Konten dari Pengguna

PHK Akibat COVID-19, Apakah Sah secara Hukum?

James Xaverius
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
14 April 2020 12:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari James Xaverius tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
PHK Akibat COVID-19, Apakah Sah secara Hukum?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Wabah COVID-19 telah menimbulkan dampak yang luar biasa, terutama bagi dunia usaha di Indonesia. Masyarakat Indonesia dibuat gempar dengan maraknya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) para karyawan akibat usaha yang merugi terus-menerus.
ADVERTISEMENT
Banyaknya perusahaan-perusahaan yang memutuskan untuk melakukan PHK dikarenakan tidak memiliki pemasukan yang cukup untuk membayar gaji para pekerjanya, dengan adanya imbauan dari pemerintah untuk work from home (WFH)
Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh suatu perusahaan terhadap karyawannya dalam situasi pandemik COVID-19 sah secara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 164 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi:
Pasal 164 ayat 1: "Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeure), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)."
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Pasal 164 ayat 1 UU Ketenagakerjaan, dapat dikaitkan bahwa pandemik COVID-19 ini merupakan force majeure (keadaan kahar) di mana situasi ini berada di luar kendali atau di luar kemampuan si pengusaha, sehingga kondisi tersebut mempengaruhi kemampuan ekonomi si Pengusaha dalam membayar gaji para pekerjanya.
Terkait pembayaran pesangon, pekerja yang terkena PHK memiliki hak mendapatkan pesangon sesuai peraturan perundang-undangan, dan apabila pengusaha tidak memberikan pesangon dalam hal Pengusaha mengalami kerugian akibat pandemi COVID-19, maka Pekerja dapat memohon pailit terhadap Pengusaha tersebut dengan harapan hasil likuidasi aset diberikan untuk membayar hak-haknya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, bahwa pekerja dalam hal kepailitan berposisi sebagai Kreditor Preferen atau kreditor yang paling istimewa sebagaimana diatur pula dalam Pasal 95 ayat 4 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:
ADVERTISEMENT
Pasal 95 ayat 4: "Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya."
Merujuk pada Pasal 95 ayat 4 UU Ketenagakerjaan, dapat disimpulkan bahwa hasil likuidasi dari perusahaan yang dipailitkan dapat diutamakan untuk pembayaran hak-hak buruh/pekerja sebagai kreditur preferen. Hal ini untuk menjamin hak-hak para pekerja apabila diputuskan hubungan kerjanya, maka ia juga memiliki hak untuk menerima pesangon, dan pengusaha wajib untuk memenuhi hak-hak tersebut.
Penulis: James Xaverius ( Mahasiswa Fakultas Hukum Unika Atmajaya)
Ilustrasi pemutusan hubungan kerja (PHK). Foto: pixabay