Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Jambikita.id - Deretan rumah papan beratap seng tampak menua dan rapuh. Dari rumah kecil muncul Perempuan tua dengan langkah gemetar menuruni anak tangga. Kulitnya bewarna hitam dan keriput dengan sorot mata yang lemah. Semburan senyumnya indah bercampur lelah.
ADVERTISEMENT
Perempuan tua itu bernama Yusnani. Tinggal di tepi hutan dekat Desa Tanjung Lebar, Kabupaten Muaro Jambi. Sebuah tempat hamparan sawit transmigrasi. Dia pun kecipratan berondol atau buah sawit yang terjatuh saat dipanen. Dalam sehari sekitar 5 kilogram terkumpul, dengan harga seribu sekilo.
Sayangnya, panen tidak setiap hari. Jika sedang tidak memutik berondol, dia ke hutan untuk mencari makanan atau ke sungai mencari ikan.
"Saat tidak punya uang belanja, aku pergi ke hutan, memetik pucuk rotan dan itulah yang dimakan dengan garam," kata Yusnani dengan bening kristal menumpuk di sudut matanya, Selasa (21/7/2020) lalu.
Ia menarik nafas dalam-dalam, saat membayangkan nasib cucunya ke depan. Sebab hutan adat telah hilang. Mereka nantinya, kata Yusnani bertahan hidup tanpa ladang dan pendidikan. Sekarang saja sudah menderita.
ADVERTISEMENT
Depati Kubu Lalan yang juga menantu Yusnani, Jupri menceritakan Suku Anak Dalam (SAD) atau Kubu Lalan sangat kesulitan mencari makan. Selain dilarang membuka ladang oleh pemerintah, aparat kepolisian dan perusahaan. Mereka mengaku takut keluar dari hutan karena pandemi COVID-19.
Ketakutan kepada COVID-19 membuat mereka di rumah. Mereka ragu memakan satwa liar hasil buruan. Kabar angin mengatakan hewan membawa virus. Kemalangan kian menyayat, kala babi hutan tak laku di pasaran. Pekerjaan pun bergantung mencari ikan.
Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas bernasib serupa. Mereka kesulitan mencari pangan saat pandemi COVID-19.
Direktur KKI Warsi, Rudi Syaf menuturkan untuk menghindari COVID-19, Orang Rimba menjalani tradisi besesandingon. Besesandingon adalah tradisi menjaga jarak Orang Rimba dengan masuk jauh ke dalam hutan dan tidak berinteraksi dengan orang asing.
ADVERTISEMENT
Saat besesandingon Orang Rimba terbelah dalam tiga tempat, yakni hutan TNBD, perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Semua tetap bergantung dengan alam. Hidup dari berburu dan meramu. Sedikit kelompok yang bercocok tanam sederhana.
Saat berada dalam hutan, sambung Rudi, Orang Rimba masih mampu memenuhi pangan, dengan memakan gadung dan ubi. Kalau ubi tinggal direbus. Tetapi kalau gadung harus diolah tiga hari di darat dan tiga hari dalam air. Apabila salah mengolah maka akan keracunan atau mabuk gadung.
Sebagian besar Orang Rimba tinggal di kebun sawit dan hutan tanaman industri. Nah, tempat ini miskin sumber pangan. Ditambah hasil buruan tidak laku. Mereka hanya bergantung pada penjualan karet. Harganya itu Rp2.000-3.000 per kilogram.
ADVERTISEMENT
Ditolak Pemda
Sore itu, pertengahan bulan Juli, panas menyengat. Arief Munandar, Kepala Dinsos dan Dukcapil Provinsi Jambi menolak usulan Orang Rimba masuk dalam daftar penerima bantuan, skema Jaminan Pengaman Sosial (JPS) produk pemerintah daerah.
“Tidak bisa. Usulan yang masuk kita tolak. Kita telusuri betul, ini ia punya NIK atau tidak. semua ada aturan. Dalam penyaluran JPS kita dipantau inspektorat dan aparat hukum,” kata Arief.
