Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Masalah Pergeseran Paradigma dalam Penelitian Sosial: Positivisme Menuju Kritis
24 Februari 2021 21:20 WIB
Tulisan dari Jan Mealino Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Problematika mahasiswa ilmu-ilmu sosial kerap kali dibingungkan dengan urusan metodologi dan metode penelitian, terkhusus dalam Ilmu Sosiologi. Apa yang terjadi? Bagaimana hal tersebut muncul? Bagaimana posisi mahasiswa dalam menanggapi hal tersebut?
ADVERTISEMENT
Proses riset ilmu pengetahuan memiliki beberapa paradigma yang dipakai, yaitu paradigma positivisme, interpretif, dan kritis. Pertama adalah paradigma positivisme yang mempunyai unsur bebas nilai (netral), bebas kepentingan (disinterested), bermodel sebab-akibat, prosedural, universal, taat hukum/azas, instrumental, terukur serta predictable. Sedangkan dalam paradigma interpretif, kenyataan dari suatu realitas sangat diperhitungkan, sehingga bebas nilai menjadi hal yang tidak mungkin tidak terjadi dalam masyarakat. Manusia dan masyarakat menjadi objek yang aktif dan menjadi ”aktor” dalam memahami keadaan lingkungannya. Bagi positivis, realita yang dialami oleh masyarakat manusia sangat berbeda dengan objek-objek alamiah seperti gen, tikus, asam amino, dan sebagainya.
Kendati demikian, susunan dari pelbagai mata kuliah pengantar penelitian sosial seakan – akan menggagas bahwa positivisme merupakan bentuk penelitian yang paling umum dan diusahakan harus terus-menerus ada dalam penelitian sosial. Teori atau paradigma seakan menjadi dogmatika terlepas dari kelebihan atau kekurangan diantara paradigma tersebut. Apabila melihat sejarah, positivisme dan neo-positivisme yang muncul di Wina pada abad ke-20, tidak serta-merta diambil dari konsep-konsep sosiologis, antropologis, maupun psikologis. Konsep positivisme meminjam dari rasionalisasi pengetahuan alam modern yang dipopulerkan oleh Saint Simon dan Auguste Comte. Hal tersebut tentu saja menyebabkan banyak miskonsepsi ilmu sosial. Sebagai contoh Piotr Stompzka menyatakan gagasan Comte sebagai dosa warisan bagi ilmu – ilmu sosial (Sztompka, 2008). Untuk menyelesaikan problem tersebut, Max Weber dengan gagasannya menyatakan bahwa penelitian ilmu sosial harus lahir dari cara pandang verstehen (empatik). Maka, berkembanglah paradigma interpretif. Paradigma interpretif menghasilkan berbagai metode antara lain : etnografi, fenomenologi, hermeneutika, etnometodologi, cultural studies, interaksionisme simbolik, grounded theory, action research, dialektika, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, paradigma penelitian sosial berkembang lagi menjadi paradigma kritis. Paradigma kritis ini mulai membawa makna-makna pembebasan, pembelaan, perlawanan, dan semacamnya. Salah satu ciri khas paradigma kritis adalah: konstruktif, evaluatif, dan konfliktual terhadap realitas sosial. Paradigma kritis berusaha mengungkapkan mitos, halangan, dan pembongkaran makna-makna dalam kehidupan sosial. Maka, dalam paradigma kritis dikembangkan berbagai metode antara lain : analisis wacana kritis (AWK), queer theory, feminisme, marxisme, neo-marxisme, konflik dan lain sebagainya . Paradigma ini berkubang dalam ranah emansipatoris dan kekritisan dalam mendeteksi patologi sosial. Berbeda dengan paradigma interpretif, paradigma kritis mencoba menafsir semua simbol – simbol dan tindakan untuk memahami ”tertindas” suatu kelompok/masyarakat (berbeda dengan interpretif yang hanya sekadar mengamati dan memahami realita sosial).
ADVERTISEMENT
Seperti yang sudah dijelaskan, untuk memahami dan menjelaskan perilaku masyarakat manusia, tidak bisa tidak kita menggunakan ketiga paradigma tanpa harus mengunggulkan satu dengan yang lainnya. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, tergantung fungsi dan penempatan metodologis berdasarkan realitas sosial yang ingin diteliti. Kemudian, perkembangan metode penelitian juga berujung kepada penyatuan eklektis dari bidang positivis maupun interpretif, yang dikenal dengan nama mixed method (metode campuran). Kemudian bagaimana dengan ilmu sosiologi sendiri? Pembagian teori sosiologi juga diturunkan dari ketiga metodologi tersebut. Sebagai contoh: Ritzer membagi menjadi 3 paradigma: fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Kemudian ada makro - meso - mikro teori, dan lain sebagainya. Pengelompokan tersebut lagi-lagi digunakan sesuai fungsi dan fokus penelitian tertentu.
ADVERTISEMENT