Potensi Hukum dan Politik 'Buru-Buru' Pemilu 2024

Jan Ekklesia
Sosiolog dan Pendiri GEMA Politik Indonesia
Konten dari Pengguna
10 Januari 2023 5:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jan Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Massa aksi mahasiswa dari berbagai universitas melakukan aksi tabur bunga dan bakar lilin saat demo di depan Gedung DPR, Jakarta, Kamis (15/12/2022). Foto: Zamachsyari/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Massa aksi mahasiswa dari berbagai universitas melakukan aksi tabur bunga dan bakar lilin saat demo di depan Gedung DPR, Jakarta, Kamis (15/12/2022). Foto: Zamachsyari/kumparan
ADVERTISEMENT
Kesan buru-buru ini telah lama hinggap dalam berbagai konteks politik dan kebijakan periode kedua Pemerintahan Jokowi. Pengubahan statuta UI, revisi UU KPK, UU Minerba, UU ITE, Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, KUHP (sebelumnya masih berupa rancangan), UU MK, kontekstualisasi Omnibus Law (Undang-Undang Sapu Jagad) yang tergesa-gesa.
ADVERTISEMENT
Belum lagi keluarnya Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dianggap produk hukum yang gagal mengakomodasi kepentingan publik di atas kepentingan pribadi.

Wacana Media: Pemerintah vs Masyarakat

Suasana gedung bertingkat di Jakarta, Minggu (1/5). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Kian hari, pemberitaan dunia politik Indonesia di berbagai media memuat beberapa pola wacana. Pertama, tentang demokratisasi digital.
Pemberitaan dunia politik menjelang pesta demokrasi Pemilu 2024 secara negatif dipenuhi dengan prasangka, diskriminasi, dan polarisasi, baik yang terjadi di media sosial maupun di kehidupan nyata, meskipun ketegangan dan potensi cerai-berai di dunia online jauh lebih besar ketimbang di dunia offline.
Masyarakat era digital saat ini, kalau boleh dibilang, lebih kritis dan berani berargumen di kolom komentar, konten podcast, postingan gambar maupun video, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar opinion leader berasal dari platform media digital yang mudah untuk diakses masyarakat. Tidak jarang opini di media digital memengaruhi gerakan sosial-politik masyarakat.
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
Kedua, wacana yang mencuat di permukaan adalah mengenai sikap tergesa-gesa yang muncul dari para elite politik dalam merumuskan hukum, entah eksekutif, yudikatif, atau legislatif.
Sikap demikian membuat sebagian masyarakat geram, sehingga ada yang menganggap bahwa sistem hukum Omnibus hanya sekadar aturan oligarki untuk melanggengkan kekuasaan segelintir orang.
Presiden Jokowi beserta jajarannya dianggap memiliki andil besar di dalam proses penetapan perundang-undangan oleh masyarakat. Menurut aliansi dan aktivis kontra pemerintah, sikap tergesa-gesa dan terburu-buru ini menghilangkan asas partisipatif, transparansi, dan demokrasi seperti pada kasus pengesahan UU KUHP dan UU Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Ketiga, sering kali antara masyarakat dan pemerintah beradu argumen. Hubungan yang terjadi seperti minyak dan air. Masyarakat menyatakan bahwa pemerintah tidak serius untuk taat terhadap konstitusi, membangkangi, dan menciderai proses hukum yang berlaku.
Ilustrasi seminar politik. Foto: Shutter Stock
Sementara pemerintah berargumen telah taat terhadap proses hukum, tidak terburu-buru, termasuk memberi kesempatan kepada publik untuk ikut serta memberi masukan.
Pemerintah dengan segala upayanya mengakomodasi seluruh kepentingan bagi kelancaran perumusan undang-undang. Dengan kata lain, menurut pemerintah, substansi maupun implementasi hukum haruslah dipahami masyarakat dengan saksama.
Namun, kembali masyarakat menilai bahwa sosialisasi yang berlangsung hanya sekadar formalitas. Misalnya, masyarakat belum dapat membaca draft rancangan undang-undang KUHP dengan maksimal karena rentang waktu antara unggahan draft dan waktu pengesahan sangat minim.
ADVERTISEMENT
Hubungan Hukum dan Politik
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Bertumpu pada pandangan sejumlah peneliti politik, sebenarnya jajaran pemerintah yang ada adalah orang-orang pintar, yang dipilih oleh rakyat melalui sistem pemilihan umum untuk merumuskan kebijakan dan undang-undang.
Tentu, mereka adalah para akademisi dan politikus ulung yang bukan hanya sekadar tahu hukum, melainkan mampu merumuskan hukum hingga memahami titik lemah dari suatu bahasa hukum.
Namun, perlu dicermati bahwa acap kali hukum kita dimobilisasi oleh kepentingan-kepentingan politik ekonomi tertentu. Apalagi, pernyataan hukum yang polemik ini diperparah dengan minimnya comment dari Presiden Jokowi sebagai kepala negara sekaligus eksekutor undang-undang, mungkin juga kurangnya spokesperson pemerintah yang responsif dan persuasif.
Daniel S. Lev (1933-2006), Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Washington, menulis tentang Demokrasi Terpimpin Era Presiden Soekarno (1959-1965) dan totaliterisme Era Presiden Soeharto (1966-1998).
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Keduanya merupakan contoh bagaimana para politikus terlalu berhasrat mengendalikan negara tanpa memiliki visi hukum yang substantif, menyeluruh, dan jelas.
ADVERTISEMENT
Hubungan antara hukum dan politik dapat dijelaskan demikian: Pertama, hukum determinan atas politik (pandangan das sollen). Artinya hukum menjadi penentu wajah politik. Pandangan ini banyak ditemui di negara penganut supremasi hukum.
Kedua, politik determinan terhadap hukum (pandangan das sein). Artinya politik memengaruhi wajah hukum. Hukum adalah produk yang dihasilkan dari suatu pertarungan dan kontestasi aktor-aktor politik.
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Berdasarkan penelitian Mahfud MD (1993), hubungan hukum dan politik di Indonesia (meski Indonesia telah memasuki era reformasi) masih kental dengan nuansa das sein.
Konsentrasi energi pada sistem hukum akan selalu kalah dan seakan-akan inferior ketika berhadapan dengan sistem politik. Besarnya energi politik terlihat dari seringnya otonomi hukum diintervensi oleh politik, tidak saja ketika perumusan hukum di DPR, melainkan juga implementasinya di lapangan.
ADVERTISEMENT
Kian lama, hukum semakin mencerminkan kehendak politik, dan bukan sebaliknya. Jika politik suatu negara otoriter, maka produk hukumnya akan cenderung elitis dan ortodoks, begitupun jika politik suatu negara bernuansa demokratis, maka produk hukumnya akan bersifat populistik dan responsif.

