Kampanye dan Rancunya Logika Memilih

Jan Ekklesia
Sosiolog dan Pendiri GEMA Politik Indonesia
Konten dari Pengguna
9 Januari 2024 6:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jan Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kandidat Calon Presiden, Dok Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Kandidat Calon Presiden, Dok Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rangkaian pemilu 2024 tengah memasuki masa kampanye dan debat. Masa kampanye diharapkan mampu memperlihatkan kualitas gagasan, visi misi, citra diri, dan program peserta pemilu. Tujuan utamanya sederhana, yakni memengaruhi hati dan pikiran pemilih. Strategi kampanye banyak mengandalkan pendekatan sugesti, sehingga narasi logika dan keputusan rasional acap kurang diperhitungkan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, masa debat antar kandidat diharapkan menjadi ajang kandidat untuk menjual visi misi dalam rangka berbantah-bantahan antar kandidat. Di momen debat, kandidat pemilu diuji tidak hanya gagasan, melainkan juga penguasaan panggung dan rasionalitas dalam menjawab pertanyaan.

Tindakan Memilih

Max Weber dalam bukunya “Grundriss der Sozialökonomik” (1922) menjelaskan tentang cara tindakan verstehende manusia yang didasarkan pada empat hal, yakni: zweckrational, wertrational, affecktuell, dan traditional. Zweckrational adalah tindakan berbasis rasio-instrumental, wertrational adalah tindakan berbasis rasio-nilai, affecktuell adalah tindakan berbasis emosi, dan traditional adalah tindakan berbasis folkways atau kelaziman dari suatu tradisi.
Sederhananya, bentuk tindakan sosial dapat dibagi menjadi dua: rasional dan irasional. Rasional manakala setiap tindakan didasarkan pada alasan logis dengan perencanaan yang matang. Irasional manakala tindakan yang ada dikendalikan oleh emosi dan keputusan sesaat.
ADVERTISEMENT
Keputusan untuk memilih dan merencanakan bergantung dari beberapa faktor, di antaranya status sosial-ekonomi (SSE), tingkat pendidikan, keyakinan subjektif, penggunaan media massa, dan peran partai politik dalam kampanye. Preferensi memilih masyarakat desa akan berbeda dengan masyarakat kota. Begitu halnya daerah yang dikuasai oleh partai politik tertentu akan menghasilkan dukungan pemilih yang berbeda pula.
Pada dasarnya, manusia secara normatif memiliki seperangkat preferensi yang koheren dengan pengalamannya. Ketika diperhadapkan pada pilihan, manusia selalu mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk mencapai keputusan yang tepat, mengevaluasi tindakan alternatif, dan memilih tindakan yang optimal dengan nilai yang dipercaya (Staerklé ,2015). Ini yang disebut Clarke & Cornish (1986) dan James Coleman (1990) sebagai rational choice theory.
Teori ini tentu mengalami sejumlah kontradiksi. Manusia tidak selalu konsisten mempertahankan pilihannya. Manusia adalah makhluk situasional, di mana lingkungan dan sekitarnya mewarnai pilihan seseorang. Ini yang membuat pilihan masyarakat dapat sangat sentimentil di satu sisi dan dapat sangat rasional di sisi lain. Semakin sulit dan rumit pertimbangan, maka semakin lama suatu keputusan dihasilkan. Begitu juga sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Dinamika kampanye Indonesia masih mengandalkan pesan-pesan simbolik dan visual dari baliho, poster, dan billboard. Tampilan penuh citra wajah calon legislatif atau eksekutif dengan narasi visi-misi dikedepankan demi memenuhi gambaran imajiner masyarakat tentang sosok pemimpin yang akan dipilih (McGinnis, 1970).
Berdasarkan data survei Indikator Politik Indonesia periode Agustus-September 2023, sebanyak 30,5% dari total responden mengaku masih mungkin mengubah pilihan terhadap kandidat pemilu tertentu, sementara 67,9% persentase responden yang mungkin tidak akan mengubah dukungan masih lebih tinggi.
Data survei terbaru dari Litbang Kompas (29 November-4 Desember 2023), sebanyak 28,7% pemilih bimbang (undecided voters). Tingginya undecided voters menimbulkan kesan kuat bahwa pemilih sudah mulai rasional dalam memilih. Tidak tanggung-tanggung, undecided voters justru meningkat tajam di tengah dekatnya waktu menjelang pemilu.
ADVERTISEMENT