Penyaluran bantuan ke masyarakat umum memang ada yang tumpang tindih. Begitu banyak bantuan yang mengalir ke masyarakat. Secara aturan mereka memang berhak, karena memiliki NIK. Berbeda dengan Orang Rimba yang belum mengantongi NIK.
Ia juga mengakui bantuan dari Pemda mengalami gagal salur 457 orang. Kegagalan ini karena banyak penerima yang dobel dengan bantuan dari pemerintah pusat. Penerima tidak berani lalu mengembalikan ke pemerintah desa setempat.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya gagal salur, bantuan pemerintah daerah yang berhasil disalurkan hanya 27.731 orang dari kuota yang dianggarakan sebesar 30.000 orang. Selisihnya cukup besar memang, sambung Arief.
Sebenarnya Arief mau memecah bantuan dan menyalurkan ke Orang Rimba. Dampak dari gagal salur dan tidak terpenuhi kuota bantuan pemerintah daerah, paket bahan pangan mulai rusak, karena sudah sebulan ditumpuk di gudang Bulog. Hanya saja dia menunggu Orang Rimba memiliki NIK.
“Kalau Orang Rimba yang ada di Jambi ini punya NIK. Tentu pemerintah daerah dengan senang hati mau membantu. Kalau belum kan repot. Kita tidak tahu juga mereka ada dimana,” katanya dengan tegas.
Bantuan Terganjal KTP
Negara memang membantu rakyat saat pandemi COVID-19. Tetapi Jupri dan keluarga belum menerima bantuan. Meskipun mereka merasa tidak pantas menerima bantuan, karena tinggal di hutan tanpa adanya indentitas.
ADVERTISEMENT
“Banyak diantara kami yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP),” katanya.
Kubu Lalan tersebar di sepanjang Sungai Lalan, Sungai Muaro Badak, Sungai Beruang dan Tigo Limo. Sebagian besar memang tidak memiliki KTP.
"Kami rasanya tidak dianggap pemerintah ada. Dimusuhi perusahaan saja, mereka (pemerintah) diam. Apalagi mau kasih bantuan," kata Jupri menegaskan.
Kendati merasa tidak diperhatikan pemerintah, Jupri mengaku kalau pemerintah mau memberikan bantuan, dia dan 300 KK SAD yang berada dalam naungan adat Kubu Lalan, akan senang hati menerimanya.
Tentu akan membantu ekonomi mereka, yang tengah kesulitan mencari makan.
Mangku Kubu Lalan, Rusdi juga mengharapkan bantuan pemerintah. Dia yang menghidupi sembilan orang anak, benar-benar kesulitan untuk mencari makan. "Kami makan ubi setiap hari. Beras itu jarang-jarang. Karena harganya mahal dan kami tidak punya uang banyak," kata Rusdi lirih.
ADVERTISEMENT
Persoalan bantuan yang terganjal identitas ini, mengetuk pintu hati Rudi Syaf. Pentolan lembaga yang puluhan tahun mendampingi Orang Rimba. Dia menyebutkan KKI Warsi mendorong agar Orang Rimba mendapat bantuan.
Pengajuan sempat ditolak karena terganjal Nomor Induk Kependudukan (NIK). Sementara pemerintah belum serius menangani legalitas Orang Rimba.
Sejak Indonesia merdeka, sebagian besar Orang Rimba belum memiliki NIK dan KTP. Sebabnya adalah mereka tidak terikat dengan desa. Kondisi ini menjadi kendala dalam pencatatan administrasi.
Selanjutnya, tradisi melangun atau tidak menetap permanen pada suatu wilayah saat ada kematian. Pemerintah jadi kesulitan mengakses Orang Rimba.
Alasan lain adalah untuk mencari makan, Orang Rimba berburu dan meramu. Jadi mereka terus berpindah mencari tempat yang mudah mendapatkan makanan.
