adat juga diterapkan untuk melindungi kawasan keramat ini. Warga dilarang menebang dan merusak hutan. Ritual cuci kampung pun harus dilakukan oleh setiap pelanggar sebagai sanksi adat.
“Kalau melanggar, sanksinya, mereka harus bayar adat serba sepuluh. Beras (sebanyak) 10 gantang, kain 10 helai, kelapa 10 (butir), dan masih banyak lagi,” jelas Gde, yang menetap di Desa Jambi Tulo.
Aturan beserta sanksi adat berlaku untuk seluruh warga desa di sekitar hutan Pematang Damar, tanpa pandang bulu. Desa tersebut, yakni Jambi Tulo, Mudung Darat, Bakung, dan Jambi Kecil di Kecamatan Maro Sebo.
Aturan ketat ini membuat keseimbangan ekosistem tetap terjaga. Warga pun memperoleh berkah karena panen madu berlimpah. Sedikitnya ada 87 pohon sialang menjadi sarang bagi ratusan koloni lebah.
ADVERTISEMENT
Degradasi lingkungan
Kearifan lokal warga di sekitar Pematang Damar mulai memudar sejak lima tahun belakangan. Pemberlakukan hukum adat tak lagi seketat dan sekuat dahulu.
Hal itu seiring beroperasinya perusahaan perkebunan kelapa sawit di desa mereka. Beberapa warga pun gamang karena tergiur iming-imingan rupiah.
Lahan seluas 240 hektare akhirnya dilego ke perusahaan kelapa sawit PT Sumber Sedayu. Namun ada warga yang kukuh mempertahankan tanahnya karena takut hutan Pematang Damar rusak.
Transaksi ini membuat warga semakin berani membabat sialang untuk dijual kayunya. Mereka seakan tidak takut lagi kualat dengan melanggar pantangan dan hukum adat.
Warga pun seolah tidak khawatir kehilangan mata pencarian sehingga membabat sialang yang menjadi tempat lebah bersarang. Padahal, dari satu sialang mereka bisa mengumpulkan hingga 40-100 kilogram madu dalam sekali panen.
ADVERTISEMENT
“Harga madu, Rp100 ribu per kilogram. Jadi, dari satu pohon (sialang) bisa mendapat lebih dari Rp1 juta,” tegas Adi Ismanto, 37, warga Jambi Tulo lainnya yang menolak keras penjualan tanah sekitar hutan Pematang Damar kepada perusahaan kelapa sawit.
Kawasan hutan terbuka akibat dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit juga menimbulkan permasalahan baru. Lahan menjadi rentan terbakar pada saat musim kemarau, kata Adi.
Pohon sialang yang menjadi tempat bersarangnya lebah. Foto: Suwandi
Api yang menjalar dan menghanguskan 400 hektare lahan di kawasan itu pada kebakaran hebat 2015 lalu turut membakar pohon sialang, rengas, dan kempas. Kobaran api juga memanggang beragam anggrek spesies, begitu kemudian yang terjadi terus menerus.
“Anggrek juga menghasilkan nektar yang menjadi pakan lebah,” jelas Adi, yang juga pegiat konservasi anggrek spesies.
ADVERTISEMENT
Hutan Pematang Damar ditetapkan sebagai kawasan konservasi anggrek oleh Pemerintah Kabupaten Muarojambi.
Namun, cadangan air di hutan rawa gambut ini terkuras akibat pembangunan kanal oleh perusahaan sawit. Gambut yang mengering tersebut juga menjadi rentan terbakar.
Adi mengatakan ada sekitar 84 jenis anggrek yang berhasil diselamatkan dari ancaman kerusakan habitat alam. Jenis anggrek tersebut, di antaranya anggrek macan, anggrek hitam, anggrek bawang, dan anggrek keris.
Ada pula jenis Dendrobium, Bulbophyllum, Cymbidium, Appendicula, Pomatocalpa, Phalaenopsis atau Eria. Selain itu, jenis Trichotosia Ferox, Thelasis, Flicking Coelogyne, dan Javanica.
Beragam jenis anggrek tersebut kemudian ditanam di rumah penduduk di sekitar hutan. Namun, konservasi ini mengubah penampilan khas beberapa jenis anggrek.
