Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Tangkul di Kota Jambi: Antara Disingkirkan dan Dipertahankan
6 Februari 2021 17:31 WIB
·
waktu baca 3 menitDiperbarui 18 Maret 2022 19:23 WIB
ADVERTISEMENT
Jambikita.id - Eksistensi tangkul di Danau Sipin, Kota Jambi, sedang terombang-ambing di tengah perkembangan pariwisata. Tangkul di danau tersebut masih berarti bagi sebagian orang, tetapi belum dilestarikan dan disandingkan dengan pariwisata.
ADVERTISEMENT
Menurut Yusuf Martum selaku Pemerhati Kebudayaan, tangkul memiliki nilai historis yang tinggi. Tangkul mulai ada di Nusantara sejak migrasi bangsa Austronesia, sekitar ribuan tahun yang lalu.
Tangkul di Danau Sipin, bagi Yusuf, layak dilestarikan seiring dengan perkembangan pariwisata di sana.
"Kita bisa mengenalkannya pada anak cucu kita dan orang dari luar Indonesia. Lagi pula itu bisa menjadi pertunjukan pariwisata," ujarnya belum lama ini.
Namun, muncul rumor tentang negosiasi antara Pemerintah Kota Jambi dan nelayan penggunaan tangkul, supaya alat penangkap ikan tersebut tidak ada lagi di Danau Sipin.
Lurah Legok Kota Jambi, Zulkarnain menyampaikan bahwa rumor tersebut tidak sepenuhnya benar. Apalagi kebijakan untuk tangkul di Danau Sipin masih belum jelas.
ADVERTISEMENT
Memang sudah ada rencana ganti rugi untuk nelayan penggunaan tangkul. Tetapi ganti rugi yang dimaksud bukan untuk meniadakan tangkul di Danau Sipin dengan paksaan.
"Rencana ganti rugi ini memang ada. Nelayan yang mau ganti rugi, dapat melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Jambi. Jika mau dipertahankan dan dikembangkan, kita ada semacam proposal untuk menata tangkul menjadi tangkul wisata," katanya, Kamis (4/2).
Dengan demikian, masih ada harapan untuk tangkul di Danau Sipin bertahan lebih lama. Tetapi, penataan tangkul untuk menjadi bagian wisata, masih terbentur dengan ketersedian dana.
"Kita sudah ajukan gambaran tangkul wisata ke Pak Wali Kota Jambi. Tapi kita masih kendala dana," kata Zulkarnain.
Ia pun mengatakan para pemilik tangkul di Danau Sipin berjumlah sekitar 60 orang. Secara umum mereka menolak tawaran ganti rugi tersebut.
ADVERTISEMENT
"Jika ganti rugi terpaksa dilakukan, mereka minta 10 Juta rupiah. Karena modal membuat Tangkul bisa lebih dari 15 Juta," ujarnya.
Disampaikan oleh Kepala Bidang Destinasi Wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Jambi, Nanang, Danau Sipin sebenarnya dijadikan tempat wisata dengan olahraga dayung perahu, wisata perahu, bazar kuliner, serta media pameran kerajinan batik.
Setidaknya, ada kemungkinan tangkul di Danau Sipin dibolehkan untuk eksis lebih lama, walaupun bakal ditata dan bertentangan dengan skema ganti rugi sebelumnya.
"Sepengetahuan saya tangkul kedepannya akan ditata, sehingga ada tempat khusus untuk tangkul," katanya, Rabu (3/2).
Menurut Lurah Legok, Zulkarnain, keberadaan tangkul sedang diberikan kelonggaran. Jika ada acara tertentu, posisi tangkul di Danau Sipin dapat dipinggirkan untuk sementara.
ADVERTISEMENT
"Kita akan koordinasi RT dan pemilik tangkul, supaya tangkul dapat dipinggirkan, apabila Pemerintah Kota Jambi ada kegiatan," katanya.
Posisi tangkul di Danau Sipin memang tidak selalu sama. Para nelayan menentukan posisi tangkul berdasarkan kondisi perairan dan potensi mendapatkan ikan. Tidak jarang mereka meletakan tangkul di tengah danau.
Sementara itu, seorang nelayan pengguna tangkul bernama Rabuhan (53), cenderung menolak ganti rugi dan memilih bertahan sebagai nelayan pengguna tangkul di Danau Sipin. Sebab, dari menggunakan tangkul, ia bisa memenuhi kebutuhan hidup bersama keluarganya.
"Sejak berumur 7 tahun saya menggunakan tangkul. Penghasilan dalam satu hari tidak menentu. Kadang mendapatkan ikan 5 kilogram. Ada saatnya mendapatkan 100 kilogram," tutur warga Kelurahan Legok, Kota Jambi tersebut, Rabu (3/2).
ADVERTISEMENT
Amrun (65) pun merasakan hal yang sama. Sebagai nelayan pengguna tangkul di Danau Sipin, ia bisa membangun kehidupan bersama istri dan tujuh anaknya.
Menurutnya, tangkul merupakan warisan secara turun-temurun, sehingga harus dipertahankan.
"Keberadaan ketek (perahu bermesin) tidak terlalu berpengaruh untuk penghasilan tangkul. Makanya, keberadaan tangkul bisa berbagi tempat," pungkasnya.
Penulis: M. Sobar Alfahri