ADVERTISEMENT
Persoalan kolom agama sempat menghambat Orang Rimba mendapatkan KTP. Orang Rimba penganut kepercayaan Bedewo. Enggan juga mereka disuruh mengaku salah satu agama, selain kepercayaan Bedewo. Ada juga yang terpaksa demi punya KTP, dalam kolom agama, mereka mau ditulis Islam atau Kristen.
“Setelah aturan agama ke tujuh, penghayat kepercayaan sudah tidak ada kendala. Tapi kadang tetap ada masalah di lapangan. Petugas ada yang kurang paham soal aturan ini. Mereka tetap mengalami diskriminasi,” kata Rudi menjelaskan.
Pemerintah sendiri juga kadang dihalangi jarak tempuh untuk mengakses Orang Rimba. Pasalnya untuk mendapatkan KTP, Orang Rimba harus menjalani perekaman. Tentu alat-alat itu, akan sulit dibawa berkeliling dalam rimba.
Perlu Jemput Bola
Dengan beragam persoalan yang menghalangi terdatanya jumlah Orang Rimba, Rudi berharap pemerintah jemput bola dan adaptif. Artinya pemerintah mendatangi Orang Rimba untuk merekam dan mengambil data.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk urusan alamat, pemerintah juga harus adaptif. Jangan lagi berbasis desa. Memang harus khusus. Rudi mencontohkan Orang Rimba bisa beralamat sesuai nama sungai tempat mereka bermukim, seperti Makekal, Kedudung Muda, Sako Lado dan Terap.
Menurut Rudi, hampir empat bulan Orang Rimba kesulitan mencari makan. Mereka menunggu bantuan datang namun malah terganjal aturan. Besar kemungkinan akan ada bahaya kelaparan. Akhirnya Rudi menggedor pintu Kementerian Sosial dengan mengajukan ribuan nama Orang Rimba.
Bantuan harus segera dikucurkan demi nyawa. Aturan bisa menyusul kemudian.
Gayung bersambut. Direktur Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) Kemensos, La Ode Taufik juga sedang bergegas.
Ia hendak mengikuti arahan Mensos sesuai titah Presiden Joko Widodo, bahwa untuk penerima Bantuan Sosial Tunai (BST) di wilayah sulit dan terisolir. Harus dipermudah dan jangan dipersulit.
ADVERTISEMENT
Untuk mengucurkan dana BST ke Orang Rimba, La Ode pun mengabaikan syarat dari pemerintah. Yakni penerima bantuan merupakan penduduk yang tercatat dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kemensos.
Sedangkan Orang Rimba tanpa NIK dan tidak bisa tercatat di DTKS.
Apalagi Orang Rimba adalah kelompok rentan, sesuai petunjuk presiden. Maka terbit ID Sementara bagi Orang Rimba. Sehingga bisa diberi bantuan COVID-19.
Sebelum KKI Warsi bergerak untuk menyampaikan data Orang Rimba yang berhak dibantu sesuai by name by address (BNBA). La Ode sudah menyurati seluruh dinas sosial provinsi daan kabupaten. Agar menyampaikan data, namun itu tidak dilakukan.
“Sampai akhir waktu. Belum ada daerah yang merespon surat itu. Dan mengirim nama-nama. Alasan daerah terkendala kebijakan PSBB. Untung saja Warsi ngasih data, jadi Orang Rimba bisa dibantu,” kata La Ode Taufik, Selasa 21 Juli 2020.
ADVERTISEMENT
Setelah data dikirim Warsi, La Ode pun berunding dengan Ditjen Penanganan Fakir Miskin (PFM) dan Pusat Data Informasi (Pusdatin) Kemensos. Maka sepakat SAD yang diberi bantuan sesuai usulan adalah Talang Mamak 47 Orang, Batin Sembilan 65 dan Orang Rimba 1.229 jiwa.
Pemberian bantuan kepada Orang Rimba memang terkesan melanggar aturan. Yakni bantuan diberikan kepada orang tanpa NIK. Meskipun begitu, proses administrasi tetap berjalan. La Ode mencontohkan sebelum turun bantuan, Dirjen Dayasos menyurati Dirjen Adminduk Kemendagri. Sehingga pencatatan penduduk KAT di Jambi bisa difasilitasi.