Warna bunga mereka memudar akibat perubahan pigmen karena ditanam di luar habitat asli. Anggrek keris (Dendrobium aporum aloifolium), misalnya, yang semula berbunganya ungu terang menjadi pudar bahkan berubah hijau.
ADVERTISEMENT
Produktivitas Lebah
Hilang peredaran lebah di kawasan hutan Pematangan Damar menimbulkan rentetan panjang. Buah-buahan lokal juga tidak berproduksi lantaran tidak ada lagi serangga penyerbuk.
Tercatat ada sekitar puluhan ribu pohon durian dan duku di Kecamatan Maro Sebo tidak kunjung berbuah sejak dua tahun lalu. Warga pun kembali kehilangan pendapatan sampingan dari panen buah-buahan.
Kawanan lebah menjadi semakin jarang terlihat sejak Pematang Damar terbakar. Padahal sebelumnya, mereka kerap melintasi atap rumah warga saban hari. Produksi madu hutan di Jambi pun merosot tajam.
Pada 2014 produksinya sempat menembus 100-150 ton setahun. Namun, produksi pada tahun ini diperkirakan hanya sekitar 40 ton. Itu pun sebagai besar dipasok oleh lebah akasia dan bakau dari Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
ADVERTISEMENT
“Masa panen saat ini relatif lebih lama. Biasanya sebulan sudah bisa panen,” kata pemilik toko Madu Serambi, Jambi Ridho Setiawan.
Dia menuturkan produksi madu hutan tersebut bahkan sempat terhenti pada tahun lalu karena tidak ada sarang lebah yang bisa dipanen. Koloni lebah yang bermigrasi ke Pematang Damar banyak mati karena gagal berdaptasi dengan perubahan lingkungan yang ekstrem.
Laju deforestasi hutan menjadi pemicu utama menurunnya populasi lebah di Jambi. Perubahan vegetasi akibat alih fungsi lahan tersebut juga berdampak terhadap warna dan kualitas madu.
Hal ini dibuktikan oleh Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Jambi. Mereka memetakan koloni lebah di sekitar Hutan Harapan di PT Restorasi Ekosistem (Reki), Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), dan hutan bakau pada 2015.
ADVERTISEMENT
Madu di TNBD berwarna cokelat bening, sedangkan di PT Reki cokelat kehitaman, dan di hutan bakau hitam pekat. Perbedaan warna tersebut dipengaruhi nektar atau sari bunga yang menjadi pakan lebah masing-masing. Begitu pula kualitas madu, bergantung kepada jenis pakan lebah di alam.
“Madu berwarna cokelat kehitaman karena perkebunan kelapa sawit di hutan harapan lebih luas daripada hutan kayu. Lebah pun terpaksa menghisap nektar kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan makanan. Daya tahan mereka juga menurun,” jelas Koordinator Divisi Komunikasi KKI Warsi Jambi, Sukma Reni.
Menurutnya, madu dari hutan di TNBD lebih berkualitas ketimbang madu dari dua wilayah lainnya. Namun, populasi lebah mereka telah menyusut karena sumber pakan di alam semakin berkurang.
ADVERTISEMENT
Perubahan iklim
Susutnya populasi lebah hutan di TNBD turut memukul kehidupan warga Suku Anak Dalam alias Orang Rimba. Komunitas adat yang menetap di kawasan TNBD ini kehilangan sumber penghasilan utama sekaligus bahan pengobatan tradisional dari madu.
Karena lebah enggan lagi bersarang, pohon sialang pun dibiarkan tak terurus. Warga juga berulang kali menggelar ritual pemanggilan lebah, tetapi hasilnya tetap nihil. Lebah menjadi langka karena musim bunga terlampau singkat.
“Macam mana mau ada bunga, hari panas menyengat,” jelas Ridho.
Menurut cerita Orang Rimba kepada Ridho, musim penghujan dan kemarau di sana kini tidak lagi seimbang. Bebungaan tidak sempat mekar dan menghasilkan nektar karena keburu busuk akibat guyuran hujan deras terus-menerus.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, saat kemarau hujan jarang sekali mengguyur sehingga suhu menjadi terik. “Itu membuat musim bunga menjadi lebih singkat,” ungkap Ridho.
