Kisah Bocah Pengidap Mikrosefali di Jambi: Lumpuh dan Tak Bisa Bicara

Konten Media Partner
3 November 2019 20:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aulia (5,5) didiagnosa mengidap mikrosefali. Foto: Suwandi
zoom-in-whitePerbesar
Aulia (5,5) didiagnosa mengidap mikrosefali. Foto: Suwandi
ADVERTISEMENT
Jambikita.id - Aulia kini berusia 5,5 tahun. Tak bisa bicara dan lumpuh. Hanya bisa menangis kalau lapar. Kondisi tengkorak kepalanya semakin mengecil. Kedua orang tuanya senantiasa dirundung kecemasan. Sebab beberapa anak di kampungnya yang mengalami penyakit serupa, telah tutup usia.
ADVERTISEMENT
Parizan adalah ayah Aulia hanya bisa pasrah dan berharap uluran tangan dari pemerintah. Penyakit mikrosefali yang menyerang anak sulungnya ini hingga kini belum ada obatnya. Segala cara telah dilakukan, mulai dari berobat ke rumah sakit hingga dukun.
“Puas berobat ke dokter. Kami bawa ke dukun juga sudah. Tidak ada hasil. Sekarang kondisinya semakin parah,” kata Parizan kepada Jambikita, Minggu (3/11).
Keluarga kecil ini tinggal di rumahnya di Desa Aurgading Seberang, Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi.
Hasil pemeriksaan dokter menyimpulkan Aulia menderita mikrosefali. Waktu itu Aulia berumur 4 bulan dan mengalami gejala sesak nafas.
Mikrosefali adalah kondisi kepala bayi yang berukuran lebih kecil dari yang bayi pada umunya, biasanya disebabkan perkembangan otak yang tidak normal. Penyebab mikrosefali yaitu infeksi, malnutrisi, atau paparan racun.
ADVERTISEMENT
“Kondisi Aulia sampai sekarang masih lumpuh, tidak bisa bicara dan sulit melakukan gerakan-gerakan, sebagaimana anak normal,” kata ayahnya.
Tapi Aulia tak sendiri. Najwa (4,5) tetangga dekat rumahnya juga mengalami penyakit yang sama. Meskipun tidak separah Aulia. Tetapi tetap saja memunculkan kekhawatiran. Diketahui tak haya Najwa dan Auila yang mengidap penyakit serupa, ada anak lainnya yang kini meninggal karena penyakit tersebut. Orang tua Aulia takut kejadian serupa akan dialami anak pertamanya itu.
“Sudah dua anak meninggal. Ada umur satu bulan, ada yang sudah 7 tahun lebih,” kata Wasiah (23) ibu Aulia.
Desa Aurgading ini, sambung Wasiah berbatasan dengan tiga desa, yakni Muarajangga, Luncuk, dan Jelutih. Tota di tiga desa itu, ada lima anak yang menderita mikrosefali. Bahkan ada beberapa yang telah meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
“Kalau jarak umurnya, tidak jauh beda lah dengan anak saya,” tambah Wasiah.
Meskipun belum mengetahui pasti penyakit anaknya, Wasiah mengaku saat hamil daerah rumahnya sedang banjir. Kemudian banyak warga sekitar terserang demam berdarah dan 1 orang meninggal dunia. “Bapaknya (Parizan) pernah demam aneh,” kata Wasiah lagi.
Aulia hanya terbaring, tak bisa bicara dan lumpuh. Foto: Suwandi
Diduga Virus Zika
Peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Frilasita Yudhaputri, menuturkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan bahwa mikrosefali ada kaitannya dengan virus zika dan sejumlah virus lain yang tumbuh akibat serangan nyamuk, seperti demam berdarah dan malaria. Ini menjadi darurat kesehatan masyarakat dunia.
Hasil uji sampel darah terhadap 103 pasien di Jambi, yang diduga terkena dengue pada Desember 2014 hingga September 2015, Lembaga Eijkman menemukan seorang pria berusia 27 tahun positif zika. Sedangkan untuk demam berdarah dan cikungunya 102 orang.