Jauh sebelum surat menyurat di pusat, Direktorat Pemberdayaan KAT sudah menyurati dinas kependudukan setempat, lalu ditembuskan ke tiap Bupati. Agar proses NIK dan input data ke Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial Next Generation (SIKS-NG) dilakukan daerah. Dengan demikian semua berjalan secara paralalel, baik di daerah maupun pusat.
ADVERTISEMENT
Setelah semua administrasi terpenuhi, Setditjen PFM, Direktorat PKAT, Dinsos Dukcapil Jambi, Kantor Pos Jambi, dan KKI Warsi Jambi melakukan koordinasi untuk menentukan jadwal penyaluran BST ke kelompok Orang Rimba Jambi. Maka disepakati 17-18 Juli 2020 secara serentak.
Proses penyaluran melalui PT POS Indonesia, mereka menggunakan ID Sementara berbasis BNBA. Saat penyaluran itu mereka turun langsung ke lokasi Orang Rimba, yakni di kantor lapangan KKI Warsi.
“Jumlah SAD yang mendapat BST, yang telah ditetapkan Pusdatin sebanyak 1.341 KPM. Sementara yang diajukan 1.373 KPM. Jadi ada selisih 32 KPM mungkin karena dobel data. Besaran bantuan yang dikucurkan Rp2,4 miliar,” kata La Ode menegaskan.
Masing-masing orang menerima Rp1,8 juta untuk tiga bulan sekaligus. Setelah mereka menerima BST, La Ode berharap dokumen kependudukan dirampungkan tahun ini. Maka tugas instansi terkait di daerah sangat penting.
ADVERTISEMENT
Bantuan untuk Makan
Menti Sungai Terab, Ngelembo menyebutkan bantuan yang diterima digunakan untuk membeli bahan makanan. Selama pandemi dia mengaku hanya makan rebus ubi. “Kami akan gunakan bantuan untuk beli beras,” kata Ngelembo.
Hal senada disampaikan Tumenggung Ngamal, pimpinan Orang Rimba yang berdiam di Sako Lado. Katanya sejak pandemi anggota kelompoknya makin jauh masuk ke dalam hutan. Di dalam hutan bahan pangan mereka adalah gadung, benor dan umbut-umbut rotan.
Gadung harus diolah dengan teliti. Prosesnya diiris tipis, direndam pada air mengalir, lalu dijemur. Baru kemudian bisa dimasak. Salah dalam mengolah menyebabkan mabuk gadung. Rasanya kepala pusing, leher terasa terbakar bahkan pingsan sampai berjam-jam.
Untuk memasak benor, Orang Rimba harus menggali tanah sedalam dua meter. Kalau untung dapat umbinya. Buahnya itu sebesar jempol kaki. Seharian menggali paling banter baru dapat seperiuk.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan Orang Rimba mengonsumsi satwa liar pun ditinggalkan. Untuk menghindari penularan COVID-19.
Dengan adanya bantuan ini Orang Rimba merasa sangat tertolong. Kebanyakan mengunakan uang bantuan untuk membeli beras.
Sisa Bantuan Buat Melangun
Ia berharap setelah dibelanjakan bahan makanan, masih tersisa untuk persiapan melangun. Menurutnya, tidak lama lagi, akan memasuki musim kemarau. Mereka harus kembali bersiap menghadapi kekurangan makanan.
Saat musim kemarau, buah-buahan sulit ditemukan. Sumber air bersih itu menjadi sedikit. Ancaman seriusnya adalah kebakaran. Itulah yang ditakutkan Ngamal.
Sisa dana bantuan tentu dapat digunakan mencukupi kebutuhan selama melangun. Perpindahan dari satu hutan, ke hutan lain, untuk mencari sumber makanan yang cukup. Selain itu, agar lebih dekat dengan sumber air bersih.
