Panggil Kami Orang Rimba

Konten Media Partner
25 Januari 2020 12:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pengajar dari Sokola Rimba bersama beberapa anak orang rimba dalam diskusi dan bedah buku di Kopi Broyat. Foto: Yovy Hasendra
Jambikita.id - "Kami tidak mau disamakan dengan mereka yang tinggal di persawitan. Kami lebih senang dipanggil orang rimba" kata Perbal salah seorang anak orang rimba.
ADVERTISEMENT
Perbal itu orang rimba yang mendiami hutan di lanskap Bukit 12. Dia merasa identitas yang kerap dilabelkan masyarakat luar kepada mereka bukanlah yang mereka inginkan. Mereka tidak nyaman dengan identitas yang dilekatlan masyarakat terhadap mereka.
Ada banyak panggilan untuk kelompok orang rimba. Suku Anak Dalam (SAD) dan Komunitas Adat Terpencil (KAT) adalah beberapa diantaranya. Pun mereka sering dipanggil Sanak, bahkan kubu.
Namun, dalam diri orang rimba sendiri, panggilan-panggilan itu tidak membuat mereka nyaman. Panggilan-panggilan itu seolah mengeneralkan semua kelompok.
"Kadang dipanggil sanak, kadang dipanggil kubu. Kami tidak suka dipanggil itu. Kami tidak mau disamakan dengan mereka yang tinggal di persawitan. Kami lebih senang itu dipanggil orang rimba," kata Perbal, Selasa (21/1).
ADVERTISEMENT
Aditya Dipta Anindta yang sering dipanggil Andit soal panggilan untuk orang rimba mengatakan, penyebutan seperti SAD memang penyebutan orang luar. "(Mereka) merasa lebih pintar dan merasa pantas melabeli mereka. Itu tidak hanua terjadi pada orang rimba tapi juga terjadi pada masyarakat adat yang lain," kata Indit yang sudah belasan tahun mendampingi Orang Rimba Bukit Dua Belas.
Menjadi guru atau tenaga pendidik bukan berarti menggurui atau menjadi orang yang lebih pintar dari yang dididik. Indit mengatakan kalau mereka Sokola Institut ingin memberikan pengetahuan yang cukup bagi anak orang rimba.
Pendidikan di Sokola katanya bukan untuk membuat orang rimba tetap di rimba atau jadi orang luar dan pergi ke luar.
ADVERTISEMENT
Tapi memberi pengetahuan yang cukup, sehingga mereka memiliki informasi yang cukup untuk membuat pilihannya dan mengetahui hak-hak mereka sendiri. Berikut pula konskuensi atas pilihan mereka. "Kalau mau di rimba harus menjaga rimba. Kalau ke luar, kamu harus memiliki keahlian seperti orang luar," Indit.
Dila, salah seorang guru di Sokola Rimba yang bergerak bersama Indit juga tidak merasa lebih pintar dari orang rimba. "Kita nggak bisa memintarkan mereka. Kita datang kesana mau membantu memecahkan masalah, bukan berarti kita punya. Kita punya jaringan di luar mereka kuat di dalam. Masalahnya apa, dibuat kurikulum sama-sama rembugan dari guru, kader sama orang tua kemudian menyusun sendiri masalahnya apa dan kegiatan mengarah kemana," kata Dila.
ADVERTISEMENT
Seperti yang dikatakan guru dari Sokola Rimba, mereka mengajar Orang Rimba tidak membuat orang rimba tetap di rimba atau sebaliknya ke luar. Perbal (Orang Rimba) juga berpikir demikian, dia mungkin merasa belum perlu untuk ke luar. Karena menurut dia, kehidupan orang luar jauh lebih sulit dari mereka yang di rimba.
" Kami merasa hidup orang luar itu sulit. Sehingga kami tidak mau hidup di luar. Kalau di luar mau makan daging harus beli, makanan makanan harus beli. Kalau kami, ambil parang pergi ke hutan se-jam saja karung-karungan dapatnya," kata Perbal.