Melihat Keharmonisan Manusia dan Sungai di Jambi Melalui Warisan Budaya

Konten Media Partner
17 September 2022 20:56 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perahu yang berada di Taman Sakat Lebung Panjang, Desa Jambi Tulo, Muaro Jambi. (Foto: M Sobar Alfahri/Jambikita)
zoom-in-whitePerbesar
Perahu yang berada di Taman Sakat Lebung Panjang, Desa Jambi Tulo, Muaro Jambi. (Foto: M Sobar Alfahri/Jambikita)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jambikita.id - Puluhan tahun silam, ketika sungai masih berperan sebagai jalan raya, perahu lesung menjadi alat transportasi utama bagi masyarakat Desa Jambi Tulo, Muaro Jambi, Jambi. Masa lalu ini masih tergambar jelas di benak Adi Ismanto (42), tokoh penggerak masyarakat sekaligus pegiat kebudayaan di desa tersebut.
ADVERTISEMENT
Perahu-perahu di kala itu mengitari sungai besar dan kanal yang tidak jauh dari barisan rumah panggung yang dihuni penduduk. Ketika air pasang terjadi, sungai dan alat transportasi tradisional ini semakin mendekatkan penduduk Desa Jambi Tulo karena memudahkan untuk bertemu.
“Ini berlangsung di bawah tahun 1990-an, saat jalan aspal belum dibangun. Hampir di semua rumah terparkir perahu. Kami menyebutnya perahu jalur (perahu lesung),” kata Adi Ismanto, Jumat (16/9).
Tidak hanya itu, perahu lesung turut digunakan untuk menangkap ikan yang hidup di Sungai Batanghari. Ada kalanya hasil tangkapan ini diolah dan dinikmati bersama-sama di tengah alam terbuka. Tradisi ini disebut dengan Makan Berawang. Dengan Makan Berawang masyarakat Desa Jambi Tulo mengkhayati pemberian alam.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan industri transportasi pada masa kini, penduduk Desa Jambi Tulo tetap menimbang kelestarian alam saat pembuatan perahu. Penduduk desa ini pantang menebang pohon yang masih muda dan sedang berbunga untuk pembuatan perahu, karena akan mengganggu kelestarian alam.
“Ini juga semacam konservasi orang zaman dulu. Jadi, kalau pohon ditebang, sedangkan pohon itu akan berbunga yang menjadi bibit, artinya bisa ratusan pohon yang ditebangkan. Ini sampai sekarang masih dijalankan di Jambi Tulo. Kita masih memegang keyakinan ini,” kata Adi.
Saking dekatnya dengan alam, ujar Adi, penduduk Desa Jambi Tulo mesti meminta izin kepada pohon yang ingin ditebangkan. Prosesnya dimulai dengan menancapkan kapak atau golok pada pohon tersebut. Setelah itu, barulah meminta izin dengan menuturkan kata-kata tertentu.
ADVERTISEMENT
“Mungkin ada mantranya juga. Kalau boleh ditebang, tandanya tancapan kapak atau golok tidak lepas dari pohon. Kalau tidak boleh ditebang, tancapan terlepas. Jadi, harus meminta izin dahulu, apalagi pohon yang ditebang akan digunakan untuk membuat perahu yang melintasi kehidupan,” ungkapnya.
Ketika jalan aspal dibangun sekitar tahun 1990, sebagian besar penduduk Desa Jambi Tulo mulai meninggalkan perahu tradisional, dan beralih menggunakan kendaraan bermotor. Namun, setidaknya warisan alat transportasi itu masih bisa ditemukan di Desa Jambi Tulo, termasuk di objek wisata Taman Sakat Lebung Panjang, yang menjadi tempat Adi dan kawan-kawannya melestarikan tanaman anggrek dan kebudayaan lokal.
Sungai Batanghari di Jambi tercemar. (Foto: M Sobar Alfahri/Jambikita)
Arkeolog senior bernama Bambang Budi Utomo (68) juga memiliki ingatan tentang keharmonisan manusia dan Sungai Batanghari. Pada tahun 1981, ketika mengunjungi Kota Jambi dan Muaro Jambi, Bambang melihat banyak penduduk berdarah bugis yang membuat kapal pinisi di pinggir Sungai Batanghari. Saat itu, pepohonan masih asri sehingga mendukung pembuatan kapal tradisional tersebut.
ADVERTISEMENT
“Dahulu hutan masih banyak. Orang bugis yang datang dari Sulawesi Selatan, mereka membuat permukiman, kemudian membuat membuat kapal pinisi. Kayu diambil di hutan yang ada di dekat situ,” ujarnya, Rabu (14/9).
