Omon-omon Idealisme

Jan Ekklesia
Sosiolog dan Pendiri GEMA Politik Indonesia
Konten dari Pengguna
12 Maret 2024 7:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jan Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Idealisme dalam berpikir. Sumber: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Idealisme dalam berpikir. Sumber: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Halah, idealisme tidak penting, hanya buang-buang waktu saja. Kalaupun ada yang bermanfaat, pastilah caranya menyusahkan." Ujar Banu yang sedang gembira atas kemenangan paslon idolalnya saat pilpres.
ADVERTISEMENT
"Lihat saja 100 hari pertama, negara ini akan hancur. Bagaimana mungkin orang yang ambisius memenangkan kontestasi politik dengan berbagai cara, punya kekuatan untuk memikirkan negara?" Balas Andi sembari sibuk scrolling media sosial X.
"Tenang aja, guys. Masih nunggu rekapan hasil form C1. Kita doakan aja yang terbaik, ya gak?" Timpal Sarah yang sejak lama mendengar obrolan teman-temannya.
"Gak!" jawab Banu dan Andi kompak.

Konsep Idealisme

Idealisme merupakan bagian dari prinsip dan nilai yang dianut, yang diejawantahkan ke dalam hidup sehari-hari. Manusia tidak dapat lepas dari konsep ideal.
Pendapat Banu, Andi, maupun Sarah adalah bagian dari idealitas pemikiran manusia. Mereka bersama memiliki keyakinan yang kokoh atas hal yang sedang dihadapi.
ADVERTISEMENT
Meskipun Banu menganggap idealisme tidak penting, nyatanya prinsip 'idealisme tidak penting' itu lah pemikiran ideal Banu. Peristiwa ini sama seperti analogi 'memilih untuk tidak dipilih' atau 'sepakat untuk tidak sepakat'.
Idealisme punya sekurang-kurangnya dua konsep. Pertama, idealisme adalah mentalitas (pikiran, semangat, alasan, kehendak). Kedua, apa yang kita ketahui dalam realitas tidak lain merupakan hasil dari kreativitas, formatif, dan konstruksi pikiran (mind).
Argumen Andi lahir dari pikiran hasil scrolling media sosial X. Apa yang dilihat dan didengar menentukan apa yang dipikirkan. Andi memberi ruang penilaian bagi pikirannya, bahwa jika salah satu paslon yang menang pemilu akan membuat negara ini hancur dalam 100 hari.

Gimmick Realisme

Mungkin sebagian dari pembaca merasa bahwa posisi Banu adalah realistis, bukan idealis. Ya, argumentasi itu tidak sepenuhnya salah. Banu lebih pesimistis, menuntut hasil konkret, dan efisien daripada ide-ide naive belaka.
ADVERTISEMENT
Sedangkan Andi mengemukakan kekhawatiran dan percaya bahwa nilai integritas seorang pemimpin adalah baik dalam politik. Tidak heran kalau pembaca menganggap Andi adalah seorang idealis.
Namun, perlu diperhatikan bahwa idealis pada dasarnya adalah ide yang hinggap dalam pemikiran, sehingga manusia dapat menerka lebenswelt. Ide itu hidup, menghidupi, dan dihidupkan oleh manusia serta lingkungan.
Realisme, bagi saya, tidak lain adalah cara pandang ideal lain (liyan), yang mengutamakan kritisisme dan pesimisme sebagai alat menerka realitas.

Institusi Melahirkan Idealisme

Institusi (atau lembaga) secara sosiologis memiliki definisi sebagai sebuah sistem sosial yang memiliki struktur formal dengan hubungan gesellschaft (sekunder) beserta aturan-aturan transaksional yang menyertainya.
Menariknya, menurut David Bloor (1996), hadirnya institusi semata-mata karena kepercayaan masyarakat bahwa institusi itu ada. Misalnya, membership group seseorang hanya cukup ditentukan apakah masing-masing anggota dalam grup tersebut memperlakukan seseorang sebagai anggota atau tidak. Jika iya, maka orang tersebut adalah bagian dari grup. Jika tidak, maka orang itu bukan bagian dari grup.
ADVERTISEMENT
Begitu juga dengan status dan peran (role) dalam diri manusia. Ke semuanya adalah bagaimana orang lain memperlakukan sesamanya.
Karena itu, secara kolektif, yang mengetahui (subjek) dan yang diketahui (objek) pada akhirnya tidak dapat dipisahkan. Subjek dan objek dari yang mengetahui adalah satu dan sama.

Kesimpulan Idealisme

Pengetahuan atau pengalaman kita tentang dunia tidak dapat dipisahkan dari cara kita memahami dan menginterpretasikannya. Dengan kata lain, kita tidak dapat mengakses objek atau fenomena secara langsung, tetapi hanya melalui lensa persepsi dan pemahaman kita sendiri.
Pengetahuan tentang realitas bukanlah proses pasif menerima informasi tentang dunia, tetapi proses aktif di mana subjek membentuk dan membentuk pengalaman mereka sendiri tentang dunia.