Konten dari Pengguna

Relevankah Efisiensi Anggaran Terhadap Pembangunan Indonesia?

Jan Mealino Ekklesia
Sosiolog dan Peneliti Utama WAMESA Policy & Politics
14 Februari 2025 11:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jan Mealino Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Makan Bergizi Gratis. Sumber: DALL-E AI
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Makan Bergizi Gratis. Sumber: DALL-E AI
ADVERTISEMENT
Pemerintah menerapkan langkah efisiensi dalam pengelolaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025, sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk mengalokasikan tambahan dana bagi program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang membutuhkan anggaran sebesar Rp 100 triliun. Saat ini, APBN 2025 telah menetapkan alokasi Rp 71 triliun untuk program tersebut. Presiden terpilih Prabowo Subianto mengusulkan peningkatan anggaran guna memperluas cakupan penerima manfaat, dari sebelumnya 17 juta orang menjadi 82,9 juta orang.
ADVERTISEMENT
Sebagai konsekuensi, seluruh kementerian, lembaga (K/L), serta pemerintah daerah diminta melakukan penyesuaian anggaran untuk mencapai target efisiensi senilai Rp 306,7 triliun. Pemangkasan anggaran dilakukan pada berbagai pos, termasuk belanja operasional perkantoran, biaya seremonial, perjalanan dinas, serta dana transfer ke daerah (TKD).
Hal tersebut tentu menimbulkan perdebatan dan dampak signifikan terhadap kinerja pemerintahan, yang dapat langsung dirasakan oleh rakyat. Dana pendidikan tinggi terancam naik, PHK besar-besaran, ratusan ribu mahasiswa terancam putus kuliah, gaji pegawai dipotong, hingga berkurangnya produktivitas serta kualitas kinerja di berbagai tempat. Belum lagi tentang beberapa lembaga seperti DPR, BIN, BPK belum menyatakan efisiensi anggaran.
Menjadi pertanyaan: apakah efisiensi anggaran benar-benar membuka kebobrokan K/L dalam menjalankan tugasnya sehingga menunjukkan quantity above quality sebagaimana yang digaungkan oleh para elite, atau memang pemangkasan anggaran besar-besaran menjadi duri dalam daging bagi prioritas lain yang begitu mendesak? Dengan kata lain: apakah ini permasalahan teknis atau justru politis?
ADVERTISEMENT

Mempertanyakan Strategi Efisiensi Anggaran

Pada dasarnya, penganggaran merupakan proses empiris atas pengalokasian terhadap sumber keuangan yang terbatas dalam konteks kebijakan dan politik (Schick, 1988; Bouckaert & Reeth, 1996). Ekonomi (misal, Cost Benefit Analysis (CBA), kebijakan terkait pajak, dan implikasi ekonominya), ilmu politik (misal, pelobian, sejarah institusi, inkrementalisme), dan administrasi publik serta manajemen publik akan memberikan pandangan terhadap makna anggaran yang berbeda-beda.
Sementara arti efisiensi, bagi sebagian ekonom, dibedakan menjadi dua konsep (Diamond, 1990). Pertama, ada efisiensi teknis, yaitu ketika suatu bisnis atau organisasi mampu menghasilkan output maksimal dengan sumber daya yang tersedia. Jika ada pemborosan atau penggunaan sumber daya yang kurang optimal, berarti ada inefisiensi teknis. Menariknya, Havery Leibenstein (1922-1994) menyebut jenis inefisiensi ini sebagai inefisiensi X, yang sering terjadi karena faktor internal seperti birokrasi yang berbelit, kebijakan yang kurang fleksibel, atau bahkan campur tangan politik. Hal ini terutama sering ditemukan di sektor publik.
ADVERTISEMENT
Kedua, ada efisiensi alokatif, yang lebih fokus pada biaya. Suatu sistem dianggap efisien secara alokatif jika mampu menghasilkan barang atau jasa dengan kombinasi sumber daya yang paling hemat biaya. Artinya, tidak ada cara lain untuk mengubah proporsi penggunaan sumber daya tanpa membuat biaya produksi menjadi lebih mahal. Jadi, jika suatu bisnis ingin benar-benar optimal, bisnis tersebut harus tidak hanya menghindari pemborosan teknis tetapi juga memastikan bahwa cara dalam mengalokasikan sumber daya adalah yang paling ekonomis.
Strategi efisiensi anggaran yang dilakukan oleh Prabowo digunakan setidaknya untuk dua hal: program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan perbaikan sekolah-sekolah. Beberapa pakar menilai bahwasanya kebijakan tersebut merupakan langkah tepat agar anggaran lebih fokus kepada kebutuhan rakyat. Hal tersebut benar apabila dilihat dari sisi jangka pendek, tetapi bagaimana dampak jangka panjangnya?
ADVERTISEMENT
Memang, begitu kerasnya perintah Prabowo terhadap kebiasaan pejabat publik yang tidak bijak menggunakan anggaran (foya-foya, seremonial, hingga perjalanan dinas yang takperlu) perlu dikritisi langsung dan perlu penanganan segera, tetapi bukankah realitasnya justru sebaliknya, bahwa anggaran yang dipotong benar-benar tidak pandang bulu?
Pada dasarnya, kebijakan efisiensi anggaran idealnya harus membedakan antara pemborosan dan pengeluaran esensial. Bila pemotongan anggaran hanya fokus pada “foya-foya” dan kegiatan seremonial yang tidak produktif, maka hasilnya akan jauh lebih efisien. Misalnya dengan menyasar pemotongan gaji pimpinan tertinggi tanpa membebani karyawan jabatan mula. Namun, jika pemotongan dilakukan secara menyeluruh tanpa pengecualian, maka dampaknya tidak hanya menghentikan pemborosan, tetapi juga menghambat kelancaran program-program vital yang langsung dirasakan oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Mari kembali melihat dua konsep di atas, yakni efisiensi teknis dan alokatif. Keberhasilan efisiensi teknis hanya diperoleh bilamana output maksimal dapat diperoleh dari input yang tersedia atau jika tidak ada input yang bisa dikurangi tanpa mengurangi output. Jika pemotongan anggaran ini hanya menargetkan pemborosan (seperti perjalanan dinas yang tidak perlu atau acara-acara seremonial), maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai langkah menuju efisiensi teknis.
Namun, jika pemotongan dilakukan secara pukul rata, tanpa mempertimbangkan bagaimana setiap unit organisasi menggunakan anggarannya, maka ada risiko bahwa unit-unit yang sebenarnya sudah efisien justru kehilangan sumber daya esensialnya. Akibatnya, output justru menurun, yang berarti terjadi inefisiensi teknis. Hal ini pun sulit masyarakat ketahui karena proses pemotongannya tidak transparan dan acap berubah.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, keberhasilan efisiensi alokatif hanya diperoleh jika sumber daya digunakan dengan kombinasi yang paling optimal sehingga biaya output dapat diminimalkan. Jika pemotongan anggaran menyebabkan sektor-sektor esensial (seperti pendidikan, kesehatan, dan layanan publik) kekurangan dana, sementara di sisi lain masih ada pengeluaran yang kurang prioritas (misalnya proyek infrastruktur yang belum mendesak, pengangkatan stafsus di salah satu kementerian karena tidak terdampak pemotongan anggaran), maka alokasi anggaran menjadi tidak efisien.
Efisiensi alokatif juga berarti bahwa kebijakan anggaran harus mempertimbangkan trade-off antara berbagai sektor. Misalnya, jika anggaran untuk pendidikan dipotong setengahnya dengan alasan memberi makan siswa, tetapi di sisi lain menyebabkan ratusan ribu mahasiswa putus kuliah dan berpotensi meningkatkan pengangguran intelektual, maka bisa dikatakan kebijakan ini tidak mengoptimalkan alokasi sumber daya.
ADVERTISEMENT