Bahkan, di sekitar sungai yang terpanjang di Sumatera tersebut, Bambang sempat menemukan seorang ibu memandikan anaknya yang baru lahir. Memang, air Sungai Batanghari dahulu masih bersih.
“Tapi belakangan ini, tidak ada lagi. Mereka takut bayinya keracunan merkuri,” ungkapnya.
Peradaban Hindu-Buddha di Sekitar Sungai Batanghari
Jauh ke belakang, yakni masa klasik Hindu-Buddha, Sungai Batanghari memiliki peran yang besar hingga menjadikan sekitarnya sebagai pusat peradaban. Ini dibuktikan dengan temuan berupa perahu kuno, keramik, sisa permukiman kuno, arca, hingga kawasan percandian.
Buku berjudul “Kebudayaan Zaman Klasik Indonesia di Batanghari” mengungkapkan temuan-temuan arkeologis itu. Buku ini ditulis pada tahun 2011 oleh Bambang Budi Utomo yang masih aktif sebagai arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
ADVERTISEMENT
Bambang mengatakan Sungai Batanghari dahulu berperan sebagai jalur transportasi yang dilalui para pedagang dari berbagai bangsa. Lingkungan sekitar Sungai Batanghari juga mendukung manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini membuat wilayah di sekitarnya berkembang, sehingga timbul permukiman kuno.
“Di tepi sungai timbul permukiman kuno yang dideteksi dari tinggalan-tinggalan budayanya,” ujarnya kepada Jambikita.
Sisa permukiman kuno ditemukan di Situs Lambur, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Keadaan permukaan tanahnya datar karena dipengaruhi pasang surut air. Keramik dengan jumlah yang besar, pecahan kaca, perhiasan emas, dan sebagainya, terdapat di situs tersebut. Bahkan, di sekitar Situs Lambur juga ditemukan sisa perahu kuno.
Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, juga terdapat kawasan percandian, yakni Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muarajambi. Sebagai kawasan percandian yang terluas di Asia Tenggara, KCBN Muarajambi memiliki luas berkisar 3.981 hektare.
ADVERTISEMENT
KCBN Muarajambi eksis pada abad ke 7-12 Masehi. Saat itu berperan sebagai pusat pembelajaran filsafat dan agama Buddha.
Bambang menjelaskan pemilihan lokasi pembangunan candi ini juga menimbang kondisi lingkungan di sekitarnya. Apalagi lokasinya di pinggir sungai, sehingga strategis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan mudah dikunjungi orang-orang yang ingin belajar.
“Bangunan Candi Muara Jambi dibangun di atas tanggul alam. Kalau dibangun di atas tanggul alam, tidak kena banjir. Orang dahulu menyikapi lingkungannya seperti itu,” ungkapnya.
Bagi arkeolog senior tersebut, hubungan manusia dan Sungai Batanghari pada masa lampau terkesan selaras. Tidak ada eksploitasi lingkungan sehingga sungai ini selalu bersih.
“Mereka harmonis karena kesadaran butuh sungai, dan tinggal di pinggiran sungai. Tidak merusak,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Sungai Batanghari turut berperan penting menyukseskan ekspedisi Pamalayu, dan mempererat hubungan antar kerajaan. Pada suatu hari di tahun 1286 Masehi, rombongan Kerajaan Singosari berlayar melalui Selat Malaka hingga melewati Sungai Batanghari. Mereka membawa arca Amoghapasa Lokeswara untuk diserahkan kepada Raja Melayu Dharmasraya.
Setelah diterima, arca itu diletakkan di tempat suci. Ratusan tahun kemudian, yakni pada tahun 1880-an, arca ini muncul ke permukaan. Sedangkan kini arca tersebut menjadi koleksi Museum Nasional.
Sementara itu, Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan, Fitra Arda menyampaikan dahulu Sungai Batanghari menjadi penghubung para pedagang, dan menjadi sumber kehidupan. Tanpa Sungai Batanghari tidak ada KCBN Muarajambi.
“Memang candi itu selalu berdiri di pinggir sungai. Tidak hanya Candi Muara Jambi, candi di Dharmasraya juga sama. Jadi, sungai adalah sumber kehidupan selain lalu lintas,” katanya, kepada sejumlah awak media, usai acara peluncuran Kenduri Swarnabhumi di Kota Jambi, Minggu (14/8) lalu.
