Pelajaran dari Gagalnya Tendangan Penalti Lionel Messi

Jamil Azzaini
CEO Kubik Leadership, Founder Akademi Trainer www.KubikLeadership.com. Ia juga pebisnis dan penulis 10 buku di Gramedia dan Mizan. Mentor banyak tokoh
Konten dari Pengguna
20 Juni 2018 10:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jamil Azzaini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Messi tertunduk lesu. (Foto: REUTERS/Carl Recine)
zoom-in-whitePerbesar
Messi tertunduk lesu. (Foto: REUTERS/Carl Recine)
ADVERTISEMENT
Salah satu yang menjadi sorotan banyak orang saat ini adalah Piala Dunia. Saya pun ikut menonton beberapa pertandingan melalui layar televisi. Salah satu yang saya tonton adalah pertandingan antara Argentina dan Islandia.
ADVERTISEMENT
Saya dan anak-anak saya yang menonton menjagokan Argentina menang. Menariknya, Islandia mampu menahan Argentina. Dan yang lebih menarik lagi, Messi gagal melakukan tendangan penalti, padahal penjaga gawang Islandia bukanlah penjaga gawang top.
Saya kemudian mencari tahu, kaitan antara tendangan penalti dengan kehidupan. Dari pencarian ini, saya menemukan buku Think Like a Freak-nya Steven D Levitt & Stephen J Dubner (2016), yang mengungkap perilaku seorang kiper saat menghadapi penalti.
Sang penulis merujuk sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa 57% kiper akan melompat ke arah sebelah kiri, 41% ke arah kanan, dan hanya 2% kemungkinan seorang kiper tidak beranjak dari posisinya di tengah gawang saat akan menghalau tendangan penalti.
Lantas, apakah sang eksekutor akan menendang ke arah tengah sebagai arah yang paling jarang dipilih oleh seorang kiper?
ADVERTISEMENT
Ternyata, jawabannya adalah tidak. Hanya 17% kemungkinan tendangan akan mengarah tepat ke tengah gawang. Messi pun masuk ke dalam 83%-nya dengan memilih untuk tidak menendang ke arah tengah.
Itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, ketika sang eksekutor menendang ke arah tengah dan kiper mampu membacanya dia akan mendapat ejekan yang lebih berat ketimbang jika gagal saat menendang ke arah kanan atau kiri gawang.
Hal inilah yang menyebabkan banyak pemain sepak bola enggan mengambil risiko tersebut. Sebab, ternyata bagi kebanyakan orang, menyelamatkan reputasi pribadi jauh lebih penting ketimbang memaksimalkan peluang.
Ketika seseorang fokus menjaga reputasi pribadi, boleh jadi ia tidak mampu menangkap peluang besar yang ada di sekelilingnya.
Messi telah mengajarkan kepada saya bahwa hidup itu perpaduan antara menjaga reputasi pribadi dan memaksimalkan peluang yang ada. Keduanya penting, khususnya bagi para pebisnis. Tanpa reputasi pribadi sulit mengembangkan dan membesarkan bisnis. Begitu pula ketidakmampuan memaksimalkan peluang juga bisa membuat bisnis kita stagnan, jalan di tempat bahkan bisa tertinggal oleh kompetitor.
ADVERTISEMENT
Mengelola reputasi pribadi dan memaksimalkan peluang adalah seni yang terus perlu dipelajari dan dipraktikkan. Dalam proses menjalaninya, kita berpeluang untuk gagal atau berhasil, layaknya tendangan penalti.
Saat berhasil tidak boleh membuat kita jumawa karena "kejuaraan" belum berakhir. Saat gagal, ambil pelajaran agar tidak terulang di pertandingan berikutnya.
Semoga kita semua tetap menjadi Messi, meski "gagal" dalam keputusan bisnis, tapi terus ikut melanjutkan permainan dibandingkan menjadi penonton atau komentator yang hanya bisa berkomentar dan menganalisa kegagalan namun dia sendiri tidak pernah melakukannya.
Merasakan dan mengalami jauh lebih penting dibandingkan hanya berkomentar yang seolah terlihat pintar namun miskin pengalaman nyata di lapangan. Anda Setuju?
Salam Sukses Mulia, Jamil Azzaini CEO Kubik Leadership Founder Akademi Trainer
ADVERTISEMENT