Pijakan untuk 2024

Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
Lantas, produk hukum yang terkesan buru-buru dapat dimaknai sebagai wajah dari politik yang buru-buru juga. Entah apa pun produk hukumnya, kenyataan pahit ini penting sebagai agenda reformasi pada tahun 2024.
Jangan sampai kebiasaan buru-buru ini lestari sebagai manuver politik, sehingga membingungkan masyarakat yang hidup tertatih-tatih oleh karena kebijakan yang tak peka kepada rakyat.
Jika politik buru-buru ini tetap dipertahankan, maka sistem hukum sebagai institusi sosial dan bersifat normatif akan luntur karena kepentingan mempertahankan ekonomi-politik tertentu.
ADVERTISEMENT
Di berbagai ruang, hukum akan sangat mudah dimanipulasi oleh politik transaksional dan terburu-buru ini. Penegakan hukum yang seharusnya bergairah untuk mendekatkan segala upayanya ke dalam substansi hukum yang adil dan beradab, nyatanya berhasrat sebaliknya.
Ilustrasi seminar politik. Foto: Shutter Stock
Bentuk-bentuk politik pada tahun 2024 dihantui oleh imoralitas dan ketidakadilan para elitis yang tidak merefleksikan sikap indignation. Hal ini penting untuk diwaspadai dan dicermati oleh rakyat sebagai aktor utama demokrasi.
Sekali lagi, hukum adalah produk politik. Konfigurasi politik menentukan nuansa hukumnya. Kekurangan para elite untuk memahami dan merefleksikan politik secara etis dan benar akan memengaruhi wajah hukum yang tidak adil dan bengis.
Oleh sebab itu, keseimbangan reflektif dalam hubungan hukum dan politik adalah hal yang krusial, yang harus dijunjung tinggi pada Pemilu 2024 mendatang, siapa pun pemimpinnya.
ADVERTISEMENT
***
Jan Mealino Ekklesia, Sosiolog dan pendiri GEMA Politik Indonesia