Sukma pun mengamini pernyataan Ridho. Dia mengatakan musim bunga di hutan yang biasa berlangsung pada November-Februari kini menjadi lebih singkat masanya. Kemarau panjang menyebabkan pepohonan menjadi lambat berbunga.
Ahli Ekobotani dari Universitas Jambi Bambang Hariyadi, menyatakan deforestasi dan dampak perubahan iklim membuat populasi lebah menurun 30-35 persen di Jambi.
“Perubahan iklim dan deforestasi telah membunuh koloni lebah lebih cepat,” katanya mengutip penelitian di jurnal Science Advance.
Dia mengatakan kualitas lingkungan berpengaruh besar terhadap populasi lebah. Terbatasnya persediaan air dan nektar bisa membuat jumlah koloni serangga ini menyusut karena bermigrasi.
ADVERTISEMENT
Produksi tanaman pangan di wilayah tersebut pun bakal menurun karena lebah merupakan penyerbuk (polinator) terbaik bagi tumbuhan. Termasuk, buah-buahan dan tanaman keras lainnya.
“Lihat tiga tahun ini, durian dan duku tidak berbuah,” tegas Bambang.
Pernyataan ahli ekobotani ini sejalan dengan riset Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Produksi makanan di dunia sepanjang 1961-2006 dihasilkan dari tanaman yang diserbuki oleh hewan, 80 persennya oleh lebah madu. Penyerbukan yang dilakukan lebah madu ini 5 persen di negara maju dan 8 persen di negara berkembang.
Mengembalikan Fungsi Hutan
Kerusakan Hutan Pematang Damar berdampak masif baik terhadap lingkungan, sosial maupun kebudayaan. Perekonomian daerah pun bahkan ikut tergerus sebab Maro Sebo merupakan penghasil terbesar durian dan duku di Muaro Jambi.
ADVERTISEMENT
Data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jambi menyebutkan produksi duku di Muaro Jambi mencapai 5.836 ton yang dipanen dari lahan seluas 472 hektare pada 2014. Produksi tersebut terjun bebas pada tahun berikutnya, yakni menjadi 1.260 ton.
Sementara itu, produksi durian pada 2014 mencapai 9.541 ton dari 75.700 pohon. Setelah itu tidak ada lagi panen durian hingga musim buah pada tahun ini.
“Kami bersama Institut Pertanian Bogor masih meneliti fenomena ini,” kata Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jambi Akhmad Mausul.
Mausul juga berencana merekomendasikan pengembalian fungsi Pematang Damar sebagai hutan lindung agar lebah kembali datang untuk menyerbuki durian dan duku.
"Kalau tanaman ini masih tetap tidak berbuah, akan dirangsang dengan menyuntikan zat pengatur tumbuh," katanya.
ADVERTISEMENT
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jambi pun melancarkan program pembukaan lahan tanpa bakar. Upaya ini menjadi satu di antara solusi terhadap pelarangan pembakaran lahan.
Mausul pun optimistis durian dan duku bakal kembali berbuah apabila rekomendasi dan semua program pendukung tersebut berjalan lancar.
“Larangan pembakaran hutan dan lahan ditetapkan melalui Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2016. Masyarakat maupun perusahaan yang membakar hutan dan lahan akan dipidana,” jelasnya.
Pematang Damar sejatinya hanya potret kecil dari kondisi kerusakan hutan di Sumatra.
Merujuk data KKI Warsi Jambi, pulau ini telah kehilangan sembilan juta hektare hutan dalam 25 tahun terakhir.
Pada 1990, tutupan hutan di Sumatera masih seluas 20 juta hektare. Luasan itu menyusut sebanyak 44% pada 2015 sehingga hanya tersisa 11 juta hektare. Hutan di Sumatera pun diprediksi bakal lenyap pada 25 tahun mendatang.
ADVERTISEMENT
Laju deforestasi yang cenderung tidak terkendali ini berdampak besar terhadap kondisi masyarakat yang tinggal di dalam maupun di sekitar kawasan hutan. Kehidupan mereka menjadi termarginalkan akibat kelangkaan pangan, air bersih dan sumber penghidupan lainnya.
“Tingkat kemiskinan (warga) di area hutan terus bertambah,” pungkas Reni. (Suwandi)