Ribuan Orang Rimba di Jambi Terancam Tak Punya Hak Pilih saat Pemilu

Konten Media Partner
2 April 2019 14:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Pemilu. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilu. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
ADVERTISEMENT
Jambikita.id - Ada ribuan Orang Rimba (Suku Anak Dalam di Jambi) yang terancam tidak ikut serta menyalurkan suaranya dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, karena belum terdaftar di DPT dan tentu saja buta aksara.
ADVERTISEMENT
Mereka tergolong kelompok yang belum terbebas dari buta aksara karena jauh dari akses pendidikan terancam kehilangan hak pilih secara independen.
Kondisi Orang Rimba yang buta aksara membuat posisi mereka rentan diintervensi maupun intimidasi dalam memilih, bahkan sampai ke bilik tempat pemungutan suara (TPS).
"Kita sangat menghormati hak-hak pemilih dari kalangan masyarakat adat. Jika kondisinya buta aksara, secara aturan boleh didampingi orang kepercayaan yang bersangkutan," kata Nur Kholik, Komisioner KPU Provinsi Jambi, Senin (1/4/2019).
Hanya saja, kata Kholik, apabila orang yang dipercaya, misalnya keluarga atau teman, kemudian membongkar pilihan setelah keluar dari TPS, maka ada pidana sesuai aturan yang berlaku.
Untuk itu, Kholik meminta agar seseorang yang diminta Orang Rimba untuk melakukan pendampingan, harus menjunjung tinggi asas Luber Jurdil (langsung, umum, bebas rahasia, jujur, dan adil). Jangan sampai Orang Rimba diintervensi atau dipengaruhi pilihannya.
ADVERTISEMENT
"Tidak boleh dipengaruhi. Biar mereka menentukan sendiri. Pendamping hanya membantu menerjemahkan apa yang ada di surat suara," kata Kholik.
Manager Komunikasi KKI Warsi Jambi, Sukma Reni, meragukan Orang Rimba dapat menggunakan hak pilihnya secara independen. Kondisi Orang Rimba sebagian besar buta aksara dan minim pendidikan politik.
Berdasarkan data yang dihimpun dari KPU, jumlah Orang Rimba yang masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 1.200 orang. Dengan jumlah itu, tidak semua Orang Rimba dewasa masuk DPT, karena belum melakukan perekaman KTP elektronik.
Anggota kelompok Orang Rimba membeli buah yang dijual pedagang keliling di permukiman Orang Rimba, Pelepat, Bungo, Jambi. Foto: ANTARAFOTO/WAHDI SEPTIAWAN
"Jumlahnya mencapai 5.200 orang. Separuh lebih Orang Rimba tidak bisa menggunakan hak pilihnya," lanjut Sukma Reni.
Oleh karena sulitnya medan dan tingginya mobilitas Orang Rimba, petugas lapangan dari penyelenggara pemilu jadi tidak dapat menjangkau Orang Rimba.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Orang Rimba yang telah masuk DPT juga kesulitan menggunakan hak pilihnya.
Sistem pemilihan yang diberlakukan penyelenggara pemilu memang tidak ramah kepada Orang Rimba, khususnya kelompok penyandang buta aksara. "Mereka pasti (butuh) pendamping. Dan pilihan Orang Rimba menjadi rentan dipengaruhi," tegas Reni.
Reni mengatakan, banyaknya kertas suara--sampai lima lembar--belum lagi banyaknya partai dan nama-nama caleg tanpa gambar, dapat memicu kebingungan pada Orang Rimba yang rata-rata tidak bisa membaca.
Tidak hanya itu, Orang Rimba juga kurang mendapatkan pendidikan politik, terutama yang menyangkut latar belakang masing-masing partai dan capres maupun caleg yang bertarung. Ini membuat Orang Rimba bergantung pada pendamping, bukan hanya untuk membacakan surat suara, juga untuk menentukan pilihan.
Pasalnya, informasi yang memadai untuk masing-masing kontestan pemilu belum sampai ke Orang Rimba. Ketika ditanya apakah Orang Rimba akan diberikan TPS khusus, Reni belum mengetahui. "Kendati ada, dengan pola penyebaran Orang Rimba, untuk datang ke TPS tentu memakan waktu lama, bisa 10 jam," tutup Reni. (suwandi)
ADVERTISEMENT