ADVERTISEMENT
“Bantuan ini mudah-mudahan cukup untuk makan. Habis itu buat melangun. Karena musim kemarau bisa terjadi kebakaran hutan,” sebut Ngamal.
Selanjutnya, Rudi Syaf dari Warsi menegaskan sebagian Orang Rimba berpikir menghadapi musim kemarau, yang kadang disertai dengan kebakaran lahan, kekeringan air dan kesulitan mencari makan.
Kemarau akan membuat Orang Rimba melangun. Tentu apabila belum habis untuk belanja makan. Dana bantuan juga akan digunakan Orang Rimba menghadapi kebakaran hutan. Musim kemarau yang panjang berpotensi membuat Orang Rimba kelaparan.
Pada kebakaran tahun 2015, sebanyak 11 Orang Rimba meninggal dunia karena kekurangan bahan makan dan terbatasnya sumber air bersih. Kebakaran dan kabut asap pada saat itu, membuat Orang Rimba melangun sampai ke Riau. Mereka menempuh jarak ratusan kilometer.
ADVERTISEMENT
Rudi berharap bantuan kepada Orang Rimba dilanjutkan. Artinya tidak hanya tiga bulan. Sebab mereka tidak hanya melawan korona, melainkan menghadapi musim kemarau dan terancam kebakaran hutan.
Tidak hanya ditambah dari 3 bulan menjadi 6 bulan. Jumlah penerima bantuan juga ditambah. Pemerintah daerah diminta menyisir Orang Rimba yang belum menerima bantuan. Warsi juga akan terus melakukan pendataan.
Orang Rimba Banyak Tak Tersentuh
La Ode mengakui jika masih banyak Orang Rimba yang berada di Jambi yang tak tersentuh dan belum menerima bantuan. Sebab data pada 2017 lalu, jumlahnya di Jambi sebanyak 6.423 KK. Dari jumlah tersebut 4.326 KK sudah diberdayakan melalui program pemberdayaan. Sehingga tersisa 2.097 KK yang belum diberdayakan.
“Kita tetap membuka pintu. Kalau ada pihak yang ingin mengajukan lagi seperti Warsi, untuk Orang Rimba yang tidak punya NIK atau yang sudah tapi belum mendapatkan bantuan. Kita akan proses. Selama ada data BNBA lengkap,” kata La Ode menjelaskan.
ADVERTISEMENT
Ia meyakini apabila dinas di daerah memiliki komitmen membantu Orang Rimba, tentu proses akan dipermudah. Dokumen kependudukan itu hak sipil, wajib dipenuhi pemerintah tanpa kecuali.
Kendati demikian, tidak boleh juga dobel, artinya validitas data tetap berjalan, bagi Orang Rimba yang telah menerima bantuan dari tempat lain, tentu tidak bisa diajukan lagi.
Ketika ditanya terkait jaminan penerima bantuan tidak dobel dalam satu KK atau fiktif, La Ode menegaskan kita harus saling percaya di masa pandemi ini. Selagi orangnya ada dan memang membutuhkan bantuan, maka kita harus kerja cepat.
Ia menyebutkan masih ada Orang Rimba yang belum mendapat bantuan, karena saaat pendataan ada yang melangun atau tidak berada di kelompoknya. Untuk mengantisipasi itu, maka tetap dibutuhkan bantuan dari pihak lain.
ADVERTISEMENT
Kucuran bantuan bukan hanya tanggung jawab Kemensos. Pemerintah daerah seharusnya yang paling mengerti Orang Rimba. Ketakutan pada aturan bukanlah alasan untuk ‘menghilangkan’ Orang Rimba dari pandangan mata.
Mereka berada di sekitar kita. Kelompok rentan yang saban hari terancam kelaparan. Entah sampai kapan Yusnani dan cucunya bertahan dalam kesulitan mencari makan. Bertahan hidup tanpa ladang. Makan pucuk rotan dengan garam. (suwandi)
Liputan ini adalah hasil fellowship transparansi anggaran COVID-19 bersama AJI Indonesia dan UNESCO