Teknis atau Politis?

Prioritas menjadi kata kunci penting bagi permasalahan kebijakan ini. Kebijaksanaan dengan kebajikan benar dan hanya bisa selaras dengan kesejahteraan dan pembangunan, bilamana masyarakat dapat merasakan manfaatnya, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang.
Kemudian, apa yang dimaksud dengan merasakan manfaatnya bagi rakyat? Negara tidak boleh berdagang dengan rakyat. Prioritas utama tidak boleh hilang, yakni bukan hanya sekadar output fisik seperti MBG, melainkan demikian: keluarga dapat menabung, bapak tidak di-PHK, anak mudah mencari kerja dan rumah, ibu mudah mendapat bahan pokok murah.
Prioritas utama pemerintah tidak boleh hilang dalam mengelola negara demi kesejahteraan masyarakat. Pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial tidak boleh menjadi korban pemotongan anggaran. Pemangkasan di sektor-sektor ini bisa menghambat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang dan memperburuk ketimpangan sosial.
ADVERTISEMENT
Jangan pula mengalihkan beban kepada rakyat. Jika negara mengurangi anggaran pendidikan dan memaksa universitas menaikkan biaya kuliah, atau jika subsidi kesehatan dipangkas sehingga rakyat harus membayar lebih untuk layanan kesehatan, itu bukan efisiensi, melainkan pemindahan tanggung jawab negara ke pundak rakyat.
Jangan lupa bahwa kebijakan fiskal harus mempertimbangkan keberlanjutan. Jangan sampai pemotongan anggaran saat ini menyebabkan dampak negatif yang lebih besar di masa depan (misalnya, pengurangan anggaran pendidikan yang menyebabkan kualitas SDM turun dan akhirnya menurunkan daya saing ekonomi).
Terlebih lagi, apabila tujuan pemerintah benar-benar untuk efisiensi, maka langkah yang lebih masuk akal adalah mereformasi sistem pengeluaran, menekan kebocoran anggaran, dan memastikan dana tetap digunakan secara optimal tanpa mengorbankan sektor kritis seperti pendidikan dan tenaga kerja. Namun, jika pemangkasan ini lebih bersifat strategis untuk mengalihkan dana atau mengubah prioritas kebijakan, maka ini lebih merupakan permasalahan politis daripada teknis. Jangan sampai, anak kenyang di dalam sekolah tetapi melarat di luar sekolah!
ADVERTISEMENT

Daftar Pustaka

Bouckaert, Geert, and Wouter Van Reeth. "Budgeting for Efficiency and Effectiveness: The Case of the Flemish Government." Társadalom és Gazdaság Közép- és Kelet-Európában / Society and Economy in Central and Eastern Europe 18, no. 2 (1996): 33–48. http://www.jstor.org/stable/41468275.
Diamond, Jack. "Measuring Efficiency in Government: Techniques and Experience." In Government Financial Management Issues and Country Studies, edited by A. Premchand, 142-166. International Monetary Fund, 1990. https://doi.org/10.5089/9781557751492.071.
Leibenstein, Harvey, "Allocative Efficiency Vs. 'X-Efficiency'," American Economic Review, Vol. 56 (June 1966), pp. 392-415
Schick, Allen. “Micro-Budgetary Adaptations to Fiscal Stress in Industrialized Democracies.” Public Administration Review 48, no. 1 (1988): 523–33. https://doi.org/10.2307/975515.