Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Generasi Nostalgia di Bumi Distopia
30 Juni 2024 10:24 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Jan Mealino Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sore itu, hiruk-pikuk bunyi kendaraan saling bersautan tiada henti. Di kota-kota besar, kita lazim melihat terang gedung-gedung hingga lupa rupa warna cakrawala malam. Asap yang mengepul tiada henti diberbagai belahan dunia, faktor suhu panas ekstrem mencapai 35-38°C yang melanda sejak April 2024 menjadi yang terparah selama beberapa dekade, mengindikasi bahwa bumi tengah membara.
ADVERTISEMENT
Studi terbaru dari Ipsos Global Trends (2023) menyatakan bahwa dunia sedang menghadapi krisis yang berdampak pada masyarakat, market, dan manusia. Beberapa di antaranya: 68 persen populasi dunia akan tinggal di wilayah urban pada tahun 2050, Rasio penggunaan robot bidang manufaktur akan meningkat dua kali lipat, Satu per tiga dunia mulai dilanda krisis sejak 2023, dan satu dari delapan masyarakat global mengidap mental health disorder.
Menariknya, data Ipsos tersebut memuat perihal daya tarik nostalgia di berbagai negara. Perihal ini didasari oleh dua alasan. Pertama, manusia cenderung terstimulasi untuk mengenang momen bahagia atau sederhana masa kecil (childhood memories). Kedua, manusia membutuhkan kenangan masa lalu sebagai alat untuk mengonstruksi keadaan hari ini dan memprediksi masa depan (Colin, 2021; Blunt, 2003). Misalnya, slogan piye kabare, isih penak jamanku to? yang justru populer bukan dari kontestasi politik, melainkan melalui budaya kekininan. Terlepas benar atau tidak, hal tersebut memberi kesan era Orde Baru lebih baik dibanding hari ini.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada dua alasan tersebut, sebagian masyarakat menyikapi perubahan dengan mengekspresikan kenangan-kenangan menyenangkan melalui media TV, musik, dan aktivitas nostalgia, sementara sebagian lain melihat perubahan sebagai tanda progresivitas pembangunan dan arah baru sistem sosial, ekonomi, maupun politik.
Tak Menentu
Kendati demikian, dunia tidak dapat mundur ke belakang. Bumi terus berputar ke masa depan. Dunia yang tidak menentu ini adalah realitas, sedangkan masa depan adalah keniscayaan yang harus dihadapi, diperjuangkan, atau diatur sedemikian rupa.
Data Ipsos tentang daya tarik nostalgia di berbagai negara barangkali menempatkan sikap mengenang masa lalu sebagai upaya banyak orang menghadapi masa depan yang bersistem volatility (gejolak), uncertainty (tak pasti), complexity (rumit), dan ambiguity (tak jelas). Di sisi lain, manusia semakin dibentuk brittle (rapuh), anxious (cemas), non-linear, dan incomprehensible (tidak menyeluruh) oleh kondisi sosial. Globalisasi, intervensi teknologi, kerusakan iklim, perang antar negara, materialisme hidup, dan sekularitas mengentalkan kerapuhan masyarakat modern.
ADVERTISEMENT
Sebanyak 60 persen masyarakat dunia menginginkan negaranya berjalan sebagaimana yang terjadi dahulu. Sebagian besar masyarakat yang sering bernostalgia berasal dari negara-negara Afrika dan Asia, termasuk Indonesia. Parameter lain berdasarkan umur, tidak ada perbedaan signifikan antara mereka yang berumur 20an dan 70an dalam aktivitas bernostalgia.
Data Ipsos menunjukkan Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki masyarakat nostalgic di atas rata-rata, yakni 64 persen (rata-rata 60 persen). Cukup mudah untuk menemui café atau toko antik yang menjual kaset vinyl, tape recorder, atau hal-hal old school lain yang juga digandrungi kaum muda. Outfit, kendaraan, hingga jenis rambut tak luput dari kesan jadul, yang memang mentereng bagi gaya zaman ini.
