Konten dari Pengguna

Negeri Penikmat Testimoni

Jan Mealino Ekklesia
Sosiolog dan Peneliti Utama WAMESA Policy & Politics
8 Agustus 2023 11:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jan Mealino Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perjuangan siswa pedalaman Aceh perdana ikut upacara HUT RI. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Perjuangan siswa pedalaman Aceh perdana ikut upacara HUT RI. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernyataan-pernyataan klise itu mungkin sering—atau sekadar pernah—kita dengar. Entah dari omongan tetangga, pidato pejabat publik, atau dari berita. Sekilas, kisah-kisah inspiratif nan heroik tersebut memantik kisah kesuksesan dalam keterbatasan, yang kemudian memanen hasil indah di akhir cerita.
ADVERTISEMENT
Berbagai kisah tersebut diterima masyarakat kita. Sebagai bangsa yang berbudaya vokal, hal tersebut bagaikan mandat agung yang terus-menerus hadir, menjadi meta-narasi motivasi hidup atas orang-orang yang sedang dilanda rengsa dan sial.
Namun, kisah-kisah yang dianggap sebagai tutur juru selamat sungguh ironi. Di tengah keterbatasan akibat kemiskinan ekstrem atau disabilitas, masyarakat disuguhkan dengan kisah motivasi semacam ini tanpa ada aksi serius dari pemerintah.
Cerita-cerita demikian dapat dijual dengan mudah, tidak seperti program penanggulangan kemiskinan, jaminan keamanan, atau pemberian fasilitas publik secara optimal yang tentu menguras tenaga dan pikiran.

Bahasa Sebagai Akomodasi Kapital

Georg Lukacs (1885-1971), salah satu ilmuwan sosial terkemuka Frankfurt School telah menyatakan bahwa pada masa kapitalisme berlangsung, semuanya tak lepas dari komodifikasi dan reifikasi. Mulai dari bahan pokok, karya seni, budaya, hingga agama bisa dijadikan nilai tukar yang menggiurkan.
ADVERTISEMENT
Ketika komoditas (produk kebudayaan) diproduksi dan direproduksi oleh kapital secara massal serta mendapat respons tinggi dari massa, maka hal tersebut telah menjadi komodifikasi. Komodifikasi adalah komoditas dengan berbagai dimensinya dapat diperjualbelikan demi keuntungan atau kepuasan semata, termasuk bahasa.
Di sisi lain, reifikasi memiliki pengertian kritis, yakni membuat sesuatu seolah-olah dapat diperjualbelikan (transaksional). Reifikasi mendeteriorasi sesuatu yang dianggap luhur. Kebudayaan, nilai, norma, bahkan manusia sebagai subjek yang dapat dengan mudah direifikasi, lagi-lagi termasuk bahasa.
Bahasa adalah akumulasi pengetahuan yang termanifestasi dari pikiran dan logika manusia. Bahasa adalah sesuatu yang taken for granted, alat untuk sosialisasi dan berkomunikasi, serta menjadi identitas kebudayaan seseorang
Di sisi lain, kaum interpretif menganggap bahasa adalah sebuah konstruksi sosial, hasil dari kesepakatan bersama (general agreement) dari suatu kelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu.
ADVERTISEMENT
Karena sifat dasarnya sebagai alat untuk berkomunikasi, bahasa dapat dijadikan gerbong untuk saling memengaruhi dan memverifikasi, baik sadar maupun tak sadar. Bahasa direproduksi oleh kapital, baik dalam bentuk video, teks, nyanyian, jargon, dan adagium.
Bahasa iklan (advertising language) adalah contoh mudah bagaimana masyarakat tersugesti untuk mengikuti apa yang ditawarkan oleh iklan. Narasi clickbait di media sosial atau kalimat menggiurkan dari video iklan pinjol dan judi online sangat mudah kita temui.
Sebagaimana makan adalah kebutuhan dasar untuk hidup, bahasa adalah nyawa dari perkembangan kapital. Tanpa bahasa, manusia tidak dapat dipengaruhi secara optimal. Tanpa bahasa, tidak ada gerakan sosial besar-besaran dan terwujudnya suatu pembangunan.

Testimoni Bias Solusi

Perjuangan siswa pedalaman Aceh perdana ikut upacara HUT RI. Foto: Dok. Istimewa
Setelah kita memahami bahwa bahasa dapat menjadi tunggangan kapital untuk melancarkan propaganda, apa yang dilakukan negara tak jauh berbeda dengan itu.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, Menhan Prabowo dalam Rakernas Apeksi 2023 di Makassar (10-14 Juli) menyatakan demikian:
Kemudian dilanjutkan lagi:
Kisah lain, yakni penggunaan diksi kisah inspiratif di pemberitaan media berita populer untuk menggambarkan perjuangan seorang guru Sekolah Dasar Negeri di Flores Timur, NTT, yang harus berjalan kaki sepanjang lima kilometer menyusuri hutan untuk mengajar.
Kenyataannya, kondisi fasilitas dan akses pendidikan memadai di sekolah tersebut masih sangat memprihatinkan. Bahkan, Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) dipaksakan di tengah keterbatasan daya listrik dan fasilitas komputer.
Besar dan mulia cita-cita seorang guru atau seorang anak yang berjuang di tengah kemiskinan ekstrem dan keterbatasan untuk menolong sekitarnya menjadi lebih baik. Namun, adalah suatu penindasan bilamana pemerintah memperlakukan rakyatnya demikian.
ADVERTISEMENT
Kisah inspiratif tak lebih dari sekadar kisah penderitaan yang bias solusi. Jika kesuksesan diukur dari kemampuan seseorang menggunakan kapital, kemudian direporduksi oleh media, maka tinggal tunggu hal tersebut menjadi suatu kenormalan. Kemiskinan dan kemelaratan hanya menjadi problem kultural yang diselesaikan menggunakan sistem ”salahkan orangnya”

Pangku Tangan Pemerintah

Masyarakat miskin memiliki sejuta dimensi pelik yang saling berkontradiksi. Kontradiksi tersebut muncul dari skema indikator yang tumpang-tindih antar pemerintah atau lembaga.
Pertarungan antar lembaga yang tentu memiliki paradigma berbeda-beda mengenai si miskin dan si kaya tak pelak menimbulkan improvisasi dan diskresi. Misalnya, banyak penerimaan bantuan pemerintah tidak tepat sasaran, duplikasi, maupun kongkalikong data.
Kemiskinan adalah permasalahan yang perlu ketuntasan perspektif dan keberpihakan berbasis keadilan. Biasanya, masyarakat miskin atau rentan hidup dalam kondisi serba kekurangan, utang yang banyak, dan bargaining position yang lemah.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya itu, dibalik kesuksesan anak pemulung dan ketabahan seorang guru untuk berjalan berkilo-kilometer dengan gaji tak layak, ada ketakutan bahwa kerentanan dan kegamangan menghantui kehidupannya setiap hari.
Survei terbaru Utting Research (2023) menyatakan bahwa 72 persen responden mengaku puas dengan kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, dan 28 persen responden mengaku tidak puas. Tetapi 51 persen responden mengatakan situasi ekonomi buruk dan 48 persen mengatakan situasi ekonomi baik.
Kenyataan ini sekaligus menjadi wajah bangsa kita. Jika negara hanya mengandalkan situasi karismatik dari sosok idol pemimpin, maka rakyat semakin dibutakan oleh harapan nisbi. Tiada hal berarti dari sebuah negara penikmat testimoni, meski rakyat jadi hiburannya.