ADVERTISEMENT
Menurut ahli virology ini, kasus zika di Jambi berbeda dengan di Brasil dan Singapura. Tetapi virus zika telah berkembang di Asia Tenggara termasuk Indonesia sejak tahun 2000. Kasus zika di Jambi seperti gunung es, sebab virusnya bisa menirukan infeksi dengue ringan.
“Padahal bisa sangat mematikan. Karena menjadi salah satu penyebab mikrosefali,” kata Frilasita.
Kasus infeksi virus zika kerap diremehkan di Indonesia. Pasalnya kebanyakan orang lebih familiar dengan demam berdarah. Ditambah kesulitan dalam mendapatkan diagnosis laboratorium.
“Kita terus uji sampel dan melakukan penelitian lanjutan untuk memantau penyebaran virus zika dan potensi masalah kesehatan masyarakat yang mungkin terjadi di Indonesia, khususnya di Jambi,” kata Frilasita menambahkan.
Lebih jauh, menurutnya, karakteristik virus zika ialah cepat bermutasi. Karena itu, kemungkinan terburuk dampak virus zika pada kelainan janin perlu diantisipasi.
ADVERTISEMENT
Ia menyarankan, pemerintah setempat melakukan survei dan pemeriksaan lebih intensif agar keberadaan virus terdeteksi daerah penyebarannya.
Terkait adanya tujuh kasus mikrosefali di empat desa dalam satu kecamatan Bathin XXIV, Kabupaten Batanghari, Frilasita mengaku sedang melakukan penelitian lanjutan di Jambi.
“Kita belum bisa ekspos, karena masih on going atau sedang proses,” kata Frilasita.
Eijkman tengah melakukan penelitian terkait potensi penyebaran virus zika di Jambi. Dengan meningkatnya populasi nyamuk, menjadi rentan penyebaran beberapa virus termasuk zika. Kemudian mencari hubungan antara kasus zika dan mikrosefali.
Sementara itu, Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi Jambi, Eva Susanti dalam sebuah sesi wawancara menyebutkan masyarakat Jambi rentan terpapar virus yang disebar nyamuk. Namun dia belum berani memastikan, jika kasus yang menimpa Aulia disebabkan virus zika.
ADVERTISEMENT
“Tapi tidak hanya zika, mikrosefali juga bisa disebabkan cacar Jerman, gizi buruk, dan virus lainnya,” kata Susanti lagi.
Untuk diketahui, lanjutnya penyakit mikrosefali dapat menyebabkan cacat otak bayi dalam masa kehamilan dan penyakit auto-kekebalan.
Kalaupun ada bayi yang selamat dari kondisi mikrosefali, mereka biasanya menghadapi disabilitas intelektual dan penundaan perkembangan tubuh.
“Dia tidak bisa berjalan atau lumpuh. Hanya terbaring di atas kasur dan tidak bisa bicara,” kata Susanti menjelaskan.
Sejauh ini belum ada vaksin atau pengobatan yang bisa menyembuhkan virus zika dan mikrosefali. Sehingga pasien yang terpapar zika dianjurkan beristirahat dan minum banyak cairan.
“Virus zika hidup sepekan dalam darah. Setelah itu hilang,” ujarnya.
Untuk mencegah penyebaran apabila ada warga yang terpapar, Dinkes telah melakukan langkah kongrit, di ataranya sosialisasi dan advokasi. Dia berharap masyarakat menjaga lingkungan yang bersih, agar nyamuk tidak dapat berkembang.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, Dinkes Jambi telah menambah kapasitas tenaga kesehatan serta kajian epidemiologi untuk memetakan potensi penyakit malaria dan demam berdarah.
“Kita bunuh jentik nyamuk dan memberantas sarang nyamuk,” tegas Susanti.
Adapun, kasus demam berdarah di Jambi periode Januari-Februari 2019 ditemukan sebanyak 417 kasus, dengan lima diantaranya meninggal dunia.
Sedangkan pada 2018 lalu ditemukan 812 kasus. Jauh sebelum itu, tepatnya 2014 lalu, tercatat mencapai 1.308 kasus demam berdarah dan membunuh 19 orang penderita.
Dirunut lagi pada 2015, tercatat 1.083 kasus, 9 diantaranya meninggal dunia. Sedangkan pada 2016, kasus demam berdarah melonjak signifikan menjadi 1.552 kasus dan menewaskan 22 orang.