Dari segi politik, kita acap mendengar romantisasi kekuasaan Bung Karno, atau bagaimana tokoh-tokoh nasional memperjuangkan kemerdekaan dengan kehebatan intelektualitasnya. Misal lain, manifestasi etos baru dari ideologi pembangunan Joko Widodo melahirkan Jokowisme. Jokowisme adalah model kepemimpinan dalam mengelola negara dengan prinsip ala Jokowi, yang merakyat dan ordinary namun dapat membangkitkan gairah nasionalisme.
ADVERTISEMENT
Baumann dalam bukunya berjudul Retrotopia (2017) menyebutnya sebagai nostalgia restoratif. Suatu sikap yang bertujuan untuk mengembalikan semangat tertentu dengan cara antimodern dan terkadang mistis. Jokowisme, dalam hal ini, dianggap sebagai metafora the Indonesian dreams yang berpotensi melahirkan nostalgia restoratif.
Jebakan Generasi
Kembali pada pernyataan bahwa dunia terus-menerus bergerak, gejolak masyarakat untuk terus berubah dan berkembang dengan cepat diibaratkan Frank Kafka (1883-1924) sebagai perintah batin untuk terus bergerak maju, meski tidak tahu tujuan akhirnya. Baumann menyatakan sikap hati-hati terhadap nostalgia restoratif yang digembar-gemborkan sebagai sebuah narasi indah nan romantis.
Ketika kita merindukan masa lalu, kita cenderung memikirkannya secara idealis. Maksudnya, faktor-faktor negatif seperti keburukan, kelaliman, tabir gelap, dan kemunduran seringkali dilupakan. Sementara itu, faktor-faktor masa depan dilukiskan dengan menakutkan dan penuh kekhawatiran. Tentu hal tersebut tidak sepenuhnya tepat dan mengabaikan kompleksitas sejarah yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Rezim memiliki andil dalam membuat narasi nostalgia restoratif yang sarat akan pragmatisme dan nir-moral. Ketika hal-hal retrospektif dan nostalgia ditempatkan dalam rangka memunculkan suatu utopia terselubung yang menolak progresivitas, masyarakat cenderung mudah menyalahi keadaan dan sulit beradaptasi dengan perubahan. Sebagai suatu kondisi modern di mana masyarakat merindukan kebahagiaan, kesetaraan, dan keadilan melalui memori kolektif, nostalgia restoratif adalah mekanisme pertahanan diri yang berpotensi menghasilkan emosi kolektif tak terkendali (Baumann, 2017).
Peran Dua Arah
Baumann lebih lanjut mengemukakan, munculnya sikap nostalgia pada masyarakat umumnya disebabkan oleh ketimpangan, kemiskinan, dan kesejahteraan. orang-orang sering kali merasa lebih baik ketika memikirkan masa lalu dibandingkan dengan masa depan yang tidak pasti. Di masa lalu, masyarakat merasa ada lebih banyak keadilan dan kesetaraan. Namun, sekarang ini, masyarakat merasa bahwa ketidaksetaraan semakin meningkat sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman dan khawatir tentang masa depan.
ADVERTISEMENT
Kita harus mengakui bahwa nostalgia adalah kondisi merasa kehilangan dan terlempar dalam kontinuitas dunia yang terfragmentasi dan berputar cepat. Masa lalu perlu dipandang dengan jujur dan tulus sebagai bahan bakar optimisme (zeitgeist) masa depan. Dengan demikian, kita dapat memberi porsi yang bijak pada setiap fase hidup, entah mengingat masa lalu maupun menghadapi masa depan.
Terlebih lagi, kontekstualisasi pada peran negara menjadi penting. Nostalgia restoratif harus dihindari dan kembali pada konteks masa depan. Masyarakat dipersiapkan untuk adaptif dengan zaman, namun tetap menghidupi nilai sosio-kulturnya. Karena itu, kesejahteraan, kualitas manusia, tata kelola pemerintah menjadi penting. Selalu ada harapan, visi, dan perjuangan tiap generasi di dalam dunia ini, sehingga siap menghadapi bumi yang bergulir menuju distopia.
ADVERTISEMENT