Konten Media Partner

Nasib Orang Rimba Kala Perubahan Iklim: Kehilangan Hutan dan Terancam Penyakit

27 Agustus 2023 18:28 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mijak Tampung mengungkapkan Orang Rimba kesulitan di tengah perubahan iklim. (Foto: Istimwa)
zoom-in-whitePerbesar
Mijak Tampung mengungkapkan Orang Rimba kesulitan di tengah perubahan iklim. (Foto: Istimwa)
ADVERTISEMENT
Mijak Tampung, tokoh Orang Rimba, menghadiri kegiatan yang diadakan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Jambi di Taman Budaya Jambi, Sabtu (26/8). Ia duduk sejajar dengan Juliana yang juga Orang Rimba, Tumenggung Ngalo, dan Kepala Balai Taman Nasional Bukit Dua Belas Junaedi.
ADVERTISEMENT
Berhadapan dengan ratusan anak muda, Mijak kala itu menceritakan nasib Orang Rimba yang bertahan di tengah perubahan iklim. Orang Rimba kehilangan hutan dan sebagian dari mereka telah dilanda berbagai penyakit.
“Bulan ini ada dua anak Orang Rimba yang meninggal karena TB di Batanghari. Sekarang penyakit di Orang Rimba lebih banyak, bukan batuk, pilek saja,” ungkapnya.
Ia pun mengatakan kehilangan hutan mengakibatkan Orang Rimba sulit mempertahankan kebudayaannya. Mereka terpaksa keluar hutan dan beradaptasi dengan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di tengah masyarakat modern.
“Hutan tidak bisa menyediakan hidup lagi, karena masuknya perusahaan di wilayah-wilayah adat Orang Rimba , untuk Orang Rimba Bahagia setiap musim buah tiba dan mendapatkan apa pun dari hutan, itu sudah berubah,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Mereka terlibat dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik di luar ruang hidup aslinya. Perubahan ini tentu tidak mudah bagi Orang Rimba. Terlebih lagi stigma yang mereka hadapi.
Sementara itu, Jaiharul Maknun, Project Officer KKI WARSI mengatakan dampak perubahan iklim pada Orang Rimba sangat tinggi. Berdasarkan penelitian kolaborasi yang dilakukan KKI WARSI dan peneliti, menunjukkan Orang Rimba dilanda beberapa penyakit yang tidak mampu ditangani secara tradisional, yakni malaria, demam berdarah, TB dan hepatitis.
Maknun pun mengatakan perubahan iklim turut mengancam Orang Rimba kehilangan sumber makanan. Madu hutan, hewan buruan, buah jernang, rotan manau, dan damar, sudah sulit ditemukan oleh masyarakat adat ini.
Karena itu, inklusivitas (penerimaan) Orang Rimba atau yang disebut Suku Anak Dalam menjadi penting dalam dukungan terhadap komunitas adat ini menjawab persoalan perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Pendampingan dan pemberdayaan menjadi upaya untuk membantu mempersiapkan mereka bisa berbaur, memiliki kapasitas, keterampilan, kemampuan beradaptasi, dan memastikan negara hadir dengan memenuhi hak-hak Orang Rimba sebagai warga negara.
CEO Pundi Sumatera, Dewi Yunita Widiarti menyampaikan pemberdayaan bukan menjauhkan Orang Rimba dari adat dan tradisi, justru menguatkan kelompok ini kembali dengan kemandirian.
“Mendapatkan hak-hak dasar sebagai warga negara melalui layanan adminduk, kesehatan, Pendidikan dan pengembangan ekonomi. Ini hak mereka yang harus negara berikan. Bukan berarti menjauhkan mereka dari identitas dan akar budaya. Lokasi dampingan yang kami pilih juga di kelompok-kelompok yang memang sudah memilih untuk menetap,” katanya.
Ada beberapa proses penerimaan yang sudah dijalani komunitas tersebut yang di antaranya pengakuan hak identitas sebagai warga negara, pendidikan, kesehatan, keterlibatan suara politik dan diskusi kebijakan, pelindungan budaya, pemberdayaan ekonomi, dan pengakuan kearifan lokal terhadap alam .
ADVERTISEMENT
Taman Nasional Bukit Duabelas sebagai rumah bagi Orang Rimba juga tidak mampu mengambil peran dan tanggung jawab sesuai dengan mandat SK No. 258/Kpts-II/2000 sebagai sumber penghidupan Orang Rimba.
Kepala Balai Taman Nasional Bukit Duabelas, Junaedi menegaskan butuh kerja sama pemerintah, masyarakat, organisasi non-pemerintah, dan komunitas itu sendiri.
“Kita butuh kolaborasi bersama untuk menjawab tantangan Orang Rimba atau Suku Anak Dalam dalam menghadapi perubahan iklim lokal maupun global. TNBD memang rumah bagi Orang Rimba dan kita menghargai praktik kearifan lokal dalam pengaturan dan penggunaan ruang. Adaptasi ini kita masuk dalam zonasi TNBD,” katanya.
Semua ini disampaikan dalam serangkaian kegiatan yang diadakan PFI Jambi, yakni pameran foto jurnalistik bertemakan "Masyarakat Adat di Tengah Perubahan Iklim", workshop, seminar, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
"Melalui pameran ini, kami mengajak semua pihak untuk bersatu mengatasi masalah perubahan iklim dan memelihara ekologi serta budaya masyarakat adat," kata Ketua PFI Jambi, Irma Tambunan.
Ia pun mengatakan pameran foto jurnalistik itu merupakan hadiah dalam perayaan hari masyarakat adat. Para jurnalis foto di Jambi telah memperhatikan situasi masyarakat adat di tengah perubahan iklim yang semakin meruncing.
"Kepedulian ini tercermin dalam karya-karya foto yang kami tampilkan, menggambarkan kehidupan masyarakat adat di Jambi," katanya.
(Sobar Alfahri)