Perubahan Iklim Menambah Populasi Nyamuk
Setelah banyak warga yang terkena demam berdarah dan malaria di Desa Aurgading, Kecamatan Bathin XXIV, Peces (29) mengaku khawatir dengan keluarganya. Sebab apabila menjelang malam dan pagi hari, nyamuk menyerbu masuk ke rumah. Sekali menggigit ada 5-10 nyamuk di badan.
ADVERTISEMENT
“Semalaman kita tidak bisa tidur, selain dari suara juga terganggu dengan gigitan. Obat nyamuk bakar sudah tidak mempan,” katanya.
Kebanyakan warga di Aurgading menanam serai, bunga tai ayam, dan lidah buaya. Meskipun tidak sepenuhnya dapat mengusir nyamuk, tetapi cukup ampuh membatasi pergerakan nyamuk di siang hari.
Untuk menahan populasi nyamuk, dia membuat panduk atau api unggun di bawah rumah panggungnya.
Menurutnya, pemerintah setempat belum pernah melakukan pengasapan (fogging). Untuk menghindari gigitan nyamuk saat keluar rumah dan pergi ke kebun, Peces memilih ramuan tradisional leluhur.
“Saya pakai kunyit digiling, kemudian diolesi seluruh badan,” sebutnya.
Selama menggunakan luluran kunyit itu, Peces mengaku tidak ada nyamuk menggigit. Tetapi, khasiatnya hanya bertahan 2-3 jam.
ADVERTISEMENT
Dosen Teknik Lingkungan Universitas Jambi Yasdi mengingatkan pemerintah jangan hanya memberikan perhatian kepada kasus malaria dan demam berdarah yang meningkat.
Jauh sebelum itu, lanjut Yasdi, mereka harus menyadari tingginya kasus disebabkan cuaca ekstrim karena perubahan iklim.
Kebakaran lahan dalam skala luas berkorelasi dengan peningkatan populasi nyamuk. “Kebakaran hutan dan lahan memicu migrasi nyamuk dari hutan ke perkotaan,” ujarnya.
Yasdi merujuk pada penelitian Dartmouth College yang menyatakan kenaikan suhu sebesar 2 derajat celcius akan menyebabkan meningkatnya 50 persen populasi nyamuk.
“Kalau populasi nyamuk meningkat, kasus malaria dan demam berdarah pasti banyak,” katanya.
Hal ini berkorelasi juga dengan hasil penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) sepanjang 2007-2016 di wilayah Jambi. Peneliti Klimatologi IPB, Akhmad Faqih, mengatakan terjadi peningkatan curah hujan di wilayah Barat.
ADVERTISEMENT
Sementara pada bagian Timur, intensitas hujan berkurang, namun panas terik menjadi lebih panjang dalam setahun. Dia pun menyimpulkan kenaikan suhu terjadi akibat pelepasan karbon yang besar di wilayah barat dan timur Jambi.
Sedangkan proyeksi curah hujan akan meningkat pada sepanjang 2020-2025. “Hampir sepanjang tahun terjadi hujan. Sebaliknya, di bagian Timur, nyaris tak diguyur hujan,” jelasnya.
Peningkatan suhu di Provinsi Jambi bagian timur, terjadi karena penurunan intensitas hujan pada dini hari hingga siang, serta tengah malam.
Tahun 1997 suhu di Jambi rata-rata 36,9 derajat yang naik menjadi 37,2 pada 1998. Pada 2013 suhu rata-rata 36,8 derajat, 2014 naik 36,9 dan 2015 naik menjadi 37,0 dan puncaknya pada 2016 suhunya menembus 37,3 derajat. Untuk angka tertinggi suhu mencapai 40 derajat.
ADVERTISEMENT
Apapun jenis penyakit yang terkandung di dalam tubuh anak-anak di Batanghari, semoga tidak mewabah kemana-mana. Kini, waktu begitu berharga bagi Wasiah dan Parizan. Mereka kini senantiasa berusaha membahagiakan puteri tercinta, Aulia.
“Selagi masih bisa (membahagiakan). Kami tidak tahu, kapan Aulia akan dipanggil Tuhan,” ujar Wasiah lirih. (Suwandi)