Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Senarai Singkat Praktik Korupsi dalam Institusi Sosial di Indonesia
30 April 2021 16:53 WIB
Tulisan dari Jan Mealino Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Maraknya praktik korupsi suatu negara menjadi diagnosa dari ciri politik yang membusuk (political decay). Praktik-praktik korupsi antara lain : suap (bribery), pemerasan (exortion), dan nepotisme (Alatas, 1975). Di negara berkembang seperti Indonesia, praktik korupsi selalu memenuhi headline berita hampir setiap saat. Korupsi Indonesia mengalami peningkatan pasca Orde Baru yang didukung oleh Partai Politik (politik dagang sapi). Arena korupsi terjadi di birokrasi pemerintahan seperti kementerian, kepala daerah, beberapa lembaga sosial.
ADVERTISEMENT
Lembaga – lembaga anti korupsi masa Reformasi sangat berkembang ketimbang masa Orde Lama ataupun Orde Baru. Namun, praktik korupsi di Indonesia telah lama memasuki akar-akar kultural bangsa. Sejak zaman korporasi VOC, hegemoni dan dominasi telah mendarah daging dalam perangkat pemerintahan. Kompetisi ekonomi dan politik dibalut oleh perilaku koruptif sehingga mengubah faktor kultural menjadi faktor struktural. Bahaya korupsi merambah ke berbagai bidang layaknya penyakit kanker. Bidang tersebut antara lain bahaya korupsi bagi individu dan masyarakat, bahaya korupsi terhadap generasi muda, bahaya korupsi terhadap politik, bahaya korupsi terhadap ekonomi, dan bahaya korupsi terhadap birokrasi.
Permasalahan institusi sosial terkait korupsi berjalan simultan seiring perkembangan demokrasi yang semakin pesat di Indonesia. Institusi yang dimaksud ialah trias politica dan struktur lembaga pengadilan (MK-MK-KY). Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung seharusnya berkoalisi untuk melawan praktik judicial corruption. Tetapi hakim – hakim di MA tidak dapat dipungkiri juga menikmati dan menjadi aktor perilaku korupsi.
ADVERTISEMENT
Konflik KY dan MA akan terus-menerus bernuansa institusional sehingga menimbulkan setidak-tidaknya relasi yang kolutif dan konfrontatif. Sama seperti hubungan antara presiden dan DPR. Apabila hubungan keduanya terlalu dekat, akan menimbulkan relasi yang kolutif. Begitu juga relasi konfrontatif yang menyebabkan situasi yang berkonflik dalam struktur kelembagaan.
Relasi check and balances yang seharusnya diperjuangkan oleh negara-negara yang menganut azas demokrasi tidak lagi berfungsi bagi institusi korup. Penjelasan Montesquieu tentang trias politica agaknya ketinggalan zaman. Maka, Bruce Ackerman menawarkan pendekatan baru mengenai komisi independen diluar konstitusi. Komisi independen ini diberi tempat dalam konstitusi sebagai constitutional organs. Dengan demikian, komisi yang secara independen mampu mengedepankan tujuan check and balances di lembaga – lembaga sentral pemerintahan serta menekan aktor atau konstitusi yang korup.
ADVERTISEMENT
Live Update