ADVERTISEMENT
Ia pun menyampaikan masyarakat yang hidup di masa kini perlu mempelajari hubungan antara manusia, budaya, dan sungai tersebut. "Kita semestinya membaca kembali Sungai Batanghari,” tuturnya.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan, Fitra Arda. (Foto: M Sobar Alfahri/Jambikita)
Keselarasan Terkikis, Sungai Batanghari Tercemar
Tidak seperti di masa lampau, keselarasan antara manusia dan Sungai Batanghari sedang terkikis. Akibatnya, air sungai ini tercemar hingga berbahaya bagi kesehatan.
Aktivitas penambangan emas liar dengan alat dompeng menjadi salah satu faktor pencemaran Sungai Batanghari. Cairan merkuri digunakan untuk memisahkan emas, lalu terbuang ke sungai. Ekosistem dan manusia di sekitarnya terus menerus terancam apabila ini tidak dihentikan.
“Lebih fatal lagi karena penambangan emas ilegal dengan dompeng. Tahun 2008 itu, mulai hulunya agak kemari dari Dharmasraya, itu ada banyak titik PETI (penambangan emas tanpa izin). Saat kami lewat di sana, pelakunya kabur, karena mengira kami patroli. Dulu di hulunya, sekarang di sungai kecil juga ada PETI,” ujar Bambang.
ADVERTISEMENT
Karena itu, Bambang tidak lagi melihat seorang ibu yang memandikan bayinya di Sungai Batanghari. Tradisi ini sudah hilang. Pencemaran Sungai Batanghari dapat dilihat secara kasat mata.
“Mereka takut bayinya keracunan merkuri. Dianggap sungai itu sudah kotor. Tak perlu ambil sampel untuk uji lab, masyarakat juga sudah tahu bahwa sungai ini sudah tercemar,” ujarnya.
Berdasarkan jurnal berjudul "Distriusi Pencemaran Merkuri di DAS Batanghari" yang ditulis Dewi Ratnaningsih dkk, memang terdapat indikasi bahwa merkuri dan sedimen tersebar di Sungai Batanghari.
"Merkuri di air sungai memang berfluktuasi pada kisaran <0,0005- 0,0645 mg/L, sedangkan sedimen sungai terdeteksi dengan kisaran 0,01 - 0,42mh/kg," tulis Dewi Ratnaningsih dkk dalam jurnal yang terbit pada tahun 2019 tersebut.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini diakui oleh Gubernur Jambi Al Haris. Ia mengatakan indeks kualitas air Sungai Batanghari berada di angka 48,9 poin.
“Sungai Batanghari kotor karena adanya penambangan emas ilegal. Lalu adanya kebiasaan yang masih membuang sampah di sungai. Masih ada pula yang BAB di sungai. Di semak-semak daerah hulu itu digali pakai ekskavator hingga akhirnya sungai kita keruh,” ujarnya kepada sejumlah awak media, usai festival peluncuran Kenduri Swarnabhumi di Kota Jambi, Minggu (14/8) lalu.
Padahal, sungai ini masih penting bagi masyarakat. Air baku utama yang digunakan sebagian besar PDAM di Provinsi Jambi berasal dari Sungai Batanghari.
Mengingat Keselarasan dengan Alam Melalui Kenduri Swarnabhumi
Gubernur Jambi, Al Haris mengatakan warisan kebudayaan yang selaras dengan Sungai Batanghari harus dikembalikan. Karena itu pula, Kenudri Swarnabhumi digelar oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) bersama 14 pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
“Yang jelas, budayanya kita pertahankan terus. Sejarah budaya ini kita gali. Kemudian sungainya yang menjadi tempat awal sejarah, kita ingin ini kembali bening. Mudah-mudahan ini bisa menjadi kenyataan, dan menggerakan orang-orang untuk menjaga sungai yang merupakan sumber kehidupan kita,” ujarnya.
Ia pun mengatakan Kenudri Swarnabhumi menunjukkan Provinsi Jambi dan Sumatera Barat terhubung melalui sungai. “Kedua provinsi ini yang ditandai dengan aliran Sungai Batanghari yang hulunya bermula di Kabupaten Solok Selatan dan hilirnya berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi, dengan panjang 800 kilometer,” ujarnya.
Sementara itu, Bupati Dharmasraya Sutan Riska Tuanku Kerajaan menyampaikan Festival Kenduri Swarnabhumi tahun ini bisa menjadi sebuah edukasi tentang sejarah.
“Kita belajar bagaimana dulunya para pendahulu kita bisa membawa budaya kita sampai ke Cina, Thailand dan lainnya. Ini yang selalu ditularkan pada kita yang ada di Dharmasraya,” ujarnya, Jumat (19/8), dikutip dari Langkan partner kumparan.
ADVERTISEMENT
Penulis dan Editor: M Sobar Alfahri