Konten dari Pengguna

Moral Serbaneka

Jan Mealino Ekklesia
Sosiolog dan Peneliti Utama WAMESA Policy & Politics
19 Juni 2023 12:27 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jan Mealino Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: https://unsplash.com/photos/uNBYT-gizhU
zoom-in-whitePerbesar
Source: https://unsplash.com/photos/uNBYT-gizhU
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di antara pergolakan nilai-nilai yang bersifat ideologis maupun pragmatis, masyarakat akan selalu dihadapkan dengan suatu realitas, bahwa ketegangan yang dilahirkan dari keterlibatan aktual dari keputusan moral akan selalu berpotensi bias.
ADVERTISEMENT
Lokus (wadah) yang dianggap sebagai lumbung keputusan moral tidak selalu dan tidak harus berpegang pada aktivitas ideal yang bertumpu pada rasio dan hipotetis semata. Pengalaman aktual lah yang menjadi lokus utama pertimbangan moral dalam masyarakat.

Pengalaman Aktual

Ilustrasi buku. Foto: Shutter Stock
Acap kali buku-buku mengenai filsafat moral, moralitas, dan etika bertumpu pada cara-cara hipotesis atau rasional murni ketimbang menggunakan metode peristiwa atau pengalaman (metode moralitas eksperimental).
Pengalaman aktual atau pengalaman sehari-hari lekat dengan pola laku individu, sejak bangun tidur hingga kembali tidur. Setiap harinya, belasan bahkan puluhan keputusan moral direproduksi oleh individu bersama lingkungannya.
Tentu hal ini tidak dapat dijabarkan melalui buku-buku teks filsafat semata. Tidak mungkin manusia dengan segala kompleksitasnya dipisahkan dari sifat-sifat manusia itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Emosi, spiritualitas, lingkungan, ideologi, dan kebudayaan adalah beberapa aspek yang inheren dalam membentuk manusia. Ke semuanya melebur dalam pengalaman dan perasaan, yang kemudian diolah dalam berbagai deskripsi tak tertulis.
Terkadang, masyarakat awam sulit untuk memelihara keakuratan deskripsi moral yang dibangun setiap harinya. Cerita atau nasihat yang diberikan orang tua kepada anak, misalnya, cenderung bertumpu pada pemahaman deskriptif yang bias, yang memisahkan apakah hal tersebut benar-benar terjadi dari apa yang mustahil terjadi.
Maka, pengalaman aktual digunakan sebagai prasyarat untuk mengembangkan teori moral yang sudah ada. Sebab, pengalaman tidak dapat dibantah, kecuali jika keabsahannya mendapat pertentangan dari saksi. Dengan kata lain, pertimbangan akan suatu pengalaman terdapat pada sistem kepercayaan (belief system).

Pengalaman dan Pengetahuan Moral sebagai Prinsip Hidup

Ilustrasi teman pria. Foto: Shutterstock
John Rawls, R.M. Hare, dan Roderick Firth sepakat bahwa pengalaman moral adalah fenomena yang universal, yang dirasakan dan dialami melalui panca indera. Manusia memiliki kemampuan untuk merasakan rasa bersalah atau rasa hormat terhadap nilai-nilai moral.
ADVERTISEMENT
Mereka juga sepakat bahwa pengalaman moral membutuhkan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai serta prinsip yang mendasarinya. Pengetahuan yang mendalam tentang prinsip dapat bersumber dari banyak hal, seperti Kitab Suci, lingkungan, norma, dan aturan dalam masyarakat.
Prinsip-prinsip tersebut juga dapat direproduksi melalui pengalaman keseharian manusia. Karena itu, aspek dan kecenderungan moralitas sangat beragam.
Prinsip ini yang akan menolong kita untuk memahami keputusan moral apa yang tepat dan bernas. Kita mungkin dapat menyangsikan aksioma-aksioma moral yang tidak perlu dibuktikan lagi. Karena mungkin di dalam beberapa hal kita menganggap prinsip tidak terlalu mengikat karena latar belakang pendidikan atau lingkungan yang rusak bahkan tertutup.
Tetapi, prinsip pada akhirnya tetap dipertahankan sebagai pendirian moral. Pendirian moral akan menolong kita untuk hidup sesuai apa yang dianggap benar. Arena kehidupan seperti politik, sosial, budaya, agama, dan lain-lain didasari oleh pra-anggapan mengenai kebenaran. Kebenaran akan menuntun kepada pendirian moral, dan pendirian moral yang matang akan menuntun kepada prinsip.
ADVERTISEMENT

Polarisasi Media dan Interpretasi Generasi Z

Ilustrasi bermain sosial media. Foto: photobyphotoboy/Shutterstock
Marilah kita mengamati bagaimana kehadiran media digital saat ini. Kolom komentar dari status atau postingan dari influencers yang viral tidak pernah sepi, kecuali jika yang bersangkutan mematikan kolom komentar.
Biasanya, terdapat empat kategori komentar: memuji, memaki, kritis, dan gak nyambung. Ke semuanya didasari oleh motivasi dan keputusan moral masing-masing individu.
Keputusan moral individu (memuji, memaki, kritis, atau gak nyambung) tidak berdampak langsung pada polarisasi atau segregasi di media sosial, melainkan aktivitas berkomentar (pengalaman aktual dan pengetahuan subjektif) itulah yang menjadi pemicu polarisasi.
Contoh lain, interpretasi Generasi Z terhadap pengalaman sehari-hari, selalu didasari pada kebenaran yang tak tunggal. McKinsey & Company (2018) menjelaskan bahwa beberapa akar perilaku Generasi Z adalah Undefined ID dan Realistic.
ADVERTISEMENT
Generasi Z cenderung ingin bebas dan ingin memahami diri dari banyak perspektif. Selain itu, Generasi Z juga mulai menghindari cita-cita yang muluk, melainkan mengedepankan pencapaian yang rasional dalam kerja maupun karya.
Kedua contoh di atas dapat menjadi pijakan awal kita bahwa prinsip yang dibangun dari pengalaman hidup dan pengetahuan mendasari aspek pertimbangan moral.
Pertimbangan moral dari generasi Z akan berbeda dengan generasi sebelumnya maupun sesudahnya. Demikian pula moralitas yang dibangun di media digital akan memengaruhi aspek lingkungan digital, di mana pembauran moral serta prinsip semakin pudar.