news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kisah Musafir dan Raja yang Kejam

Jan Ekklesia
Sosiolog dan Pendiri GEMA Politik Indonesia
Konten dari Pengguna
23 September 2021 16:33 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
26
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jan Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Raja dan Musafir, Sumber: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Raja dan Musafir, Sumber: Freepik
ADVERTISEMENT
Ketika kita sedang diperhadapkan dengan situasi marah atau kecewa, bagaimana respon kita? Apakah langsung marah? Atau kita mengambil sikap diam sambil menghindari yang bersangkutan sementara waktu? Saya termasuk tipe yang pertama.
ADVERTISEMENT
Ada kisah menarik yang terjadi pada masa kerajaan kuno. Ada seorang raja yang dikenal sangat kejam memerintah di sana. Rakyatnya sangat miskin dan menderita. Diketahui juga bahwa sang raja pendendam dan tidak membiarkan satupun orang yang boleh mengomentarinya. Jika ketahuan berkomentar yang jelek tentang raja, maka orang atau kelompok tersebut akan dihukum mati. Kondisi geografis daerah itu dapat digambarkan seperti ini: Kerajaan megah diatas gunung, dibawahnya banyak rumah penduduk yang hanya terbuat dari triplek.
Suatu hari, datanglah seorang musafir dari daerah yang sangat jauh, seorang muda yang terlihat membawa tongkat. Ketika itu, ia singgah didesa tersebut sementara sebelum ia melanjutkan perjalanannya kembali. Ada suatu kebiasaan yang ia bawa semenjak asalnya, yaitu "meminta izin". Ia mendengar bahwa di desa itu terdapat raja yang sangat kejam, yang tidak punya rasa ampun. Walaupun demikian, dengan berani ia melangkah menuju kerajaan, dengan konsekuensi yang ia terima.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di kerajaan, ia ditanya oleh kepala pengawal kerajaan. Dia bertanya apa alasannya sang musafir datang ke kerajaannya. Kemudian sang musafir menjawab bahwa dirinya ingin meminta izin kepada Raja untuk menginap di desa ini selama 3 hari sebelum dirinya kembali melanjutkan perjalanannya ke selatan. Kemudian kepala pengawal kerajaan menyuruhnya untuk diam sebentar, dan kepala pengawal kerajaan pergi menemui raja.
Tak lama kemudian, raja pun menyuruh sang musafir untuk menghadapnya. Dengan tangan dan kaki yang gemetar, sang musafir pergi menuju takhta raja. Raja pun dengan tangan kanan memegang tongkat megah kemudian mengarahkan tongkatnya kedepan sambil berkata "ada apa kau berani ke sini, wahai musafir"? Kemudian dengan lugas dan jelas, sang musafir menjelaskan kedatangannya. Namun tidak disangka-sangka, sang raja menyuruh sang musafir untuk pergi ke meja makan bersama dirinya. "Ah...mari makan dulu, kau pasti lapar kan"? Sang musafir tertegun. Tidak tahu harus menjawab apa selama beberapa detik. Tersentak saat dirinya kembali menjawab "Benar Yang Mulia...saya lapar".
ADVERTISEMENT
Sepanjang hari itu, sang musafir dan raja sangat akrab. Sang musafir menceritakan dengan nyamannya latarbelakangnya, begitupun dengan raja. Suasana sangat hangat dan seru. Sewaktu hari makin larut, tibalah kesempatan bagi sang musafir untuk bertanya hal yang sensitif: mengapa raja disebut sebagai raja yang kejam?
Dengan terbata-bata dan takut, si musafir tersebut berhasil menyampaikan pertanyaan itu dengan jelas namun dengan penuh hormat. Raja pun terdiam dan berfikir. Sang Musafir begitu ketakutan di sela-sela heningnya suasana itu. Kemudian raja memulai jawabannya dengan kata-kata:
"selama ini, rakyatku salah menilai ku"
Musafir tersebut sontak kaget mendengar hal itu. Ternyata, ayahnya sang raja adalah orang yang kejam, yang tidak punya hati baik, suka mendindas dan memenjarakan. Bahkan, tidak segan-segan membunuh siapa saja yang berani melawannya.
ADVERTISEMENT
"Itu ayahku, bukan aku"! Tegas raja. Saat ayahku memerintah, aku sedang belajar di negeri lain, yang jauh dari sini. Aku tidak tahu bahwa utang darah ayahku harus dibayarkan padaku. Orang-orang menilai ku dengan takut. Berkali-kali aku coba melakukan pendekatan dengan rakyatku. Namun, seperti tidak ada jalan..."
***
Inti cerita itu adalah tentang penerimaan. Penerimaan membuat hubungan seseorang dengan yang lain terjaga. Ketika kita menerima orang lain, maka secara tidak langsung mengubah orang itu menjadi lebih baik. Penerima bukan hanya berbicara mengenai waktu, tetapi juga kondisi. Kita menerima karena kita diterima orang lain. Atau, kita menjadi yang pertama menerima orang lain karena kita tahu rasanya tidak diterima. Penerimaan adalah bagian dari kebaikan. Maka, berlombalah untuk saling menerima satu sama lain.
ADVERTISEMENT
“Teruslah berbuat baik, karena kebaikan itu menular”