Masjid Agung Pondok Tinggi Berdiri Kokoh 145 Tahun Meski Tanpa Paku

Konten Media Partner
20 April 2019 21:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Masjid Agung Pondok Tinggi, Kota Sungai Penuh, Jambi. Foto: Yovy Hasendra
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Agung Pondok Tinggi, Kota Sungai Penuh, Jambi. Foto: Yovy Hasendra
ADVERTISEMENT
Jambikita.id - Masjid Agung Pondok Tinggi masih berdiri kokoh meski sudah berusia 145 tahun. Masjid tanpa paku yang kaya akan nilai sejarah kebudayaan ini dibangun pada tahun 1874 oleh masyarakat Pondok Tinggi secara swadaya pada masa itu.
ADVERTISEMENT
Masjid yang berada di Pondok Tinggi, Kota Sungai Penuh ini, banyak memiliki nilai sejarah yang bisa dipelajari. Bangunan masjid mengandung banyak filosofis, dari tiang hingga bangunan atap.
Menurut juru pelihara masjid, Jumadi, awalnya masjid ini bernama Masjid Pondok Tinggi. Ia juga bercerita jika bangunan masjid ini terdiri dari empat tiang utama. Dari tiang ke tiang diikat dengan pasak, tanpa ada satu paku pun yang digunakan.
Empat tiang utama atau yang disebut sebagai empat 'soko guru' itu melambangkan empat kekuasaan adat istiadat yang ada di Pondok Tinggi.
"Ada empat Rio (kesukuan) di Pondok Tinggi. Empat soko guru itu melambangkan empat ninik mamak di Pondok Tinggi. Yaitu, ninik mamak Rio Temenggung, ninik mamak Rio Patih, ninik mamak Rio Singaro, dan ninik mamak Rio Mendaro," kata Jumadi kepada Jambikita, Jumat (19/4).
ADVERTISEMENT
Diceritakan Jumadi, masjid ini dibangun secara gotong royong oleh masyarakat Pondok Tinggi. Di mana masyarakat pada masa itu menarik sendiri material kayu dari bukit untuk membangun masjid.
"Kalau kayunya itu ada kayu medang, ada medang batu. Kayu-kayu itu yang dijadikan tiang-tiang utama," ungkap Jumadi.
Kayu penopang tiang yang saling dipasak. Foto: Yovy Hasendra
Masjid Agung Pondok Tinggi, kata Jumadi, diresmikan oleh Wakil Presiden RI pertama, Muhammad Hatta, pada tahun 1953.
"Pada 1953 Bung Hatta berkunjung ke sini lewat pesisir selatan. Di sini belum masuk Provinsi Jambi. Waktu itulah diresmikan Bung Hatta menjadi Masjid Agung Pondok Tinggi," cerita Jumadi.
Jumadi menuturkan, bangunan masjid sendiri memiliki luas 30x30 meter. Dengan luas area masjid secara keseluruhan yakni 42x45 meter.
Masjid Agung Pondok Tinggi memiliki puncak batu. Puncak asli sejak awal berdiri bertahan hingga terjadinya musibah besar di Kerinci. Pada gempa 1995 yang melanda Kerinci puncak batu pun ikut jatuh, saat ini puncak batu diganti dengan batu yang diduplikat mirip dengan puncak asli.
ADVERTISEMENT
"Yang aslinya sampai sekarang masih ada. Masih dilestarikan. Puncak yang asli itu terbuat dari batu utuh yang dipahat. Kalau yang asli itu mengeluarkan cahaya biru pada saat malam hari," ungkap Jumadi.
Bentuk masjid ini sampai sekarang masih mempertahankan bentuk asli. Bahkan sejak awal dibangun masjid ini tidak mengalami renovasi yang berarti. Renovasi penting hanya dilakukan pada bagian atap bangunan.
Struktur tiang mesjid Agung Pondok Tinggi yang kokoh. Foto: Yovy Hasendra
"Kalau atap aslinya itu dari ijuk. Itu bertahan selama 25 tahun dan diganti dengan kayu sirap. Baru di tahun 1900-an diganti menggunakan atap seng," kata Jumadi.
Bangunan inti masjid masih tanpa menggunakan paku. Namun untuk bagian atap sendiri sudah menggunakan paku karena memang atap masjid sudah diganti dengan seng. "Penggunaan paku cuma di bagian atap. Kalau dulu cuma diikat," kata Jumadi menambahkan.
ADVERTISEMENT
Masjid ini masih efektif digunakan. Masyarakat setempat masih memakai masjid untuk melaksanakan salat 5 waktu dan salat Jumat. Bahkan untuk acara keagamaan lainnya, masyarakat setempat masih menjadikan masjid ini menjadi tempat utama untuk digunakan.
Masuk ke dalam bangunan masjid, jelas terlihat jika sentuhan budaya tradisional masih sangat melekat.
Ukiran-ukiran tangan masih bertahan di tiang-tiang dalam masjid. Di bagian dalam atas terlihat sebuah kotak yang dihubungkan dengan tangga. Di situlah azan dikumandangkan setiap masuk waktu salat. Kondisi itu masih dipertahankan hingga saat ini. (yovy)