Tingginya Pemilih Bimbang

Tingginya pemilih bimbang sejalan dengan dinamika politik yang ada. Sekurangnya ada dua alasan mengapa pemilih menjadi bimbang. Pertama, para pemilih tidak memiliki pendapat tentang siapa yang harus dipilih karena mereka enggan terlibat atau kurangnya informasi mengenai pemungutan suara (Liu, 2020). Kedua, meskipun pemilih sudah memutuskan, pemilih tidak mau bersuara karena ada tekanan sosial-politik tertentu (Arcuri, dkk, 2008).
Maka, pengaruh sosial (social influence) dan dinamika tekanan sosial memotivasi seseorang untuk membuat berbagai keputusan. Di satu sisi, pemilih sangat bergantung pada suara mayoritas. Sikap konformis terhadap mayoritas digambarkan sebagai perilaku ikut-ikutan (bandwagon voting) (Morton & Ou, 2015). Sebagian besar jajak pendapat secara eksplisit mencerminkan mayoritas pemungut suara dan terdapat pola bandwagon effect yang dominan untuk kandidat yang memimpin. Pola tersebut dapat dilihat dan diukur melalui jajak pendapat publik (polling) (Callendar, 2007).
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pemilih bimbang lainnya mungkin tidak sesuai dengan pilihan mayoritas dan mendaratkan pilihan pada kandidat yang tidak diunggulkan. Klaim sebagai undecided dapat dijelaskan dengan teori spiral of silence: pemilih yang pendapatnya tidak sesuai dengan pendapat mayoritas cenderung diam karena takut akan isolasi sosial (Noelle Neumann, 1974).
Ekspektasi pemilih mencerminkan pendapat mayoritas warga negara tentang kandidat mana yang diperkirakan akan menang dalam pemilihan umum dapat memberikan prediksi yang relatif akurat mengenai hasil pemilu (Lewis-Beck & Skalaban, 1989; Lewis-Beck & Tien, 1999; Miller et al, 2012; Murr, 2015).
Baik teori bandwgon voting maupun spiral of silence sama-sama menjelaskan bagaimana opini mayoritas atau persepsi tentang opini mayoritas dapat memengaruhi perilaku atau sikap individu dalam menyampaikan opini. Nyatanya, pemilih bimbang lebih banyak dipengaruhi oleh keraguan dan ketakutan karena merasa akan mendapat sanksi sosial. Jika opini tersebut tidak mendapat dukungan, maka pemilih bimbang akan tetap mempertahankan posisinya, bahkan pada tingkat yang parah, menjadi golput.
ADVERTISEMENT
Penelitian Liu, dkk (2020) mencatat bahwa masyarakat bimbang lebih banyak dipengaruhi oleh spiral of silence daripada bandwagon effect. Itu berarti, ada ruang bagi masyarakat untuk dapat berpikir melawan arus utama (mainstream). Ini adalah kondisi demokrasi yang baik. Betapa pun liar nya pemikiran, perlu diwadahi dalam konteks negara demokrasi.

Kebijaksanaan Memilih

Kita perlu mendefiniskan kembali apa arti kebijaksanaan memilih dan pemilih bijaksana. Secara garis besar, kualitas pemilu sangat ditentukan oleh pemilihnya. Jika pemilihnya rasional-logis, maka pemilu akan menjadi pesta demokrasi yang baik. Sebaliknya, jika pemilihnya masih terkungkung dalam bejana fanatisme, egoisme, dan hoaks, maka pemilu yang baik itu masih jauh dari angan.
Kebijaksanaan memilih mencakup tindakan konsekuensional yang berlandaskan dua hal, (1) zweck-rational yang berarti pemilih yang tidak mudah dipengaruhi propaganda politik remeh-temeh dan secara aktif mengukur kandidat, (2) wertrational yang berarti pemilih mengandalkan nilai universal yang dianut, seperti integritas, keadilan, kepemimpinan, dan visi-misi. Kesemuanya dikelola secara rasional. Kebijaksanaan memilih ini tentu membawa gerakan masyarakat menjadi next level, di mana kematangan berpikir menjadi yang utama.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, kita harus menjadi pemilih bijaksana, yang berkaitan dengan kehidupan demokrasi dan politik keseharian. Kita harus berupaya untuk ikut serta dalam pesta demokrasi dan tidak sembarangan untuk melihat sosok kandidat. Pemilih bijaksana adalah mereka yang dapat secara aktif menemukan posisi dirinya sebagai warga negara yang baik sesuai konstitusi.
Pendidikan politik dan sosialisasi dalam keluarga adalah kunci utama menjadikan masyarakat sebagai pemilih bijaksana sehingga dapat memilih secara bijak. Di sisi lain, posisi penegakan hukum dan kebebasan berbicara dan berekspresi mutlak dijamin oleh pemerintah. Untuk itu, datang lah dengan rasa, pilih lah dengan akal.